Muhammadiyah dan Multikulturalisme

multikulturalisme muhammadiyah

Modernis.co, Malang – Aset terbesar negara ini adalah keberagaman bahasa, sejarah, suku dan budaya. Hal ini merupakan realitas kita yang tinggal di negara Indonesia. Keberagaman ini merupakan bukti  akan ke Esaan dan kebesaran Allah SWT.

Keberagaman ini meliputi dimensi-dimensi alamiah umat manusia. Seperti warna kulit, warna rambut, tengkorak kepala, atau dari segi peradabannya seperti perbedaan agama, gaya hidup, ideologi, hingga organisasi.

Mengenai multikulturalisme, Muhammadiyah memiliki tiga sudut pandang yang berbeda. Pertama, Kelompok liberal dan nasionalis, menganggap multikulturalime membawa nilai positif. Yang mana dengan adanya multikulturalisme kita bisa bercermin untuk diri kita agar bisa menjadi seorang yang lebih baik dari sebelumnya. Kelompook ini menganggap multikulturalisme merupakan aset bangsa dan negara yang patut disyukuri, oleh karena n ya tidak ada alasan untuk menegasikannya.

“Hadirnya kelompok-kelompok lain di sekitar kita justru dapat menjadi mitra kompetitif yang sangat baik dalam pengembangkan organisasi. Mereka bisa menjadi mitra dialog dan cermin untuk melihat capaian-capaian prestasi kita. Tanpa mereka justeru kita seperti pendekar dalam dunia persilatan. Seluruh kesaktian jadinya akan sia-sia”.

Ada beberapa alasan mengapa multikulturalisme ini dinilai positif, Multikulturalisme merupakan peninggalan sejarah yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat, multikulturalisme bisa dijadikan ajang dialog antara satu golongan dengan golongan yang lain, multikulturalime sebagai bukti bahwa masyarakat berada dalam kompetisi kehidupan yang sehat.

Kedua, yaitu golongan yang menilai multikulturalisme ini merupakan unsur negatif dari hidup bermasyarkat. Golongan yang berpendapat seperti ini biasanya mereka dari kalangan puritan. Walaupun perbedaan-perbedaan ini merupakan peninggalan sejarah yang tidak bisa dihindari, namun mereka dari golongan ini tidak bisa menilai positif keberagaman ini. Khususnya dalam hal agama dan kepercayaan.

“Dalam Islam, kemurnian akidah merupakan persoalan utama yang bersifat wajib. Kalau akidahnya saja tidak murni alias penuh dengan TBC (tahayul, bid’ah, churafat), maka belum bisa disebut Muslim dalam arti yang sebenarnya. Agama non-Islam dan ajaran kejawen merupakan ajaran sesat, sebab dalam keyakinan mereka tidak bersih dari unsur TBC tersebut. Muhammadiyah dari dulu berusaha menyentuh mereka agar kembali kepada ajaran Islam yang benar seperti ajaran murni Nabi Muhammad SAW”.

Bagi mereka yang menilai multikulturalisme negatif, mereka tidak menyetujui bahwa perbedaann, dan keberagaman (akidah) ini merupakan aset besar bangsa ini. Melainkan ini bagi mereka adalah lahan dakwah yang harus di tangani dan di beranntas oleh Muhammadiyah. Sebagaimana yang sering terdengar masyhur di telinga kita, Muhammadiyah berselogankan ‘Amal Ma’ruf Nahi Mungkar. Oleh sebab itu, mensikapi multikulturalisme ini  mereka menggap ini kesempatan untuk menegakkan syiar-syiar islam. Mereka  yang berfaham ini sangat keras terhadap kelompok tersebut (Multikulturalis).

Ketiga, merupakan kelompok jalan tengah. Tidak seperti yang pertama,  yang menggap positif unsur multikulturalisme dalam bermasyarakat, ataupun tidak ekstrim seperti yang kedua, yang menggap itu merupakan aib, atau menilai negatif atas keberagaman yang dimiliki bangsa ini.

Golongan yang terakhir ini, adakalanya mereka menggap multikultural merupakan sebuah rahmat yang patut disyukuri, juga adakalanya multikulturalisme menjadi sebuah petaka yang harus dihindari, tergantung multikulturalisme di posisikan.

Nilai positif dari perbedaan dan keberagaman ini demi menjaga ekuilibrum sosial, seperti saling memperkuat eksistensi masing-masing kelompok dalam hal kompetisi yang sehat. Namun apabila multikulturalisme sudah terjebak dalam sekterianisme, maka itu hanya akan menimbulkan konflik bagi masing-masing kubu.

Oleh: Ahmad Fayyadh (Aktivis IMM dan Forsifa UMM)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment