Modernis.co, Malang – Belakangan ini isu radikalisme tengah mencuat ke permukaan publik, mirisnya hal itu spesifik ditujukan pada umat beragama khususnya umat muslim. Pemicunya dilatar belakangi oleh kebijakan Menteri Agama yang melarang memakai cadar dan celana cingkrang bagi TNI dan Aparatur Sipil Negara (ASN) pada saat bekerja.
Ditambah lagi dengan munculnya peraturan Menteri Agama No 29 tahun 2019 tentang Majelis Taklim yang penuh kontradiksi. Tak hanya itu, kebijakan kontroversial juga datang dari Polri yang membuat aturan pengawasan terhadap Masjid.
Berbagai kebijakan yang muncul tersebut tentunya menjadi pukulan telak bagi kalangan umat beragama. Seakan-akan radikalisme senantiasa dilabelkan hanya pada kelompok agama, khususnya umat Islam. Aturan tersebut terkesan benar-benar bersifat parsial dan terkesan berat sebelah. Sehingga dengan mudahnya stigma radikalisme hanya disimbolkan berupa cadar, celana cingkrang, majelis taklim dan masjid.
Jika kita telusuri lebih dalam di berbagai literatur Islam terkait cadar, celana cingkrang, songkok memang bukan sebuah syariat yang diharuskan bagi seorang muslim. Namun hal tersebut sudah menjadi wujud ekspresi keagamaan seseorang yang melekat dalam kehidupannya. Seorang cendekiawan muslim Indonesia bernama Pradana Boy ZTF mengistilahkannya Islam sebagai praktik dan ekspresi sosial-budaya. Oleh sebab itulah keragaman dan multikulturalisme senantiasa mewarnai corak keagamaan di negeri ini.
Justru karena keragaman itulah yang menjadi alat pemersatu kerukunan beragama dan berbangsa tanah air. Maka aneh apabila hari ini pemerintah mencoba membatasi ekspresi beragama seseorang dengan kebijakan-kebijakan yang kontra-produktif. Pemerintah tidak punya hak sebetulnya untuk mengatur simbolisasi beragama dan pakaian seseorang lebih jauh. Karena simbol-simbol beragama seperti kopyah,sorban,cadar,celana cingkrang tentu bagi mereka yang memakai simbol tersebut pasti memiliki keyakinan tersendiri.
Narasi Keblinger
Menteri Agama, Fachrul Razi di awal-awal masa kerjanya memang mendapat instruksi khusus untuk memberantas radikalisme melalui posisi kementerian yang ia jabat. Namun sayangnya kebijakan yang dibuatnya senantiasa bersifat kontroversial dan menuai banyak kritik. Narasi yang dibangun terkesan menyudutkan kelompok Islam tertentu dengan melarang memakai cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintah.
Sejatinya fenomena ini terbilang bukan hal baru, peristiwa pelarangan memakai cadar di ruang publik juga pernah terjadi di tahun 2018 tepatnya di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat itu Rektor UIN Sunan Kalijaga sempat menggegerkan publik dengan membuat aturan pelarangan memakai cadar di kampus. Namun regulasi tersebut dicabut kembali lantaran bersifat diskriminatif dan terkesan tidak demokratis.
Regulasi yang dibuat pemerintah dengan melarang memakai cadar dan celana cingkrang bagi ASN dan TNI menurut hemat saya adalah sebuah kecacatan berpikir. Regulasi tersebut jelas-jelas tidak didasari argumentasi yang kuat serta data yang akurat sehingga menimbulkan beberapa kecacatan, diantaranya yakni:
Pertama, regulasi tersebut sangat bertentangan dengan amanah konstitusi di negeri ini. Dalam “UUD Pasal 29 ayat 1 disebutkan, Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa. Kedua, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayannya itu.
Pada pasal di atas sangat jelas bahwa persoalan keyakinan bukanlah tugas pemerintah untuk mengatur apalagi melarang. Keyakinan beragama menurut keyakinan masing-masing adalah hak setiap warga negara yang harus dilindungi, bukan dikebiri dan dipolitisasi. Jika pemerintah terus bersikap sporadis dalam membuat aturan, kedepan dapat diprediksi akan terjadi konflik berkepanjangan akibat ulah pemerintah sendiri.
Kedua, seharusnya pemerintah khususnya Menteri agama hendaknya harus memiliki data yang akurat dan fakta empiris sebelum benar-benar membuat regulasi. Sejauh ini belum ada riset yang secara jelas menyatakan bahwa radikalisme dicirikan dengan cadar atau celana cingkrang. Narasi yang dibuat hanyalah bersifat asumsi semata yang belum pasti kebenarannya. Jangan sampai aturan yang awalnya bertujuan untuk memecahkan masalah justru menjadi masalah baru bagi pemerintah.
Selain itu, makna radikalisme harus benar-benar ditafsirkan secara komprehensif agar pemaknaan radikalisme tidak bersifat absurd. Pemerintah khususnya Menteri agama dalam hal ini harus memiliki standarisasi dan batasan-batasan tentang paham radikalisme itu seperti apa. Karena sejauh ini pemerintah hanya melakukan pemaknaan secara sepihak. Seolah-olah paham keagamaan yang tidak sesuai dengan versi pemerintah dianggap radikal.
Menteri agama tentu bukan pemegang otoritas tertinggi yang berhak mengatur agama tertentu. Maka tidak sepatutnya apabila Menteri Agama ikut campur dalam keyakinan agama seseorang. Justru hal tersebut akan menimbulkan perpecahan dan respon yang kurang baik dari berbagai kelompok agama. Maka penting bagi pemerintah untuk memaknai historisitas serta perbedaan keyakinan beragama di negeri ini jika masih ingin menjaga keutuhan bangsa dan agama.
Masjid Bukan Sarang Teroris
Selain cadar dan celana cingkrang, kini giliran rumah ibadah berupa masjid yang akhir-akhir ini beredar isu akan diawasi oleh pihak kepolisian. Dengan dalih bahwa Masjid seringkali dijadikan pusat penyebaran paham-paham radikalisme. Polri sebagai institusi yang melindungi masyarakat dalam hal ini sudah terlalu offside.
Fenomena ini turut diprihatinkan oleh Ketua Umum PP Muhamadiyah, Haedar Nashir. Menurutnya kebijakan yang dibuat polri tersebut seakan-akan mendiskriminasi umat Islam, lantaran sasaran kebijakan-kebijakan yang dikaitkan dengan radikalisme hanya tertuju pada umat Islam. Padahal secara jelas upaya mencegah radikalisme dan ekstrimisme telah diatur di dalam undang-undang, maka pemerintah tidak perlu untuk mengatur lebih jauh wilayah keagamaan sampai masjid pun harus diawasi.
Maka ada baiknya jika Fachrul Razi selaku menteri agama melakukan pendekatan persuasif dan dialogis bersama para tokoh agama dan ormas Islam untuk mengkaji isu tersebut secara mendalam. Tidak selamanya jalan untuk menangkal radikalisme harus dilakukan dengan membuat larangan-larangan dan aturan. Terkadang perlu untuk dialog dan mendengar nasihat para sesepuh dan agamawan agar pemerintah tidak merasa paling benar.
Oleh : M. Ibnu Rizal (Ketua Bidang Organisasi PC IMM Malang Raya)