Modernis.co, Malang – Belakangan ini, media elektronik menghidangkan fenomena sosial yang sejatinya merupakan problematika bangsa yang sudah ada sejak dulu, yakni krisis moral dan akhlak. Tidak ada fenomena baru dalam hidup ini selagi suatu hal (fenomena) masih berada dibawah langit dan matahari, hanya saja dimuat dalam kemasan baru yang merupakan hasil dari perubahan zaman, keadaan, dan tempat, namun sejatinya sifatnya sama.
Biasanya, perhatian masyarakat akan lebih fokus pada dampak yang dihasilkan krisis moral, kenyataan di lapangan kemudian berkomentar ekstrem, dan siapa yang berhak disalahkan dalam kasus ini. Hanya sedikit yang memikirkan sampai pada apa penyebabnya dan bagaimana solusi untuk menyelesaikannya.
Generasi peralihan, adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa, atau dalam hal ini lebih familiar dengan istilah remaja. Remaja bukanlah anak-anak, namun juga belum dapat disebut dewasa, begitu pula dengan bentuk badan dan cara berpikirnya. Remaja merupakan kelas sosial yang tidak jarang mendapatkan predikat krisis moral.
Manusia remaja ini memiliki rentan usia 10/12 -21/25 tahun, yang terbagi menjadi tiga fase. Perlu diingat bahwa remaja hanya masa peralihan saja. Maka, dalam tuduhan pelaku krisis moral, remaja hanya merupakan korban. Remaja mrupakan korban dari penyebab dan minimnya solusi penyelesaian krisis moral.
Jika remaja adalah korban, maka kita akan menanyakan siapa tersangka atau pelakunya. Mata media dan masyarakat kini mengarah kepada siapa yang mendidik remaja ini dan siapa yang membuat sistemnya. Jika kita menyalahkan kurikulum pendidikan nasional, maka kita akan menjadi bahan tertawaan ahli kurikulum. Yang mana memang, dalam pelaksanaan kurikulum akan melibatkan banyak pihak. Lalu, kita akan menyoroti berbagai pihak yang terlibat, maka sekolah yang terlebih dahulu disorot. Sekolah dinilai tak mampu mendidik usia remaja dengan baik. Sehingga muncul kesulitan-kesulitan atau kenakalan-kenalan remaja.
Perlu diingat bahwa dalam sepekan seorang anak hanya 39-40 jam berada di sekolah. Sehingga pihak sekolah tidak ingin dirinya disalahkan begitu saja. Pihak lainnya adalah lingkungan masyarakat. Media menyoroti bahwa masyarakat memberikan contoh yang tidak baik kepada remaja sehingga terjadi penurunan moral pelajar.
Kita melupakan bahwa, elemen masayakat ini, dahulunya juga seorang pelajar atau remaja, atau bahkan juga terdiri dari remaja itu sendiri. Dan secara tidak langsung hal kurang baik yang terjadi di masyarakat merupakan penyakit yang belum bisa dihilangkan pada masa remajanya dan berevolusi dengan kemasan yang baru. Dalam hal ini, masyarakat tidak bisa disalahkan pula.
Perhatian kita dialihkan kepada lingkungan keluarga. Setelah negara, sekolah, dan masyarkat tidak dapat disalahkan. Maka orang tua akan menjadi pusat perhatian atas kesulitan-kesulitan atau kenakalan-kenakalan remaja yang menjadi simbol krisis moral. Generasi muda penurus bangsa, yakni remaja.
Peran orang tua sebagai madrasah utama bukan hal baru yang kita dengar. Setiap hari bertemu, berkomunikasi, dan berbagi atap rumah dengan anaknya. Maka mulai dari ini, kita, pakar politik, pendidikan, bahkan semuanya dapat menyalahkan orang tua atas krisis moral pada kaum pelajar.
Setiap orang tua adalah guru bagi anaknya. Guru pertama dan terakhir dalam hidup anaknya yang akan terus dikenang setiap tangga kehidupannya. Bukan tentang seberapa tinggi pendidikan atau gajinya, melainkan seberapa dekat orang tua dengan anaknya, yang mempermudah pemberian edukasi, hingga dapat mencapai tingkat pengambilan hikmah oleh anak, sehingga sang anak mampu dan mau menginternalisasi obrolan dari hati ke hati antara anak dan orang tuanya dan ikhlas untuk mengimplementasikannya. Berbicara tentang edukasi, orang tua berpendidikan dan atau bergaji tinggi pun belum tentu memperoleh edukasi bagaimana cara mendidik anak.
Perlu digarisbawahi, tanpa sebuah edukasi, maka orang tua tidak tahu apakah cara yang dilakukan untuk mendidik anaknya benar atau salah, baik atau tidak baik, sesuai atau tidak sesuai. Kita telah menyingkap penyabab paling dasar dari krisis moral generasi penerus bangsa. Dalam hal ini kita tidak menyalah orang tua secara persoal, namun lebih kepada orang tua yang dipandang sebagai instansi pendidikan non formal pertama.
Sebelum menikah, ada yang namanya SPN atau Sekolah Pra Nikah, namun belum terdapat Sekolah Pasca Nikah, dengan lebih dikhususkan adalah Sekolah Pasca Nikah untuk mendidik anak. Edukasi ini sangat dibutuhkan oleh orang tua.
Pengetahuan seperti bagaimana peran ibu dan ayah kepada anak, karena peran ibu tentu berbeda dengan peran ayah kepada anaknya. Cara berkomunikasi yang baik dengan anak, cara memahami keadaan psikologi anak, cara orang tua dapat menyelesaikan masalah dengan anak, bagaimana agar anak dapat menyelasaikan masalahnya dengan baik dan benar, cara agar anak tidak merasakan jurang antargenarasi untuk mencurahkan isi hati, bagaiamana cara mendidik anak agar sesuai keinganan tanpa harus menakut-nakuti, bagaimana cara mendidik anak agar sehat, cara agar anak bermanfaat bagi bangsa dan agama, yang produktif, koperatif, berguna, dan tidak memperkosa nilai-nilai masyarakat, dan masih banyak lainnya.
Di atas merupakan edukasi-edukasi yang perlu diberikan kepada orang tua. Namun, orang tua tidak dapat bergerak sendiri untuk membentuk generasi penerus bangsa yang baik secara yuridis untuk menaati hukum atau peraturan dalam bernegara, humanis untuk menjunjung tinggi nilai-nilai dalam bermasyarakat, dan teologis untuk memperdalam keyakinannya dalam menjalankan perintah kepercayaannya. Karena orang tua tidak dapat berjalan sendiri, maka pihak pemerintah, pihak sekolah, dan masyarakat harus dilibatkan dalam membentuk generasi harapan penerus bangsa.
Lebih dalam, semua ini dimulai dari kita yang terlebih dahulu sadar, kemudian mendakwahkan hal ini kepada orang lain. Perlunya kita ( orang tua, masyarakat, pihak sekolah, dan pihak pemerintah ) berkolaborasi, berkomunikasi, dan mensosialisasikan akan pentingnya mendidik anak dengan baik untuk menciptakan generasi harapan.
Pemerintah memfasilitasi, masyarakat mendukung, sekolah memberi pengetahuan tambahan, dan orang tua memberi pondasi nilai-nilai. Kita tidak dapat menafikkan bahwa saat kita berjalan sendiri-sendiri itu baik-baik saja. Perlunya kerjasama untuk saling mengisi kekosongan yang ada hingga lebih optimal dalam pencapaian.
Dengan ini berarti, generasi penerus bangsa dilahirkan dan dibentuk oleh kita semua sebagai satu-satunya unsur negara yang hidup. Nantinya, generasi penerus bangsa juga akan kembali kepada kita dengan perubahannya yang kita harap berorientasi pada hal-hal yang positif jika kita masih hidup. Jika kita sudah meninggal, maka akan menjadi dosa yang mengalir jika perubahannya berorientasi pada hal-hal negatif.
Jangan salahkan salah satu diantara mereka yang perlu saling melengkapi. Jangan salahkan orang tua jika orang tua tersebut belum mendapat edukasi tentang bagaiamana cara mendidik anak. Orang tua hanya manusia biasa dan bukanlah malaikat.
Oleh : Imam Fahrudin (Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam. Universitas Muhammadiyah Malang)