Kaum Intelektual bukan sarjana, yang hanya menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana. Mereka juga bukan sekadar ilmuwan, yang mendalami dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah (Ali Syariati).
Modernis.co, Malang – 54 tahun perjalanan IMM menjadi refleksi bagi ortom berlogo pena merah ini untuk meneguhkan poros gerakannya sebagai akademisi Islam yang di damba-dambakan untuk selalu reaktif dalam menyelesaikan setiap pergolakan bangsa. Harus kita sadari bersama ketika para pemimpin bangsa sudah tidak lagi peduli terhadap nasib masyarakat kecil bahkan kehadiran mereka dianggap semakin menggerus, menindas masyarakat kelas menengah kebawah.
Menjadi sebuah pelajaran bagi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah saat ini untuk mampu tampil sebagai aktor Intelektual yang selalu berada di garda terdepan dalam mengentaskan berbagai ketimpangan yang terjadi. Memasuki usianya yang sudah setengah Abad lebih, IMM haruslah mampu mengejewantahkan ilmu dalam sebuah praksis gerakan serta mampu merumuskan langkah-langkah strategis untuk kemajuan bangsa.
Seringkali kader-kader IMM terjebak pada hal-hal yang sifatnya pragmatis sehingga mereka secara tidak sadar dalam menjalankan roda organisasinya bersifat event organizer. Padahal sejatinya peran IMM sebagai kaum Intelektual jauh lebih besar daripada itu, tidak sebatas formalitas tanpa ada esensi dibaliknya. Disorientasi inilah yang seharusnya menjadi pekerjaan rumah bagi kader IMM di setiap level struktural.
Gerakan Intelektual IMM saat ini masih terlihat sangat tumpul, dalam artian belum mampu untuk menyingkap dan mengentaskan berbagai persoalan yang menyangkut kemanusiaan serta membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan struktural (Kaum Mustadh’afin) yang diakibatkan oleh pembangunan sepihak. Sehingga sama sekali tidak menguntungkan masyarakat kelas bawah.
Selain itu dalam persoalan lain terlihat sekali semakin tahun angka korupsi di Indonesia bukan malah berkurang, namun mengalami peningkatan yang fantastis. Sulit untuk dipercaya para pemangku jabatan yang merupakan kaum terdidik tersebut tidak memahami posisinya sebagai penyambung lidah rakyat. Demokrasi yang selalu digaung-gaungkan selama ini dikebiri bahkan dipasung oleh para wakil rakyat.
Berangkat dari berbagai persoalan tersebut setidaknya menjadi bahan evaluasi bagi IMM di sianya yang ke-54. Agar selalu menjadi agent of social control bagi bagsa ini melalui ilmu yang didasari akhlak mulia. Seorang akademisi tentu tidak akan tinggal diam melihat situasi bangsa yang sedang carut-marut ini untuk terus seperti ini. Harus disadari bagi IMM bahwa panggilan rakyat adalah panggilan jihad. Yakni jihad untuk kedaulatan rakyat, melalui gerakan-gerakan yang masive sebagai symbol dari jatidiri seorang Intelektual.
Gerakan Intelektual IMM tentu tidak hanya sebatas wacana belaka, namun gerakan Intelektual yang dimaksud disini seperti yang pernah dikatakan oleh M Abdul Halim Sani yang meminjam istilahnya Kuntowijoyo sebagai Intelektual profetik atau dalam istilah lain Antonio Gramsci menyebutnya sebagai Intelektual Organik, lebih spesifik lagi Ali Syariati mengistilahkannya sebagai Rausyanfikr. Seorang Intelektual yang dicita-citakan oleh para tokoh tadi yakni mereka mampu menggunakan ilmunya sebagai alat transformasi sosial dengan landasan teologis dari teks agama.
Sudah saatnya IMM bangkit dan bergerak dalam melakukan transformasi sosial dalam gerakan-gerakannya secara nyata. Warna merah yang melekat dalam almamater merupakan bukti bahwa sejak awal didirikan, Dzasman Al-Kindi mencita-citakan agar kader-kader IMM berani untuk menyuarakan kebenaran sampai titik darah peghabisa. Ia berharap agar kader IMM tidak hanya memiliki suara lantang namun juga diiringi dengan mental pemberani untuk beramar ma’ruf nahi munkar dalam konteks apapun.
Menjadi sebuah cita-cita dan harapan besar bagi IMM untuk terus melebarkan sayap dakwahnya di berbagai sektor. Terutama sektor keummmatan dan kemasyarakatan yang saat ini jarang mendapat perhatian dari para aktor Intelektual. Usia 54 bukan lagi usia muda, artinya IMM sudah bukan saatnya lagi terjebak dalam persoalan internal keorganisasian. Bangsa ini sangat membutuhkan sentuhan segar dari para aktor Intelektual bernama IMM. Jika IMM masih berfikir untuk dirinya sendiri lantas untuk apa IMM didirikan dengan melahirkan jutaan kader di berbagai perguruan tinggi? Tentu untuk menjadi para pejuang pesyarikatan, umat dan bangsa. Selamat Milad Ikatanku, Jangan Pernah Berhenti untuk Senantiasa Menjadi Pendobrak Ketidakadilan.
*Ayu Wilatika (Kader IMM Komisariat Tamaddun Fakultas Agama Islam UMM)