Perempuan
Dia menyebut dirinya senja
Padahal matanya lebih kilau dari jingga
Meski saat setengah tubuhmu ditelan gelombang tenang lautan
Perempuan
Engkau bukan sekedar pemilik umurku di dunia
Di surga pun namamu terpahat di rumah peraduan akhir kita
Perempuan
Maaf jika cemburu seringkali membabi buta
Namun aku hanya pecinta biasa yang tak bisa mencintaimu sekali saja
Perempuan
Garis senyummu saat tertidur
Itulah lekuk pelangi terindah yang pernah aku lihat seumur hidup
Perempuan
Hidupku hanya sekali
Namun ijinkan aku untuk mencintaimu berkali-kali
Perempuan
Dadamu adalah lelap
Tempat lelah menyelinap dan mengendap
Perjalanan kita terus terasa sedap meski masih mengendap dalam sebuah belenggu yang kadang ketidakpahaman mereka menjadi sebuah dekap.
Kita adalah geliat jiwa yang menari-nari di atas pepohonan. Terus mencoba berjalan menjaga keseimbangan di reranting yang siap menjatuhkan kita kapan saja.
Doa-doa terlontar untuk kita, agar kita bisa melewati segala duka dengan senyuman dan tawa sederhana sebagaimana Ia mengajarkan kita cara bersyukur.
Kita sepasang nelayan yang telah diberi sampan lalu mendayungnya perlahan untuk menuju tepi yang sering kita impikan. Menjala ikan-ikan untuk kita makan hingga Tuhan menghadiahkan kita sebuah perjuangan yang bukan kesia-siaan.
Percayalah, lorong-lorong gelap ini memiliki ujung yang akan membuat kita saling menatap menikmati matahari yang cerah dengan senyuman.
Terima kasih untuk kesabaranmu mengajarkan aku sebuah pengertian cinta yang sangat luar biasa. Meski kadang engkau sering terluka oleh segala kekhilafan seorang lugu yang terlalu sering dipecundangi oleh kasih sayang.
Terima kasih telah mampu menerima darahku yang tak biru untuk bisa kau dekap dalam peluk seorang wanita tabah sepertimu.
Untuk mencintaimu aku tak memiliki apa-apa kecuali bisa memperkenalkanmu sebuah pengabdian dan kesetiaan dari seorang pengembara berdebu aku.
Kepada hatimu yang begitu nyaman untuk kutempati, terima kasih telah memberikan aku rumah tempatku berteduh dari segala peluh yang sekejap selalu mampu kau buat luluh.
Kepada jiwamu yang begitu tulus, terima kasih telah menempatkan aku di sebuah
ruang yang tak pernah menjadi pengadilan atas segala kekurangan.
Kau telah membawaku menikmati senja, tapi tak bisa lebih indah dari jingga di matamu yang selalu bisa kunikmati kapanpun.
Wahai hati yang lapang, terima kasih telah memberikan ruang ku tempat untuk menceritakan masa lalu melepas segala beban.
Dari kebisuan dinding yang menjadi tempatku meratap, engkau telah perkenalkan aku untuk belajar memahami kerinduan dan arti kehadiranmu.
Tak pernah ada cinta yang mampu membuatku untuk berani memilih jalanku sendiri kecuali karena engkau yang selalu mampu mengilhami lahirnya puisi.
Oleh : Ridho Suwarno (Aktivis IMM)