Modernis.co, Makassar – Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) berdiri sejak 1964 Merupakan salah satu Perguruan Tinggi Muhammadiyah terbesar di indonesia, dan terunggul diwilayah jawa timur serta telah mendapatkan Akreditasi “A” oleh BAN-PT.
UMM memiliki jumlah 25.000 mahasiswa yang tersebar di 10 fakultas. Dalam melakukan pembinaan kemahasiswaan, kampus putih membuat kebijakan dengan bersandar pada UU Sikdiknas, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Tentang Pembinaan Lembaga Kemahasiswaan, Qoidah PTM, Statuta UMM, serta SK Rektor yang dituangkan dalam buku pedoman pembinaan mahasiswa UMM.
Lembaga kemahasiswaan di kampus putih dibagi menjadi 5; Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Senat Mahasiswa (SEM-U), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Serta Organisasi Otonom Muhammadiyah (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah_IMM, Tapak Suci). Semua terdiri dari tingkat Wilayah (fakultas) dan Pusat (Universitas) serta terdapat 25 UKM termasuk Tapak Suci, dan didukung 50 Lembaga Semi Otonom (LSO) diseluruh Fakultas.
Untuk mengamodir fungsionaris lembaga kemahasiswaan dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan Pemilu Raya (Pemira) bagi BEM, SEM, dan HMJ. Sedangkan UKM dan Ortom diberikan kuasa penuh untuk mengatur sendiri struktural dan fungsionarisnya melalui forum Musyawarah. Pemilu Raya Sendiri dilaksanakan berdasarkan 3 Undang-Undang Lembaga Intra yang dibuat SEMU dan disetujui BEMU, yakni UU Lembaga Intra No. 1 tentang Penyelenggaraan PEMIRA, UU No.2 Tentang Partai Politik Mahasiswa (Parpolma), UU No. 3 tentang PEMIRA.
Dalam Dinamika Politik Pemira pada awalnya (Sekitar Periode 2000an) diikuti banyak partai lokal. Pelaksanaannya dilakukan dengan sistem distrik. Namun dengan seiring wacana reformasi lembaga intra (2008), lahirlah Undang Undang Lembaga Intra yang membuat sistem pemira menjadi terpusat. Hal tersebut membuat beberapa organisasi ekstra kampus berkamuflase menjadi partai politik mahasiswa dikarenakan persyaratan pendirian partai yang membutuhkan basis massa yang jelas.
Issue Pemira Pun menjadi pesta demokrasi yang sangat dibahas sekalipun bersifat ceremonial monumental, bahkan menjadi ajang pendidikan politik dasar bagi mahasiswa. Dengan sistem kepartaian terpusat inilah mengundang kompetisi yang ketat dan sarat berbagai intrik. Mulai dari berlomba-lomba membranding masing-masing partai sampai praktek Black Campaign menjadi bumbu penyedap pemira.
Geopolitik Kampus Putih
Dalam Dinamika politik pemira tak bisa dilepaskan peran berbagai organisasi intra dan ekstra kampus. Peranan organisasi ekstra bukan hanya sekedar berpartisipasi tapi pertaruhan gengsi dan eksistensi.
Egosentris dan kepentingan golongan seperti layaknya pemilu di negara kita adalah hal yang paling wajib diutamakan merupakan sesuatu yang tak bisa dihindari. Walaupun sejatinya pemira bertujuan penjaringan fungsionaris dan pendidikan politik bagi mahasiswa. Di sisi lain pemira juga menjadi faktor X bagi perkembangan kader organisasi mahasiswa.
Tak heran jika mereka bersatu membentuk Parpolma. Sebut saja omek hijau yang mendirikan Partai “KITA”, omek rohis dengan Partai Generasi Baru (PGB), omek kuning dengan Partai Mahasiswa Indonesia (Parmindo). Hal ironis terjadi dalam tubuh ortom. Perbedaan pandangan dan fatsoen politik masih menjadi batu sandungan untuk membentuk satu partai bersama.
Militansi pun menjadi ikut mempengaruhi hal tersebut, sebagian besar kader diikat oleh Partai PASTI (Aspirasi Sejati), sisanya tergabung dalam PAPERMA (Partai Perjuangan Mahasiswa) dan lainya memilih untuk netral. Potensi kader dalam salah satu PTM terbesar menjadi faktor utama untuk bersatu naif dengan ego kepentingan masing-masing Wilayah. Namun juga didapat dinafikan ada faktor historis kedua partai kader ortom tersebut.
Jika PASTI deklarasi dengan 9 fakultas yang diprakarsai Makmun Murod dkk dari Fisip, dengan asas egalitarisme mahasiswa. Lain cerita dengan PAPERMA yang merupakan fusi dari berbagai eks partai lokal di Fakultas Teknik. Pembelahan opini tersebut melemahkan posisi ortom di kampus PTM yang notabene merupakan tuan rumah yang bukan menjadi tuan rumah di rumah sendiri.
Pesimisme dan apatisme dikalangan kader pun menjamur hingga sampai pada disorientasi tujuan ortom. Hal lain yang menarik adalah keterlibatan aparatur kampus yang juga memiliki kepentingan kekuasaan di pimpinan amal usaha Muhammadiyah. Merupakan faktor penentu bagi kontestasi dalam pemira. Maka Omek, Parpolma dan oknum aparatur kampus layaknya mata rantai yang berkonspirasi dalam sebuah lingkaran setan demi mengamankan kepentingan masing-masing.
Hal ini pun, diperparah dengan posisi ortom (IMM dan Tapak Suci) yang dianaktirikan oleh PTM (AUM) yang seharusnya berkolaborasi melakukan kaderisasi untuk persyarikatan Muhammadiyah. Stigma UMM sebagai kampus muhammadiyah liberal dalam berbagai hal adalah sebuah headline bagi kalangan awam (outsider).
Tidak sampai disitu, bahkan posisi perangkat penyelenggara Pemira layaknya kue pembagian yang hanya bisa dinikmati beberapa kalangan. Sementara suara dan aspirasi mahasiswa dimotori melalui basis massa masing-masing. Maka disetiap tahun penyelenggaraan Pemira tingkat partispasi pemilih hanya mencapai 30% dari total 25 ribu mahasiswa UMM.
Belum lagi jumlah mahasiswa di setiap fakultas yang memiliki perbedaan yang tajam. Sangat berpengaruh dalam kalkulasi politik dalam pemenangan kontestasi pemira. Ironisnya hanya beberapa fakultas yang hampir menyentuh angka 80% partisipasi Pemilih. Sebut saja FAI, FKIP, FISIP, FT, serta FEB. sementara sisanya FPP, F.Psi, F.Hukum, Fikes, dan FK kurang dari 50% partisipasi pemilih.
Hal tersebut menggambarkan kesadaran politik mahasiswa masih terhitung rendah dan punya keinginan berkontribusi untuk berorganisasi. Keadaan ini membuat peningkatan prestasi mahasiswa baik individu maupun kolektif masih dalam kata mengkhawatirkan meski pun UMM tidak pernah absen dalam setiap ajang kompetisi tingkat regional, maupun nasional.
Akibatnya pula Jaringan luas internasional kampus pun belum teroptimalkan. Sehingga UMM hanya memiliki kuantitas lembaga intra yang cukup. Namun belum diimbangi dengan kapasitas individu dan kualitas organisasi yang layak. Nasib Lembaga Mahasiswa saat ini hanyalah pelengkap administrasi untuk memenuhi kebutuhan visitasi dan akreditasi belaka. Tentu semoga hal ini harusnya menjadai tamparan yang akan menyadarkan aparatur kampus putih.
Oleh karena itu, seharusnya Pemira tak hanya dijadikan ajang reformasi dan rekruitmen fungsionaris lembaga intra, tapi pemira harus menjadi tonggak pembinaan, dan pengembangan, mahasiswa. Serta ajang aktualisasi ilmu yang telah didapatkan dari berbagai organisasi intra dan ekstra.
Semua akan terwujud jika seluruh civitas akademika kampus putih memiliki kesadaran politik parukial yang partisipatoris dan kontributif bagi kemajuan UMM. Sudah saatnya kita membongkar kebiasaan lama, menghapus budaya primodial dan senantiasa membangun persatuan didalam perbedaan (Unity in Diversity).
Walikulli wujihatun Huwa Muallihah Fastabiqul Khoirot.
*Oleh : Rahmatullah Firdaus (Senat Mahasiswa Universitas Dapil FAI UMM 2013/2014)