Modernis.co, Bandung – Indonesia adalah negara besar yang terdiri dari ribuan pulau, beragam bahasa dan budaya. Hampir 74 tahun telah berlalu semenjak proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno. Terbentuknya negara Indonesia tentu tidak semata-mata tanpa tujuan dan cita-cita bangsa.
Teks pembukaan Undang Undang Dasar 1945 pada alinea dua dan empat mencantumkan keduanya. Alinea dua Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 menyatakan “dan perjuangan perkerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.”
Adapun tujuan bangsa Indonesia yang ada dalam alinea keempatnya ada empat poin yaitu 1) membentuk suatu pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, 2) memajukan kesejahteraan umum, 3) mencerdaskan kehidupan bangsa dan 4) ikut berperan aktif dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Upaya dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional kemudian terbentuklah konsepsi ketahanan nasional.
Perjalanan Indonesia sebagai sebuah negara setelah kemerdekaan tahun 1945, tak selalu berjalan mulus. Banyak permasalahan ketahaanan nasional yang mesti dihadapinya baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Pada awal kemerdekaaan terjadi Agresi Militer Belanda yang bekerja sama dengan Sekutu karena enggan melepas jajahan yang penuh kekayaan alam ini.
Dua dekade selanjutnya muncul permasalahan yang bersumber dari dalam negeri yang kemudian dikenal dengan G30SPKI. Akhir abad 20 Indonesia digemparkan dengan adanya peristiwa yang menewaskan beberapa mahasiswa yang menuntut mundurnya penguasa Orde Baru.
Selain itu terjadi pula kerusuhan di Maluku yang salah satu penyebabnya dikemukakan Lokollo (1999) adalah karena situasi politik nasional pasca Sidang Istimewa (SI) MPR. Kisruh yang terjadi pada akhir abad 20 ini menjadi sebuah duka dan dasar refleksi masyarakat Indonesia di kemudian hari.
Goncangan akan ketahanan nasional negeri ini seakan tiada berhenti. Awal tahun 2000-an wacana globalisasi yang kemudian diiringi revolusi industri menjadi perbincangan. Hal ini disebabkan adanya dua kemungkinan atas keberadaannya.
Dua kemungkinan tersebut menurut Mugasejati dan Armawi ialah peluang berupa kesempatan masyarakat untuk menjangkau pasar global yang lebih luas atau menjadi ancaman akan eksistensi masyarakat atau suatu negara (Prasanti dan Fitriani, 2017).
Kemajuan teknologi dan interaksi dengan masyarakat global ini bukan berarti selalu bahaya dan keberadaan globalisasi dan revolusi industri bukan untuk ditolak. Hanya saja dampak laten dari keduanya yang memungkinkan permasalahan sosial baru seperti kenakalan remaja, pergaulan bebas bahkan lunturnya nilai dan moral di masyarakat. Sehingga perlunya pengetahuan masyarakat dalam mengimbangi kemajuan teknologi yang ada.
Fenomena atas kecanggihan media informasi adalah adanya penyebaran ujaran kebencian (hate speech) dan berita yang masih belum tentu kebenarannya (hoax). Kasus yang terkait dengan ini adalah ketika mencuatnya kasus pelecehan agama yang mencatut nama mantan Gubernur DKI Jakarta B.T.P. dan penyebar videonya. Selain itu, masih hangat dalam ingatan media sosial yang dijadikan wadah perang ujaran kebencian antarpendukung calon presiden selama masa kampanye pemilihan presiden 2019.
Hal ini menyebabkan perpecahan pada masyarakat yang memiliki kecenderungan pilihan pada salah satu dari dua calon presiden tersebut. Adanya kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoax menjadi sebuah indikasi bahwa masyarakat kita luntur semangat persatuan, belum siap dengan segala kemajuan ini serta perlu edukasi untuk mengimbanginya.
Berdasarkan beberapa fenomena di atas, perlu adanya upaya agar ketahanan nasional ini tetap stabil. Karena stabilnya kondisi dinamis negeri ini, akan memengaruhi terwujudnya cita-cita dan tujuan nasional kita. Sebuah keniscayaan bagi setiap elemen negara untuk tetap menjaga kestabilan ketahanan nasional.
Hal ini dikarenakan saling terikat dan perlu saling bahu-membahu antara elemen satu dengan lainnya. Lajnah Pentashihan Mushhaf Alquran Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI (2011) menyebutkan bahwa dalam wilayah negara rakyat berperan sebagai warga negara dan pemerintah melaksanakan fungsinya dalam pemerintahan negara.
Dalam kegiatan mengatasi isu-isu ketahanan nasional layaknya sebuah pengobatan perlu dilakukan dengan dua cara, yakni secara preventif dan kuratif. Upaya kuratif dilakukan sebagai tindakan reaktif atas masalah yang sedang atau telah terjadi. Namun, selain berupa reaksi penting juga melakukan tindakan antisipasi agar permasalahan tidak terjadi kembali di masa yang akan datang. Selain tentang frekuensi terjadinya, hal ini juga dilakukan untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan.
Keluarga sebagai Fondasi Ketahanan Nasional
Kegiatan preventif atas isu ketahanan nasional mesti dilakukan mulai dari kelompok terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. Aisyah (2013) menyatakan bahwa keluarga bagi manusia tetap memiliki arti pokok dan tergolong institusi sosial terpenting dalam kehidupan abad ke-21 ini. Hal ini dimaksudkan untuk memersiapkan generasi penerus yang kuat baik secara pengetahuan, mental maupun fisik sekaligus proteksi dari kemungkinan masalah yang akan dihadapinya di masa depan.
Terbentuknya generasi penerus yang baik, dipengaruhi oleh bagaimana tahapan perkembangannya berjala dengan baik serta penguatan keluarganya. Keluarga bagi perkembangan anak merupakan unit sosial utama yang membentuk perkembangan anak (Ulfiah, 2016).
Anak yang disiapkan untuk calon pemimpin di masa depan merupakan kewajiban bagi orang tuanya. Alquran telah memberikan contoh atas perlunya generasi penerus yang hebat, kuat serta taat. Hal ini digambarkan dalam kisah Nabi Zakariya a.s mengenai do’anya yang meminta keturunan yang siap menjadi penggantinya sebagai penyampai risalah ketuhanan. Kisah ini tercantum dalam Q.S. Maryam ayat 1-6.
“Kaaf Haa Yaa ‘Ain Shaad. (yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria. Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata “Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku. Dan Sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku[898] sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera. Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan Jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai”.
Kita ketahui bersama dan sebagian telah dipaparkan sebelumnya, mengenai isu-isu yang berpotensi menjadi ancaman, gangguan, hambatan atau tantangan akan perjalanan mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Masalah akan senantiasa ada selama masih ada kehidupan di muka Bumi ini. Seiring berlalunya waktu, wujud dari permasalahan setiap zaman mungkin berbeda namun dengan pola yang sama.
Berdasarkan ayat tersebut dikatakan bahwa Nabi Zakariya memohon kepada Allah SWT agar diberikan momongan karena usianya yang hampir senja. Ia juga meminta agar diberikan keturunan yang akan menjadi penerusnya dalam menyampaikan pesan Ilahi kepada kaumnya. Ayat ini mengajarkan pada kita untuk senantiasa menyiapkan kader-kader pemimpin masa depan yang siap fisik maupun mental serta berpegang teguh pada ajaran agama.
Ayat lain menyebutkan bahwa kita tidak boleh penerus kita dalam keadaan lemah. Hal ini tentu terkait dengan kemampuan survive atau bertahan meskipun beragam masalah akan dihadapinya. Karenanya menyiapkan tunas harapan bangsa menjadi sebuah keniscayaan dan keluarga adalah tempat perkaderan utama yang paling tepat.
Rumusan Alquran mengenai Penguatan Ketahanan Keluarga
Keluarga memiliki peranan penting dalam pembentukan karakter para penerus bangsa yaitu dalam membentuk sikap, perilaku dan perkembangan dalam aspek sosial, emosional maupun kepribadian (Ulfiah, 2016). Anak yang diberikan perawatan dan perhatian penuh dalam masa tumbuh kembangnya akan berbeda dengan anak yang tidak diberikan atau hanya sedikit dari perhatian dan perawatan oleh orang tua atau keluarganya.
Meskipun dalam segi kepribadian, setiap manusia walau memiliki tipologi kepribadian yang sama akan tetap berbeda. Beberapa fungsi keluarga menurut Soelaeman dalam Ulfiah (2016) yaitu fungsi edukasi, sosialisasi, proteksi, afeksi, religius, ekonomis, rekreatif dan biologis. Hal ini senanda dengan konsepsi peran dan fungsi keluarga dalam Alquran. Rumusan pelaksanaan penguatan keluarga telah dijelaskan dalam Alquran sebagai pedoman hidup bagi umat manusia yang terjamin kemurniannya.
Pendidikan dan Internalisasi Nilai
Salah satu hadits Rasulullah menyebutkan bahwa setiap manusia terlahir dalam kondisi fitrah dan orang tuanya lah yang menjadikan sebagai Yahudi atau Nasrani. Selain itu Jhon Locke mengibaratkan anak yang baru lahir itu seperti kertas putih kosong yang siap diisi oleh lingkungannya. Pemberian pendidikan dan internalisasi nilai dapat membentuk pribadi anak sejak dini.
Keluarga merupakan madrasah al-ula bagi anak, di mana anak belajar mengindera apapun yang ada di sekitarnya anak juga disebut peniru yang unggul. Karenanya, sangat penting untuk diperhatikan mengenai bagaimana berperilaku terhadap anak. Fitrah yang Allah berikan pada manusia ada tiga, yaitu nalar, nafsu dan amarah (Al-Jauzi, 2014).
Sebuah keniscayaan bagi manusia untuk terus mengasah potensi nalarnya. Ini dilakukan karena dengan nalarlah manusia akan menjadi berbeda dengan hewan. Langkah pertama dalam menguatkan keluarga adalah dengan pendidikan dan internalisasi nilai.
Tips bagi keluarga dalam memberikan edukasi dan internalisasi nilai kepada anak telah Allah berikan role model-nya Alquran yakni kisah Luqman dan anaknya. Allah berfirman dalam Q.S. Luqman ayat 13 yang berbuyi:
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar“.
Hal pertama yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya adalah mengenalkan anak pada Tuhannya. Sebuah keniscayaan bagi kita yang hidup di negara yang meyakini adanya Tuhan. Dalam sila pertama Pancasila disebutkan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Pengetahuan mengenai ketuhanan merupakan salah satu membentuk kekuatan karakter anak. Dalam psikologi dikenal kekuatan karakter (character strength) yang terdiri dari beberapa virtue. Karakter spiritualitas ada dalam virtue transendensi.
Selain mengenalkan pada Sang Pencipta, anak juga perlu diajarkan mengenai nilai dan moral yang berlaku. Manusia dinilai dari bagaimana ia bertutur kata dan berperilaku baik kepada diri sendiri, orang lain maupun alam sekitar. Perintah dalam berperilaku baik kepada orang tua Allah jelaskan dalam Q.S. Luqman ayat 14.
Ayat tersebut menerangkan anak diharuskan bersikap baik kepada ibu yng telah mengandung selama 9 bulan lalu menyapih selama dua tahun dan ayahnya yang memberikan nafkah. Pada ayat lain dalam surah Al-Isra dijelaskan bahawa anak tidak diperkenankan untuk mengatakan ‘ah’ kepada orang tuanya. Apabila ada ketidaksesuaian perilaku dengan nilai dan moral inilah yang kemudian disebut perilaku abnormal atau ammoral.
Keunikan karena berbeda itu mungkin masih bisa ditoleransi, namun berperilaku tidak sesuai dengan pranata akan berakibat pada penyebutan perilaku melanggar hukum. Sejatinya, hukum dibuat untuk membentuk keteraturan. Maka dari itu pemberian pengetahuan akan nilai dan moral sangat penting dilakukan oleh orang tua sang pendidik pertama.
Anak yang memiliki dasar pengetahuan serta nilai yang telah terpatri dalam dirinya akan mampu memfungsikan nalarnya secara maksimal. Keberfungsian nalar akan mendorong pada kemampuan mengendalikan potensi nafsu dan amarahnya.
Nalar yang sampai pada titik sempurna tidak akan hanya memikirkan kepentingan serta keinginan dirinya sendiri namun juga akan senantiasa mengingat Allah dan berpikir jauh pada penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam hingga ia menyadari kesucian Allah dan tiada yang tidak bermanfaat dalam segala hal yang Ia ciptakan.
Karakter ini dapat kita temui sebagai karakter ulul albab yang tertulis dalam Q.S. Ali Imran ayat 190-191. Generasi yang memiliki karakteristik ulul albab inilah sebagai bentuk ideal bagi para penerus bangsa calon pemimpin masa depan.
Sosio-ekonomi
Penguatan dalam aspek sosio-ekonomi tentu tidak untuk dipandang sebelah mata. Aspek ini sering kali menjadi pembahasan dalam diskursus kemasyarakatan. Aisyah (2013) menyatakan bahwa dalam kehidupan abad 21 ini ditandai oleh individualisasi dan mobilisasi. Karenanya, pergeseran nilai menjadi tak terelakkan.
Atas dasar inilah perlunya dibangun kesadaran pada setiap individu karena sifat alamiahnya sebagai makhluk sosial membuatnya tidak akan bisa terlepas dari kebutuhan atas orang lain. Selain itu penting juga untuk menyadarkan bahwa niscaya memiliki ekonomi yang kuat.
Kementrian Sosial dan Badan Pusat Statistik Indonesia menyatakan tahun 2014 beberapa dampak dari kemiskinan adalah anak-anak terlantar, ditelantarkan oleh keluarga, menjadi anak jalanan, bermasalah tekait huku, putus sekolah dan terpaksa bekerja.
Selain itu berdasarkan penelitian Bappenas, SMERU dan UNICEF tahun 2012 menyatakan bahwa anak Indonesia yang terkena dampak kemiskinan dan penghasilan kurang dari dua dolas (AS) per hari ada 44,3 juta anak (Anjarsari dan Hartini, 2018). Miris rasanya ketika anak-anak yang tidak berdosa, yang haknya adalah mendapatkan pendidikan namun karena terkena dampak kemiskinan membuat mereka tidak mampu mendapatkannya.
Islam menyerukan kepada umatnya untuk menjadi mukmin yang kuat. Dalam Q.S. Al-Qashash ayat 77 “dan carilah dalam karunia Allah yang dianugerahkan kepadamu kebahagiaan akhirat, dan janganlah melupakan kebahagiaanmu di dunia ini. Dan berbuat baiklah kamu (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang0orang yang berbuat kerusakan”.
Berdasarkan ayat di atas salah satu penunjang kebahagiaan di dunia adalah kesejahteraan psikis maupun materi. Tercukupinya segala kebutuhan senantiasa didambakan oleh manusia. Selain itu juga ayat ini menyuruh agar umat manusia berusaha untuk kepentingan duniawinya.
Usaha untuk menjadi muslim yang kuat segi fisik dan materi sangat dianjurkan oleh Rasulullah, dalam penggalan haditsnya menyatakan bahwa mukmin yang kuat itu lebih baik. Tentunya dengan diberikan kecukupan rezeki Allah menjadikan peluang kita untuk memberi semakin besar. Sehingga menjadi sebaik-baiknya manusia bukan hanya sekadar idealisme imajinasi.
Pengaruh positif dari adanya globalisasi dan kecanggihan teknologi memberikan kemudahan dengan munculnya lapangan usaha baru. Kini orang mengurangi intensitas ke pasar dengan adanya toko belanja daring yang bisa diakses lewat gawainya.
Disisi lain para pemilik lapak di pasar mengalami kerugian karena pengunjung yang berkurang. Inilah tantangan yang harus diselesaikan oleh masyarakat untuk mengimbangi kemajuan zaman serta para pemangku jabatan untuk membuat aturan yang tidak akan merugikan salah satu pihak secara zalim.
Peranan dan Keterlibatan Anggota Keluarga
Dalam menjalankan posisinya sebagai anggota keluarga serta keterlibatan dalam dinamika kehidupan keluarga khususnya peran dan fungsi dalam keluarga. Alquran menyerukan kepada orang-orang beriman untuk menjaga keluarga dari api neraka yang di dalamnya berisikan manusia dan batu sebagai bahan bakarnya. Hal ini termaktub dalam Q.S. At-Tahrim ayat 6 yang berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Ayat ini menerangkan bahwa keluarga memiliki fungsi proteksi. Anggota keluarga memiliki kewajiban untuk saling melindungi antaranggota keluarganya agar tindakannya tidak membawa mereka ke dalam neraka. Selain itu peranan dan keterlibatan anggota keluarga menjadikan kualitas hubungan dalam keluarga menjadi erat dan kemampuan untuk bangkit dari penderitaan menjadi kuat.
Keduanya penting untuk membangun kesejahteraan pada tiap anggota keluarga. Anak yang berada pada lingkungan keluarga yang memiliki kelentingan serta kekukuhan keluarga yang baik akan terbentuk menjadi anak yang baik serta kuat.
Peranan dan keterlibatan keluarga akan terlihat dari pola asuh yang diberikan orang tua pada anak. Pola asuh akan membentuk pribadi dan karakter anak. Pola asuh yang diberikan contoh dalam Alquran adalah menempatkan sesuai kebutuhan atau autoritatif, tidak terlalu permisif maupun otoriter.
Anak yang berusia tujuh tahun adalah bunga hidup dan pelayan bagimu. Anak usia empat belas tahun akan menjadi teman jika diperlakukan dengan baik dan menjadi musuh jika diperlakukan sebaliknya. Anak yang sudah baligh jangan dipukul karena ia sedang memantapkan jati diri dan berusaha melepaskan diri dari pengaruh orang tua (al-Jauzi, 2014).
Simpulan
Alquran sebagai pedoman hidup telah memaparkan mengenai berbagai permasalahan yang dihadapi umat manusia. Termasuk bahasan tentang cara-cara menguatkan ketahanan keluarga. Keluarga muslim hendaknya menjadikan rumusan Alquran untuk menerapkan dalam kehidupan sehari-harinya.
Keluarga muslim diharapkan menjadi contoh bagi keluarga lainnya sebagai keluarga yang memiliki ketahanan keluarga yang baik. Sehingga nantinya sosialisasi mengenai penguatan keluarga dapat menjadi lebih luas lagi objeknya.
Terbentuknya unit sosial dasar masyarakat yang baik tentu akan menjadikan implementasi cita-cita dan tujuan nasional menjadi lebih mudah karena kesadaran akan pentingnya ketahanan nasional telah dilakukan sejak dini di dalam keluarganya. Rumah menjadi tempat yang menyenangkan sekaligus internalisasi nilai yang baik.
Atas dasar itulah masalah yang akan datang nantinya yang dapat jadi ancaman, hambatan, tantangan serta gangguan pada terwujudnya cita-cita dan tujuan nasional dapat diatasi dan diantisipasi. Ketahanan nasional yang kokoh bukan lagi dambaan semata namun dapat dirasakan secara nyata dan diantisipasi dengan penguatan ketahanan keluarga.
Rumahku surgaku, jayalah negeriku!
*Oleh : Lilih Muplihah (Sekretaris Bidang RPK PC IMM Bandung Timur)
Referensi
Anjarsari, S. & Hartini, S. (2018). Upaya pengelola program penguatan keluarga SOS Children’s Villages Indonesia dalam mengurangi jumlah anak-anak yang rentan terlantar, Jurnal Comm Edu, 1 (1), 38-43
Aisyah, Nur. (2013). Relasi gender dalam institusi keluarga (Pandangan Teori Sosial dan Feminis), Muwazah, 5 (2), 203-224
Al-Jauzi, Ibnu. (2014). Buku saku terapi spiritual. Jakarta : Zaman
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Libang dan Diklat, Kementrian Agama RI. (2011). Al-Qur’an dan kenegaraan. Jakarta : Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an
Lokollo, J.E. (1999). Kerusuhan di Maluku : Beberapa masalah dan kaitannya dengan ketahanan nasional. Antropologi Indonesia, 58, 88-93
Prasanti, D. & Fitriani, D.R. (2017). Membangun ketahanan informasi dalam komunikasi kesehatan bagi kalangan perempuan urban di Jakarta, Jurnal Ketahanan Nasional, 23 (3), 338-357
Ulfiah. (2016). Psikologi keluarga : Pemahaman hakikat keluarga dan penanganan problematika rumah tangga. Bogor : Ghalia Indonesia