Modernis.co, Manado – Tentu judul tulisan diatas tidaklah berlebihan jika melihat pelbagai polemik yang menggorogoti tubuh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Sebagai penyumbang kader cendekiawan muslim bagi Muhammadiyah.
IMM disini memiliki tugas yang sangat berat. Bagaimana tidak, rekayasa genetik dengan berbagai eksperimentasi yang dijalankan oleh IMM dituntut untuk memberi iklim keilmuan bagi kader.
Melalui iklim keilmuan tersebutlah gerakan IMM saat ini dikonsentrasikan sebagai upaya sadar. Setidaknya hal demikian juga disinggung oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam pembukaan Muktamar IMM ke XVIII di Malang bahwa “IMM harus memperkuat tradisi iqra”.
Pilihan gerakan IMM bidang keilmuan tersebut sesungguhnya menjadi alat pembeda dengan organisasi Mahasiswa lainnya. Disamping juga ortom di lingkungan Muhammadiyah sendiri. Latar belakang gerakan IMM dalam ranah keilmuan telah menjadi pilihan sadar institusi dalam membaca kebutuhan dasar organisasi. Gerakan ilmu yang dimiliki oleh IMM ini dikreasikan dalam bentuk tradisi (budaya) serta etos kerja yang tinggi oleh tiap-tiap kader dalam menggoreskan bingkai perjalanan sejarah.
Dalam sejarahnya, IMM memiliki semboyan atau jargon yang dikenal dan cukup membuat hasrat erotika nalar bagi setiap diri kadernya. Adapun bunyi dari jargon tersebut adalah “Anggun Dalam Moral, Unggul Dalam Intelektual”. IMM sejatinya tidak begitu sukar untuk membentuk iklim intelektual dan moralitas tinggi dalam komunitasnya. Iklim intelektual dan moralitas tinggi tersebut juga dijadikan sebagai wahana indoktrinasi dari spirit masing-masing kader menapakkan jejak langkah dipentas peradaban.
Sudah memasuki tahun ke-5 saya tergabung dengan IMM Sulawesi Utara dalam mengemban peran sebagai kader pada umumnya. Untuk selalu menjalani aktivitas serta memberikan corak demi IMM Sulawesi Utara lebih bervariatif dan berwarna.
Wabil khusus Komisariat IAIN Manado, Namun dalam perjalanan aktivitasnya sebagai organisasi Mahasiswa. IMM sesungguhnya diliputi pelbagai persoalan yang menciutkan mental peradaban bagi para kadernya sendiri. Sebut saja kejumudan dalam gerakkan literasi serta hilangnya instrumen dimensi duduk melingkar (diskusi) membuat IMM semakin redup.
Problem lainnya juga muncul dari apatisme struktur kepemimpinan yang tidak menampakkan rasa kekhawatirannya terhadap sesama pimpinan serta pada kader yang aktivitasnya pada titik rendah. Hal ini tentu saja menjadikan tubuh ikatan tampak lunak serta krisis identitas gerakkan.
Pada posisi seperti ini IMM bakal sulit untuk memenuhi ambisinya menjadi kaum yang terampil dalam critical thinking dan higher order of thinking, dalam hal tertentu IMM juga akan gagal melakukan aksinya sebagai gerakan transformasi sosial serta gerakan pembaharu.
Dengan berkecamuknya polemik dan dinamika pada tubuh ikatan, tentu diperlukan formula yang konkret dan juga menciptakan aksi yang sebenar-benarnya nyata. Agar tubuh yang mulanya kaku kembali tegap. disamping itu kita harus kembali kepada “tradisi: prinsip-prinsip dasar”. T
etapi bukan menjadikan prinsip-prinsip dasar masa lalu sebagai landasan kebangkitan yang dihadirkan sebagaimana adanya, tetapi sebagai dasar melakukan kritik masa kini dan masa lampau untuk melompat ke masa depan. Prinsip-prinsip dasar masa lalu harus ditasirkan menjadi nilai-nilai baru. dalam hal lain, perlu adanya kehati-hatian dalam memfilterisasi keunggulan setiap kader agar aktif disetiap tupoksinya.
Oleh : M. Azhary Tulusang (Aktivis IMM Manado)