Modernis.co, Jakarta – Pemilu 2019 telah selesai, secara umum pemilu berjalan cukup baik. Meski, tidak dipungkiri masih banyak menyisakan sejumlah permasalahan dan perbaikan.
Berbeda dengan pemilu sebelumnya, Pemilu 2019 adalah sejarah baru bagi penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Karena pada pemilu kali ini, masyarakat memilih secara langsung presiden-wakil presiden dan wakilnya di parlemen secara bersamaan.
Diantara banyak kejadian yang mewarnai pemilu kali ini, ada satu hal yang cukup mencuri perhatian saya. Yaitu moncornya perolehan suara yang didapat Partai Keadilan Sejahtera (PKS). hasil cepat (quick qount) beberapa lembaga survei, menempatkan PKS berhasil tembus lima besar partai teratas. Setelah PDIP, Gerindra, Golkar dan PKB.
Saya akan paparkan hasil quick count dari tiga lembaga survei. Litbang Kompas, Charta Politica dan Indo Barometer. Dari data yang berhasil dihimpun Litbang Kompas hingga kini, Jumat 19 April 2019, pukul 09.00 menempatkan PKS diurutan ke ke-empat dengan raihan suara 8,67%, Charta Politica 8,89% dan Indo Barometer 9,66%
Dengan demikian,maka perolehan suara PKS di pemilu kali ini naik 1,87% dibanding pada pemilu tahun 2014, yang hanya memperoleh 6,7% (Quick qount Indo Barometer).
Dengan perhitungan di atas, maka PKS adalah partai yang paling tinggi kenaikan persentasenya, diantara partai lain yg ikut berpartisipasi di pemilu 2019.
Jika tidak banyak mengalami perubahan. Berdasar pada hasil quick count tiga lembaga survei di atas, maka, hasil perolehan suara PKS pada pemilu kali ini, adalah yang tertinggi sejak pemilu pasca era reformasi dimulai. Tahun 2004, PKS mendapat 7,34%. 2009, 7,88% dan 2014, 6,79%.
Hasil ini tentu patut diapresiasi, meski masih di bawah target perolehan nasional suara partai yang dikomandoi Sohibul Iman ini. Dimana partai yang mengklaim sebagai partai dakwah ini menargetkan 12% suara pemilih nasional.
Ditambah lagi dengan nada sumbang sejumlah lembaga survei menjelang pemilu. Dimana rilis Charta Politica pada tanggal 12 April 2019 menyebut, PKS hanya akan mendapatkan 6,4%. Bahkan, menurut survei Litbang Kompas yang dikeluarkan pada tanggal 21 Maret 2019, menempatkan PKS diurutan buncit, dengan perolehan suara 4,5%. Hasil akhir tentu kita akan tunggu dari KPU, sebagai lembaga resmi penyelenggara pemilu.
Perhatian saya tidak semata pada raihan suara PKS. Namun, lebih pada perjalanan partai yg digawangi Hidayat Nur Wahid ini memasuki tahun-tahun pemilu. Berbeda dengan partai lain pada umumnya, yang siap dengan segala amunisi dan akomodasi mumpuni. Kondisi PKS dalam empat tahun terakhir terbilang tragis, terseok-seok.
Bak seorang prajurit yang turun ke medan perang, namun seluruh persenjataan dan pertahanan satu persatu dilucuti kawan maupun lawan. PKS tidak memiliki prasyarat sebagai partai papan tengah apalagi masuk 5 besar.
Diawali dari perang urat syaraf antara Wakil Ketua DPR fraksi PKS, Fahri Hamzah, dengan jajaran anggota Fraksi Keadilan Sejahtera di DPR, Majelis Tahkim PKS pada 11 Maret 2016, memutuskan memecat Fahri dari seluruh jenjang jabatan di kepartaian. Namun, Fahri tidak terima dengan putusan Majelis Tahkim. Ia justru menempuh jalur hukum dengan melaporkan kasus pemecatan dirinya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Tidak tangung-tanggung, dalam gugatannya di pengadilan, Fahri menuntut PKS membayar ganti rugi materil Rp 1,6 juta dan imateril senilai lebih dari Rp 500 miliar.
Gayung bersambut, Pengadilan pun mengabulkan sebagian putusan Fahri, dengan menetapkan dirinya masih menjadi kader partai, anggota DPR dan Wakil Ketua DPR. Tidak hanya itu, Majelis Hakim juga memerintahkan PKS agar membayar ganti rugi imateril sebesar Rp 30 miliar.
Sampai sekarang, kasus ini masih berlanjut ditingkat MA, PKS terus berusaha mengajukan peninjau kembali atas putusan MA yang menolak kasasi PKS. Sekaligus, mengesahkan dua putusan sebelumnya, ditingkat Pengadilan Negeri dan Tinggi.
Selanjutnya, masih soal perseteruan PKS dengan Fahri. Kamis, 8 Maret 2018, Fahri melaporkan Presiden PKS Sohibul Iman, ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan dugaan penyebaran fitnah, permufakatan jahat, hingga pemalsuan dokumen, terkait pemecatannya dari PKS.
Dalam akun Twitter pribadi miliknya, @fahrihamzah, Fahri menulis. “Bismillah, Saya berada di pagi yang mendebarkan menjelang fajar, karena hari ini saya akan melaporkan saudara saya @msi_sohibuliman ke kepolisian RI. Sesuatu yang terpaksa saya lakukan. Sesuatu yang tak pernah terbayang akan saya lakukan. #UntukKebaikanPKS,”
Dengan kasus ini, al-hasil Sohibul pun jadi bulan-bulanan kepolisian. Dirinya harus bolak-balik memenuhi panggilan untuk dimintai keterangan. Hingga kini, kasusnya masih diproses, karena Fahri enggan mencabut laporan.
Konflik PKS VS Fahri tidak berhenti sampai disitu. Fahri bersama koleganya yang juga mantan Presiden PKS, Anis Matta, mendirikan ormas Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi). Mesti diakui, pengaruh dua sahabat kental ini masih cukup kuat di partai berlambang bulan sabit, padi dan kapas ini. Itu ditandai dengan banyaknya kader partai yang menyeberang ikut bersama Fahri.
Lebih mengenaskan lagi, berdirinya Garbi seakan mendapat restu dari sejumlah partai koalisi PKS di pilpres 2019. Ini terlihat dari sejumlah tokoh yang hadir pada saat deklarasi Garbi di Jakarta, Minggu 3 Maret 2019. Tokoh yang hadir diantaranya, Ketum PAN sekaligus Ketua MPR Zulkifli Hasan, Waketum Gerindra Fadli Zon, dan Ketua DPD Gerindra DKI M. Taufik.
Dikutip dari cnnindonesia.com saat deklarasi Garbi, Fahri bahkan sempat melemparkan bola panas, dengan mengatakan bahwa PKS lebih dekat dengan Presiden Jokowi, yang berujung pemecatan dirinya.
“PKS ini menurut saya dengan Jokowi lebih dekat. Kenapa? Karena feodal, enggak terbuka, enggak berani apa adanya,” kata Fahri, Minggu (3/3).
Selain itu, Fahri juga kerap melontarkan kalimat nyinyir, bahwa PKS tidak akan lolos Parliamentary Threshold dan akan tenggelam di pemilu 2019.
Seperti kata pepatah, sudah jatuh, tertimpa tangga. Konflik dengan Fahri tidak berujung, masalah baru datang menggunung. Kabar tidak mengenakan datang dari daerah, kader partai ramai-ramai mengundurkan diri. Dari sejumlah daerah Se-Indonesia, mundurnya kader di Banyumas dan Bali adalah yang paling menggegerkan “dunia persilatan” internal PKS.
Tercatat, 80 kader partai di Banyumas dan pengurus harian Se-Bali mundur dengan berbagai alasan. Mulai dari menolak tanda tangan pakta integritas sampai tidak terima dengan sistem rotasi yang diberlakukan.
Dengan segala permasalahan yang dihadapi, wajar sejumlah lembaga survei memprediksi PKS tidak akan berdaya di pilpres tahun ini. Namun ternyata, hasil berbicara lain, PKS bahkan bisa merangkak masuk lima besar.
Menanggapi keberhasilan PKS di pemilu 2019, Ketua Departemen Politik DPP PKS, Pipin Sopian mengatakan, bahwa salah satu faktor kesuksesan PKS adalah peran kader yang gencar mensosialisakan program-program partai. Mulai dari penghapusan pajak STNK motor, pemberlakuan SIM seumur hidup, perlindungan ulama dan simbol agama-agama, dan penghapusan pajak penghasilan dibawah gaji Rp 8 juta.
“Tak kalah penting karena PKS memiliki kader, simpatisan, caleg yang mengkampanyekan 4 program gagasan kampanye PKS,” ujar Pipin dalam pesan tertulisnya.
Selain itu, menurut pipin, melejitnya suara partai adalah buah dari konsistensi PKS dalam bersikap menyuarakan aspirasi rakyat dan ketaatan PKS dalam memperjuangkan ijtima ulama.
Kepiawaian PKS meredam konflik terbilang cukup baik. Publik tentu masih ingat bagaimana PKS melewati turbulensi politik menjelang pemilu tahun 2014. Saat itu, Ketum mereka, Lutphi Hasan Ishaq diciduk KPK. Sekarang, mereka berhasil meredam konflik internal, dibuktikan dengan perolehan suara yang diperkirakan meningkat dari pemilu sebelumnya.
Bermodal pengalaman pemilu saat ini dan kesolidan kader partai di pelosok daerah. Bukan mustahil, di pemilu tahun mendatang PKS akan masuk partai papan atas, dengan perolehan suara dua digit. Kita lihat saja bersama, kiprah selanjutnya partai dakwah ini.
Oleh: Riyadh Nur Hidayat (Jurnalis TV Swasta)