Demokrasi Dagelan, Perseteruan Cebong Kampret

cebong kampret

Modernis.co, Malang – Cebong dan kampret dua istilah satu makna. Sama-sama sebutan bagi kedua kubu pengusung masing-masing paslon presiden 2019. Si cebong sebutan bagi kubu yang pro Jokowi-Makruf sedangkan si kampret sebutan bagi kubu pro Prabowo-Sandi Uno.

Dua istilah beda makna tersebut menggambarkan massa dari kedua kubu dalam kontestasi pemilu pilpres 2019. Agak unik memang dalam penyebutannya. Namun mereka pembela pasangan masing-masing tak terlalu menghiraukan bahkan ada beberapa yang bangga dengan label tersebut. Situasi politik seperti ini lumrah terjadi di negara dengan pilihan dan cara politik yang berbeda-beda.

Ada saling serang dengan narasi, ide, gagasan untuk meyakinkan bahwa yang dipilihnya merupakan yang terbaik dan paling baik, namun sebaliknya ada pula saling menjatuhkan antar kubu. Pada situasi seperti ini cebong kampret dilarang baper, baper sedikit turunlah popularitas keseksian masing-masing kubu.

Label cebong dan kampret memang hangat di permukaan, manuver-manuver politik kedua kubu diluncurkan, saling sinis antar kubu hal yang lumrah dilakukan. Berdemokrasi dengan sesuatu yang dianggap biasa-biasa saja dalam pelaksanaan pemilu presiden.

Padahal bisa terjadi hal yang sebaliknya, kesalah pemahaman persepsi bahwa pemilu itu merupakan instrumen efektif dan konstitusional untuk mengetahui pendapat mayoritas rakyat mengenai siapa yang mereka kehendaki guna memegang kendali pemerintahan, pemilu sudah dihayati sebagai bagian penting dari kehidupan demokrasi.

Pemilu presiden 2019 ini bukanlah syarat mencukupi atau tidak, namun syarat yang perlu bagi demokrasi. Disamping mencerminkan sisi ideal demokrasi, pemilu juga dapat menampilkan sisi bahayanya. Memenangkan pemilu berarti mendapat dukungan mayoritas rakyat. Mayoritas artinya suara terbanyak, bukan terbaik.

Disinilah potensi bahaya itu, kekuasaan mayoritas lebih-lebih mayoritas mutlak. Mayoritas mutlak berpotensi melahirkan apa yang digambarkan Alexis de Tocqueville, pemikir Prancis sebagai despotisme demokratik, yaitu kekuasaan despotis yang naik melalui proses demokrasi yang akan memangsa demokrasi itu sendiri. Despotisme demokratik tidak menumpas rakyat, melainkan melakukan teror tenang dan soft.

Ia menjatuhkan manusia ke tempat yang rendah tanpa menyiksanya, menghapuskan perbedaan, memepetkan rakyat hingga merosot menjadi tak lebih dari kawanan binatang yang rajin dan penurut, dengan pemerintah sebagai gembalanya, (Bur Susanto dalam bukunya “saya berambisi menjadi presiden”).

Kubu cebong dan kampret harus mampu mencerminkan etika politik dalam pemilu kali ini. Sebab pemilu itu seharusnya terjadi proses penanaman nilai-nilai ideal demokrasi, bukan sebaliknya, saling sinis, hujat-menghujat atau menjatuhkan satu sama lain. Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu berperan aktif menyikapi hal demikian.

Tidak menutup kemungkinan cebong dan kampret semakin menjadi-jadi dalam melakukan manuver-manuver politik di media sosial atau sejenisnya dengan mengeluarkan statement maupun argumen yang tidak diinginkan, karena kontestasi politik yang tinggal menghitung hari pelaksanaannya. Mari sama-sama kita wujudkan pemilu damai wahai cebong dan kampret yang terhormat!

*Oleh: M. Hasan Rosidi (Aktivis IMM Fakultas Ekonomi 2015 Universitas Negeri Malang)


Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment