Modernis.co, Malang – Kemajuan negeri tak lepas dari peran vital proletar sebagai roda perekonomian. Subtansi yang menjadi girah sebuah negara mampu melangkahkan kaki sederajat negara maju. Syarat negara dapat dikatakan maju apabila telah mampu memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Padahal apabila dilihat dari kondisi buruh masih banyak menderita kelaparan, sulitnya akses pendidikan yang beruntut kepada tingginya tingkat kriminalitas.
Indikator yang menjadi konsekuensi negara berkembang belum mampu mendistribusikan kesejahteraan kebutuhan primerdi Indonesia. Sehingga pantaslah negeri ini masih berpredikat negara berkembang. Di sisi lain, sebagai penggerak memiliki tendensi dikambinghitamkan. Relasinya berorientasi kepada harga seorang proletar penentuan harga sebuah produk yang dianggap biangkerok macetnya pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Keberadaan konglomerat asing lebih pantas disebut sebagai penyebab kekacauan distribusi kesejahteraan negara. Aktor dibalik interpensi konstitusional negara dengan membeli pasal-pasal sebagai pelumas hasrat ketamakannya. Konstitusi seharusnya mempersulit delik-delik asing yang tidak bisa dipertanggungjawabkan meliputi aspek lingkungan, sosial dan sistem perekonimian negara.
Perusahaan kelapa sawit misalnya, yang dibasiskan di Kalimantan dan Sumatera. Sekitar 50 dari luas areal perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sekitar 7,8 juta hektar dimiliki oleh asing menurut versi Sawit Watch tahun 2017. Parahnya lagi menurut data dari CNN Indonesia, lima perkebunan kelapa sawit asing mendapat subsidi mencapai RP7,5 triliun tahun 2017 silam yaitu Wilmar International, First Resources, Luis Dreyfus Company (LDC), Darmex Agro Group, dan Musim Mas. Miris sekali subsidi yang seharusnya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat telah diselewengkan oleh wakil rakyat yang kebetulan menjadi penguasa semu di negeri ini.
BUMN dirasa menjadi solusi kepemilikan SDA Indonesia walaupun kinerjanya tak lepas dari interpensi menguntungkan bagi korporat asing. Anomali kejelasan untung jika membandingan dengan kekayaan alam yang melimpah. Belajar dari Negeri Jiran, pemilik penuh Petronas yang didirikan pada 1974 sudah mampu menjadi perusahaan yang diperhitungkan dengan masuk ke dalam 100 besar perusahaaan terbesar di dunia dan 20 besar dari perusahaan paling menguntungkan di tahun 2008 dan 2009.
Negara mampu menjalankan penuh kebijakan perusahaan untuk kepentingan rakyatnya. Berbeda dengan PT Petamina yang berdiri sejak 1957 dan berjaya di tahun 1980 sampai 1990-an sebagai pengekspor minyak, kemudian merosot akibat angka produksi cadangan minyak dibawah angka konsumsi minyak.
Dan sekarang Petronas jauh mengunggul dari Pertamina. Perusahaan asing ini secara langsung dan banyak merusak stabilitas sistem perekonomian Indonesia harus di batasi campur tangannya di negeri ini. Berangakat dari kurangnya kontribusi Biaya Operasional (BO) negara di bidang pendidikan, perekonomian, dan kesehatan. Melirik bidang pendidikkan (BOP) mengacu kepada undang-undang yang menganggarkan 20 persen APBN.
Kenyataannya masih banyak salah sasaran seakan-akan pemerintah praktis dengan sengaja tidak ditekankan ke wilayah-wilayah yang seharusnya, sebagai postulat kaum elit telah selesai dari tanggungjawabnya. Alat-alat memperoleh kecerdasan yang tak merata ini menjadi manifestasi borjuis mendapatkan buruh murah dan diperlakukan dehumanisasi.
Sekolah menjadi alternatif lebih realistis peningkatan harga seorang manusia di sebuah perusahaan dan paradigma masyarakat mengamini itu deengan dogma-dogma kaum elit sebagai pemantiknya.
Dari aspek perekonomian, cap kegagalan masih tersadang oleh kaum elit negeri ini, masih banyaknya pengangguran, kemiskinan, dan bantuan yang salah sasaran menjadi fakta yang wajib dibawa ketika berbincang dengan wakil-wakil rakyat sebagai perancang sistem negeri ini, dan patut disodorkan kepada eksekutif negeri sebagai pengesah dari kebijakan.
Represif negara menjadi traumatis masyarakat, memilih bermain aman karena itu yang paling nyaman. Masyarakat seolah-olah diberikan kasur empuk diatas jembatan yang lapuk. Anggaran 1 milliar untuk desa dengan selektif resipien mengenyampingkan hak-hak warga negara disuatu desa yang tak masuk kategori. Seharusnya marginal-marginal pelopor pengembangan peradaban ini menjadi perhatian lebih khusus daripada desa-desa yang dikualifikasi oleh program negara.
Kesehatan juga menjadi hal yang diujung tanduk walaupun pemerintah sekarang menyediakan jaminan kesehatan bagi rakyatnya, faktanya hanya berlaku bagi warga yang sah yang beracuan terhadap kepemilikan identitas kewarganegaraan, lalu bagaimana dengan warga yang tak memiliki akses administrasi mendapatkan haknya?
Masyarakat Pedalaman tak memiliki akses suprastruktur tak mampu menjemput hak-haknya sebagai warga negara. Bekerja diperusahaan besar tak bisa dijadikan pelarian untuk mendapatkan fasilitas kesehatan yang lagi-lagi apatis terhadap implementasi undang-undang.
Demokrasi semakin semu, yang seharusnya tidak mengingkari ontologi terbentuknya demokrasi itu sendiri, yakni pertama, civil society yang bebas bersuara dan bertindak; kedua political society yang independen; ketiga, economic society yang transparan dan merata; keempat, the supreme of law yang bersih; dan kelima bureaucratic democracy sebagai pemangku kepercayaan sipil. Ketentuan-ketentuan ini telah tertutupi oleh interpensi debu-debu politik borjuis yang melalang buana di sircuit demokrasi.
Sehingga kemurnian demokrasi berlahan-lahan dikikis oleh mesin-mesin ketamakkan. Mungkin hanya dssibutuh sepuluh pelopor elit yang mengidolakan kejujuran dan kerja keras untuk pemurnian kembali demokrasi negeri ini.
Seorang buruh tak akan mampu memikul perlawanan perpolitikan borjuis. Akses yang terbatas kemudian adanya sikap represif yang dibangun pemerintah mengklaim predikat pemberontak yang disasarkan kepada kaum buruh menjadi rintangan tersendiri. Buruh telah tertidur di sisi jurang neo-imperealisme. Penguasa mengamankan posisinya dengan men-judge golongan intelektual yang dianggap membahayakan posisi penghisap bangsa.
Selubung-selubung politik dipertegas dengan diksi-diksi sensasional, menghayutkan substansi dan ontologi kemerdekaannya. Istilah lainnya, negeri ini telah tercemari sensasionalisme jauh dari kata eksistensi substansional.
Target terpenuhinya hak-hak buruh sebagai warga negara. Kaum intelektual harusnya jauh dari kata “takut” terhadap penguasa dengan advokasi hak-hak yang tertindas kebijakan yang tak sesuai dengan perundang-undangan dan asal-usul negeri ini. Sebagai manusia, selain membutuhkan sandang dan pangan yang cukup, juga perlu adanya kasih sayang, dan penghargaan.
Jangankan penghargaan dan kasih sayang, sandang dan pangan pun masih menjadi kendala, yang pemenuhannya bisa menjadi indikator manifestasi rasa kasih sayang. Penghargaan menjadi konsekuensi wajib dari hubungan manusia yang baik.
Kontribusi besar proletar penggerak industri dan agraria negeri sudah lebih dari cukup sebagai alasan menuntut penghargaan proletar pribumi. Penghargaan itu dapat berupa kenaikan gaji, penerapan 8 jam kerja, jaminan sosial dan kesehatan, pendidikan anak dll.
Negara milik rakyat dan untuk rakyat. Harus adanya rekontruksi logika elit negara yang sudah jauh dari kata sehat. Pembangunan merata tanpa adanya kesenjangan sosial. Untuk itu diharuskan adanya diskursus kaum elit dan rakyat agar kebijakan yang diambil jauh dari angan-angan semu para elit yang tak pernah merasakan kesengsaraan proletar.
Kaum intelektual dianggap bertanggungjawab memberikan dogma-dogma positif penggerak massa seluruh lapisan masyarakat. Melawan neo-imperialisme yang dalangnya tidak jauh berbeda dari masa kolonialisme.
Oleh : Edy Pangestu (Aktivis IMM Revivalis UIN Malang)