Bijak Memandang Demokrasi

Memandang Demokrasi

Modernis.co, Malang – Bagi Bangsa Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim telah menyelenggarakan pesta demokrasi, berupa Pilpres dan Pileg yang diselenggarakan pada tahun 2019. Bagi rakyat Indonesia, pesta demokrasi ini adalah sebuah harapan.

Berharap akan muncul pemimpin dan wakil rakyat yang shalih, amanah dan mampu melimpahkan keadilan, keamanan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat di negeri ini. Pertanyaan yang mengemuka adalah mungkinkah sistem demokrasi menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang shalih, amanah dan mampu membawa negeri ini menjadi lebih baik?

para aktivis dakwah mungkin juga akan bertanya, mungkinkah demokrasi memunculkan pemimpin yang berpihak pada umat Islam atau sejalankah sistem demokrasi dengan ajaran Islam? Tiga pertanyaan tersebut menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk memutuskan, antara berpartisipasi dalam gempita pesta demokrasi atau memilih absen darinya.

Secara historis, sistem demokrasi tidak memiliki akar dalam sejarah peradaban Islam. Karena tidak memiliki akar  dalam peradaban Islam, maka sangat dimaklumi bahwa dalam intern umat Islam sendiri terjadi pro dan kontra terhadap penerapan sistem demokrasi ini.

Pertama, menolak secara tegas dan menganggap demokrasi bertentangan dengan ajaran Islam. Demokrasi itu thoghut, ajarannya kufur dan batil, sehingga haram menggunakannya. Tokoh yang berpandangan seperti ini, diantaranya Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani.

Kedua, menerima secara mutlak demokrasi karena memandang demokrasi sejalan dengan Islam. Tokohnya , di antaranya, Syekh Dr. Yusuf al Qaradawi, Syekh Abu A’la al Maududi.

Ketiga, tidak menerima dan juga tidak menolak sepenuhnya. Tokohnya Dr. Hasan at Turabi, Syekh Muhammad Rasyid Ridha dan lainnya. Kelompok ini berkesimpulan, demokrasi boleh digunakan sepanjang bukan untuk mengubah sesuatu yang menjadi syariat, ketentuan dan hak prerogatif Allah Subhanahu Wa Ta’ala. (Lihat Kumpulan Fatwa Majelis Syura Hidayatullah, DPP dalam Tinjauan Syariah, hal. 147).

Tentu, ketiga pendapat di atas tersebut memiliki alasan dan disampaikan oleh orang yang berilmu sekaligus menjadi panutan umat. Sikap saling menghargai dan memahami tentu harus kita kedepankan, ketimbang sikap saling curiga dan menyalahkan. Kita tidak semestinya berpecah belah lantaran berbeda pandangan terhadap demokrasi.

Tapi, ukhuwah harus terus kita kuatkan untuk menggapai kemenangan umat Islam di hari yang akan datang. Dalam pandangan Islam, sistem demokrasi bukanlah sistem yang ideal. Sebab, Islam memiliki metodologi  sendiri dalam memilih pemimpin, yaitu syuro.

Namun umat Islam tidak bisa, mesti bersikap realistis bahwa demokrasi telah diterima dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam tata kelola negara. Sehingga, tidak ada pilihan lain bagi umat Islam kecuali harus ‘berinteraksi’ dengan sistem demokrasi ini. Adapun jika terjadi pro kontra, sangatlah wajar dan bisa dipahami.

Proses dari sistem demokrasi ini adalah diselenggarakannya pemilu. Pertanyaan yang mengemuka adalah mungkinkah pemilu dapat menghasilkan pemimpin dan pejabat yang sesuai harapan? Jawabannya adalah mungkin. Dalam pemilu yang akan memenangkan  pertarungan adalah suara terbanyak.

Untuk itu, umat Islam seharusnya memilih. Sebagai gambaran, jika ada beberapa kandidat calon pemimpin, maka pilihlah kandidat yang berkarakter paling ideal di antara kandidat yang ada. Bisa dibayangkan, jika umat Islam memilih golput dengan alasan sistem demokrasi bukan dengan sistem Islam dan kandidat yang ada tidak ada yang ideal.

Maka, suara umat Islam akan berkurang. Lantas siapa yang diuntungkan dengan sikap golput ini? Pasti pihak lawan  seperti orang munafik, kafir dan orang-orang yang tidak bisa dijamin berpihak pada umat Islam bila mereka berkuasa. Sebab, mereka kompak memilih calon pemimpin yang berpihak kepada kepentingan mereka. Jika demikian, menanglah mereka, dan kalahlah kita.

Kita patut merenungkan jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya tentang hukum menyertai parlemen dan ikut pemilihan umum dengan niat memilih orang-orang Muslim. Beliau menjawab, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niatnya dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang diniatkan’. Oleh karena itu, tidak masalah menyertai parlemen jika tujuannya untuk menguatkan  kebenaran dan tidak menyetujui kebatilan.

Sebab, yang demikian itu termasuk menolong kebenaran dan ikut serta menjaga para du’at dijalan Allah. Begitu juga, tidak mengapa memberikan surat suara dalam pemilu yang dapat membantu terpilihnya para du’at yang shalih serta penguatan terhadap kebenaran dan para pelakunya,wallahu waliyyu at-taufiq. (Disebarkan oleh Majalah al-Mujtama’ al-Kuwaitiyah, terbit 23/05/1989).

Dengan sistem apapun, mendapatkan pemimpin yang ideal di zaman ini sangatlah sulit. Begitu juga dalam sistem demokrasi. Keikutsertaan umat Islam dalam pemilu tidak patut diartikan sebagai sikap menuhankan dan mengusahakan sistem demokrasi, tapi hanya untuk mewujudkan kepentingan umat dan dakwah serta untuk memilih memilih pemimpin yang terbaik.

Jika tidak mendapatkan yang terbaik, setidaknya mendapat pemimpin yang berpihak pada kepentingan Islam. Atau minimal tidak mengganggu umat Islam ketika beribadah dan berdakwah. Sistem demokrasi  yang kini menjadi sistem tata kelola negara di negeri ini bukanlah sistem yang permanen  bagi umat Islam.

Tapi, dia hanya bersifat temporer. Suatu saat bisa diganti dengan sistem yang ideal (Islami). Untuk sementara waktu kita meski bersikap bijak terhadap sistem demokrasi. Dan kita perlu memanfaatkan untuk menghadirkan kepentingan  umat sekaligus merancang kekuatan menuju  kondisi ideal seperti apa yang kita rindukan sekarang.

Oleh: Gilang Sabhawana Eka Nugraha (Mahasiswa Pendidikan Agama Islam FAI UMM)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment