Modernis.co, Jember – Pengguna media sosial (medsos) di Indonesia mencapai 56% dari jumlah total penduduknya atau berada dalam angka 150 juta pengguna. Sejak medsos muncul itulah aktivitas dunia maya semakin lazim dijalani.
Bagi sebagian orang, medsos akan digunakan untuk menunjukan eksistensinya dengan memamerkan keberhasilan-keberhasilan hidupnya guna meraup pengakuan seluas-luasnya.
Namun bagi segelintir pengguna medsos lainya. Yakni, para aktivis, akademisi, politisi, dan para pengamat dadakan macam saya ini, medsos menjelma menjadi wadah yang diyakini efektif untuk menyalurkan gagasan sehingga akan timbul perubahan.
Perubahan yang dimaksud adalah disepakatinya gagasan oleh para pengguna medsos lain (Netizen,Red) atau yang paling paripurna, para netizen akan tergerak menarasikan hal yang sama baik dalam medsos maupun dunia nyata.
Terkait unggahan, penilaian akan meruncing. Kalau unggahannya kritis, berarti netizen itu aktivis dan anti rezim. Kalau unggahanya menunjukan keberhasilan pemerintah secara otomatis ia adalah penjilat dan nilai buruk seterusnya.
Perlu dipahami, mengunggah satu gagasan di medsos tidak otomatis membuat mereka persis begitu dalam dunia nyata. Segala macam unggahan di medsos itu bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa harus segaris dengan apa yang dianutnya. Oleh karena itu, hoax (berita bohong, Red) semakin paripurna di ceruk medsos.
Maka jangan salahkan jika penguasa (Rezim Jokowi Ma’ruf Amin,Red) menernak akun tak bertuan (BuzzeRp) untuk menggerakan opini penduduknya. Sebab saat ini, netizen termasuk kita semua yang mengaku paling aktivis sekalipun mudah dibelak-belokan opininya melalui medsos.
Kabar baiknya disaat BuzeRP besutan reszim tumbuh saat itulah akun ciptaan civil society juga bertebaran. Tapi ingat kekuasaan punya alat yang lengkap. sehebat apapaun kita ciptakan akun perlawanan sepanjang itulah BuzeRP besutan rezim lebih unggul.
Opini palsu yang di narasikan oleh BuzeRP juga berlaku sama dengan apa yang dilakukan oleh warganya. Dimana, unggahan tidak selalu sama dengan kenyataan.
Kondisi pembentukan opini melalui medsos diperparah dengan ketidak bijaksanaan penggunanya yang dengan membabi buta memberikan penilaian terhadap semua yang muncul di lini masa medsos tanpa ada koreksi mendalam sebelumnya.
Satu percobaan saya lakukan. Apakah benar netizen kita sama dengan BuzeRP dan reaksioner dengan tak punya laku memeriksa kebenaran lebih dalam?
Ternyata jawabanya benar! Mari kita mulai ceritanya.
Begini ceritanya, pada selasa, 15 desember 2020 PT. Agtika Dwisejahtera bersurat kepada camat Kencong Kabupaten Jember yang pada isi surat memberi tahukan akan melanjutkan aktivitas
penambangan pasir besi di pantai Peseban.
Begitu, surat itu viral. Medsos saya dipenuhi unggahan heroik yang menyerukan perlawanan terhadap tambang pasir besi karena dinilai merusak lingkungan dan ujaran mengerikan lainya.
Kisah sedihnya bukan disitu, sama sekali saya tak bersilang pendapat soal perlawanan terhadap pengerusakan lingkungan.
Tapi ada dua kisah sedih yang saya dapati. Pertama, karena gelora membara perlawanan itu, hanya hidup pada ruang-ruang maya, heroisme yang mengerikan itu, hanya sebatas fungsi lain pengakomodiran pengakuan agar dianggap cinta lingkungan.
Kenapa saya nilai demikian ? Sebab, pada dunia nyata, sebagian dari para heroisme pejuang lingkungan medsos itu, juga turut andil dalam merusak lingkungan dengan tetap membuang sampah sembarangan, tetap biasa saja menggunakan alat elektronik (termasuk ngegame,Red) secara berlebihan hingga meninggalkan carbon footprint yang juga berdampak pada lingkungan, dan tetap biasa saja dalam metode perlawanan hanya sebatas ngeri dimedsos macam BuzeRP.
Mestinya hal hal besar dimulai dari hal kecil yang rutin serta dari diri sendiri. Saat tak ada infrastruktur demikian. Saya yakin di posisi yang sama kitalah yang akan melegalkan pertambangan karena proses perlawanan kita hanya sampai update status tak menetas dalam kehidupan.
Tak sampai dipenilaian itu, kisah kedua yang membuat sedih adalah tabiat tak memeriksa kebenaran atau sikap reaksioner juga saya dapati faktanya. Itu, lahir setelah saya lakukan percobaan sederhana.
Saat hampir seluruh aktivis mengecam surat pemberitahuan melanjutkan kegiatan tambang saya berlaku sebaliknya. Jika mereka menaikan tagar #Pasebanoradidol saya putar tagar menjadi #Pasebankudupayu.
Begitu tagar naik ke linimasa pada Jum’at 18 Desember 2020 pukul 10.53 WIB, sepuluh menit kemudian 23 pesan masuk memberi pandangan sepaket dengan hujatannya. Hanya 2 pesan yang mencoba mengajak berdiskusi atau sekedar melempar tanya.
Mereka secara umum, menyangkutpautkan argumen #Pasebankudupayu dengan pribadi saya yang selama ini dikenal sebagai aktivis yang juga terafeliasi secara struktural dengan gerakan lingkungan kader hijau muhammadiyah (KHM).
Namun jika netizen yang terhormat, mau sebentar saja, memeriksa argumen saya pasti sumpah serapah itu tidak akan dilayangkan.
Kenapa demikian, pertama saya bukanlah individu yang memiliki kapasitas untuk menjual Paseban apalagi memuluskan jalanya pertambangan.
Kedua, hal apa yang membuat saya rela melepas ideialisme yang tertahun tahun saya coba bangun atau berapa uang yang saya terima sehingga saya membela tambang. Kalaupun para broker ingin membiayai influencer untuk mendukung aktivitas tambang. Pasti bukanlah saya orangnya selain pengikut saya tidak banyak tubuh saya tidak cukup membuat banyak melennial terpengaruh untuk mencintai tambang.
Kemudian yang ketiga, kalaupun saya pro-tambang dengan argumen cukup, analisa mendalam, dan pertimbangan maslahat secara mengakar apakah saya menjadi salah dan kotor. Bukankah aktivis paripurna itu, yang menghargai perbedaan? Saya tidak tau lagi apa itu kebenaran jika masih berada diruang maya.
Saya kira selama kita ini manusia selama itulah dua potensi akan melekat. Yakni, potensi benar dan potensi benar.
Fakta percobaan yang saya lakukan, menegaskan bahwa hoax merongrong siapa saja bahkan manusia paling cerdas dalam persepsi manusia pada umumnya (Aktivis,Red). Hoax #Pasebankudupayu telah merongrong sebagian rekan saya.
Terkait Paseban, mari berjuang dengan porsi dan posisi masing-masing. Saya jurnalis, saya akan bertindak sebagaimana mestinya. Jika dimungkinkan kolaborasi perlawanan atas nama gerakan lingkungan itu baik dan itu penting. KHM akan berdiri membersamai.
Kendati saya paham ada perebutan wilayah perlawanan masih terjadi dikalangan aktivis. Meski saya paham ada elit yang memanfaatkan sepirit tolak tambang dan sengkarut soal lainya.
Mari tidak menghakimi terkait beda pendapat luas dan luwes dengan tabayun dan berhentilah merasa paling benar di medsos.
Oleh: Andi Saputra (Aktivis Kader Hijau Muhammadiyah)