Modernis.co, Malang – Siapapun yang melihat ketidakadilan pasti akan merasa gusar. Apalagi, ketidakadilan itu terlihat di depan mata kita. Seperti kasus George Floyd di Amerika Serikat. Hanya karena berbeda ras, seorang aparatur negara bertindak sewenang-wenang.
Hingga menewaskan Floyd, seorang kriminal berkulit hitam. Wajar saja, jika kasus ini menuai simpati publik dengan demonstrasi besar-besaran. Di media online, sempat tranding Black Lives Matter.
Di Indonesia, rasa ketidakadilan –meminjam istilah Ahmad Syafei Maarif— juga masih yatim piatu. Pancasila pada sila kelima masih kering makna, hanya menjadi bualan para elit penguasa. Wajar jika rakyat selalu meronta-ronta menuntut keadilan di negeri ini. Umurnya 74 tahun, tapi kelakukan para penguasanya masih kekanak-kanakan.
Kasus Novel Baswedan misalnya, kasusnya mengendap selama tiga tahun. Pelaku penyiraman terhadapnya Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis hanya dihukum pidana satu tahun penjara.
Sedangkan kasus Fery Kombo seorang aktivis BEM Universitas Cendrawasih diancam 10 tahun penjara karena dituduh makar pada aksi damai menentang rasisme Papua setahun yang lalu. Siapa yang tidak gusar melihat ini.
Rasanya tak kurang setiap tahunnya, negeri ini mengeluarkan sarjana hukum. Namun, tetap saja dalam praktiknya hukum masih dimenangkan oleh segolongan orang yang berduit. Istilah lawasnya sering dikemukakan “tajam ke bawah, tumpul ke atas.”Siapapun mengerti dengan istilah ini. Apalagi oleh seorang hakim.
Kasus Novel Baswedan dan Fery Kombo adalah sekian masalah fenomena gunung es Iceberg dari ketidakadilan di negeri ini. Tampak 20 persen masalahnya di permukaan, sedangkan 80 persen lainnya mengendap di bawah lautan.
Kepada mereka yang menegakkan keadilan selalu saja tertimpa musibah serupa. Baik dalam bentuk teror hingga ancaman pembunahan.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam kurun waktu 1996-2019 setidaknya ada 15 pegawai KPK yang diintimidasi. Agus Rahardjo dan Laode M Syarif pada priode 2015-2019 pernah diteror dengan ancaman pengeboman pada Januari 2019.
Tahun 2015 seorang petani asal Jawa Timur, Salim Kancil dibunuh oleh sekelompok orang karena membela haknya sebagai warga negara Indonesia. Ia membela atas kerusakan lahannya kepada para penambang pasir Ilegal. Pada tahun 2005 Munir Said Thalib, harus mati diracun dalam perjalanan ke Amsterdam.
Ia dikenal sebagai aktivis HAM yang fokal terhadap kasus-kasus orang hilang. Sampai sekarang pembunuhnya belum diketahui sama seperti nasib kasusnya, bak angin lewat. Padahal jelas diketahui ada upaya sistematis terhadap pembunuhan Munir. Dan masih banyak lagi ilusi-ilusi keadilan di negeri ini.
Di negeri ini, mengapa orang yang membela kebenaran selalu mendapat perlakuan tak mengenakkan? Selalu saja ada tembok besar yang menghalangi. Biasanya, jika tidak diteror pasti orangnya yang mati.
Budaya Demokrasi Kita
Seorang pemikir modern Anthony Giddens dalam bukunya Thirdly The Renewal of Social Democracy atau lebih dikenal dengan gagasan ‘jalan ketiga’sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syafei Marif, mengemukakan bahwa pentingnya penguatan peran negara dalam mengentaskan ketidaksamaan/ketidakadilan.
Gidden menekankan pentingnya human capital atau kualitas manusia itu sendiri, dari pada hanya sekedar pembagian kekayaan dari yang kaya kepada yang miskin.
Di Indonesia, ketidakadilan disebabkan karena budaya demokrasi kita yang masih compang-camping, tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Sehingga, kebijakan yang dilahirkan selalu cenderung terhadap kepentingan segolongan kelompok. Ditambah lagi masuknya oligarki dalam nuansa demokrasi kita ini. Makin memperkeruh suasana bernegara dan berbangsa.
Kita pernah mengenal tiga nama demokrasi yang pernah dianut oleh Bangsa Indonesia. Pertama, Demokrasi Liberal (1945-1959), kedua Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan ketiga, Demokrasi Pancasila (1966-1998). Yang pertama runtuh karena kecintaan terhadap partai melebihi kecintaan terhadan bangsa Indonesia.
Yang kedua dan yang ketiga penyebabnya hampir sama yaitu dorongan untuk menjadi penguasa abadi otoriterianism, akibatnya terjadilah malapetaka kemanusiaan, ribuan orang harus mati kerena sesuatu yang tidak jelas (Maarif: 2019). Semua runtuh karena serakah kekuasaan.
Demokrasi yang dibangun atas kepentingan kelompok, hanya akan menumbuhkan suatu budaya sektarianistik dan paternalistik. Lihat saja para elit kita di DPR sekarang, di masa pandemic seperti ini, masih saja kekeh, ngotot ingin membahas beberapa RUU yang masih kontroversial.
Setelah RUU Minerba disahkan, wacana RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) pun dilontarkan kepada publik. Katanya ingin mengatur dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Alih-alih bertujuan demikan, RUU ini justru sebaliknya, mempersempit dan memiskinkan makna Pancasila itu sendiri. Siapapun akan gusar mendengarnya.
Oleh sebab itu, budaya demokrasi yang tidak sehat akan melahirkan ketidakadilan di beberapa lini kehidupan kita. Ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan sosial, ketidakadilan politik sampai pada ketidakadilan hukum. Kasus Novel dan Fery Kombo dan beberapa kasus-kasus lainnya adalah buah dari ketidakadilan hukum di Indonesia.
Hukum yang tidak ditegakkan, akan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara dituntut memiliki peran aktif, karena negara memiliki kepentingan dan kewajiban atas sehatnya eksosistem demokrasi kita. Menegakkan hukum di atas kepentingan rakyat, adalah upaya menghidupkan sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh: Baiturrahman (Pengajar dan Aktivis PeaceLink Malang)