Modernis.co, Jakarta – Habermas adalah sosok tokoh terkemuka dalam sebuah aliran filsafat, yang sejak beberapa dekade terakhir, semakin berpengaruh kedalam dunia filsafat maupun ilmu-ilmu sosial, yaitu filsafat kritis.
Terkadang pandangannya digunakan dalam istilah teori kritis. Habermas melukiskan teori kritis sebagai metodologi yang berdiri dalam ketegangan dialektis, antara filsafat dengan ilmu.
Teori Kritis hendak menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis untuk menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transedental, yang melampaui data empiris.
Dengan ekplorasi kritisnya, tampak nentinya Habermas melakukan suatu kritik ideologi dan ilmu melalui kritik pengetahuan. Pegetahuan, ilmu, dan teknologi merupakan tiga hal yang saling berhubungan dalam praksis kehidupan manusia.
Pengetahuan merupakan aktivitas, proses, kemampuan serta bentuk kesadaran manusia, sedangkan ilmu sebagai suatu pengetahuan yang direfleksikan secara metodis.
Jika ilmu dan pengetahuan membeku menjadi suatu delusi atau kesadaran palsu yang merintangi praksis sosial manusia untuk merealisasika kebaikan, kebenaran, kebahagiaan, dan kebebasannya, maka keduanya telah berubah menjadi ideologis.
Teori kritis Habermas merupakan usaha rekonstruksi teori kritis mazhab Frankfrut yang diilhami oleh teori kritis Karl Marx yang telah mengalami kebuntuan tanpa meninggalkan keprihatinan para pendahulunya untuk melakukan perubahan struktur berpikir praksis secara radikal.
Habermas merumuskan keprihatinan tersebut dalam konsep teori kritis yang baru dan dapat dikatakan orisinil.
Hal ini tampak dalam dimensi proses perubahan, tempat Habermas menempuh jalan yang berbeda dari pendahulunya dengan menempuh cara yang tidak revolusioner atau kekerasan. Akan tetapi melalui transformasi sosial, dnegan dialog-dialog emansipatoris, dengan metode komunikasi, bukan melalui metode dominasi.
Habermas mencetuskan penolakan pada anggapan dasar bahwa ada pengetahuan yang betul-betul bebas dari kepentingan. Secara tidak langsung, setiap pengetahuan pasti ada suatu kepentingan yang menaungi pengetahuan tersebut.
Untuk itu, menurut Habermas diperlukan suatu pencerahan tentang kepentingan yang mendorong pengetahuan mesti melayani kepentingan, dalam hal ini kepentingan kelas-kelas tertentu.
Menurut Habermas, ideologi amat erat dengan kepentingan. Oleh sebab itu Habermas membagi kepentingan menjadi kepentingan kutub empiris dan kepentingan kutub transedental.
Yang pertama berkaitan dengan kondisi sosio-historis manusia sebagai spesies yang berkehandak. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan pengetahuannya yang bersifat normatif ideal.
Krtik ideologi bekerja dalam dua tataran ini, yaitu untuk bekerja mencari pertautan keduanya manakala pemikiran manusia membeku pada salah satu kutub kepentigan tersebut.
Jika ideologi adalah sebuah cara pandang yang menghegemoni dan mengakar pada jiwa seseorang, maka dengan kritik-refleksi diri, individu akan memahami posisi diri sendiri, individu juga akan menyadari kepentingan untuk membebaskan diri dari kungkungan ideologi.
Individu memiliki kemampuan untuk mencapai otonomi dan tanggung jawab atau pendewasaan. Habermas menempuh jalan konsensus dengan sasaran terciptanya demokrasi radikal, yaitu hubungan sosial yang terjadi dalam lingkup komunikasi bebas penguasaan.
Dalam konteks komunikasi ini perjuangan kelas dalam pendangan klasik, revolusi politis, diganti dengan perbincangan rasional dimana argumen berperan sebagai unsur emansipatoris.
Dalam perbincangan itu, reflekasi diri menjadi faktor yang menghasilkan emansipasi dan pencerahan. Jika dikaji, pemikiran Habermas ini mengisyaratkan gaya berpikir aliran ini yang justru menolak untuk menjadi ajaran yang dapat menjadi pegangan. Pendekatan kritisnya dipergunakan justru untuk mencurigai terhadap segala ajaran.
Ciri yang cukup khas pemikiran kritis ini adalah bahwa di satu pihak perdebatan tetap berlangsung ditingkat filosofis-teoritis, sehingga tidak mau menjadi ideologi perjuangan, tapi pada saat yang sama beranggapan teori kritisnya sebagai kegiatan teoritis yang bersemayam balam benak dan medan pikiran belaka, termasuk filsafat kritis yang menjadi praktis.
Sementara kata praktis sendiri oleh Habermas harus dipahami delam pengertian artitotelian sebagai komunikasi yang mewujudkan kehidupan masyarakat. Manusia sebagai subjek dalam nalarnya, berkepentingan untuk pengetahuan, oleh karena itu ilmu terwujud dalam kepentingan.
Dalam analisis Habermas, ada tiga macam yang didorong oleh tiga kepentingan dasar manusia, yaitu ilmu-ilmu empiris analitis oleh kepentingan teknis.
Yang mana kepentingan untuk memanfaatkan apa yang diketahui, ilmu-ilmu historis-hermeneutis, diarahkan oleh kepentingan praktis, yang mana kepentingan untuk memahami makna. Ilmu-ilmu kritis didorong oleh kepentingan emansipatoris.
Harbermas menunjuk tiga kepentingan pengetahuan ini sebagai kuas transedental karena tidak bersifat empiris, melainkan masuk kedalam struktur pengetahuan yang bersangkutan.
Tiga bidang kepentingan ini paralel dengan tiga medan kehidupan manusia, yaitu alam, manusia dan kekuasaan. Dalam hal ini, penulis sangat tertarik terhadap salah satu pikiran Habermas yang mengatakan bahwa “Ilmu Bebas Nilai” berikut penjelasannya:
Ilmu Bebas Nilai
Ilmu harus bekerja dengan bebas nilai (bicara mengenai yang ada, bukan yang harus ada). Perselisihan metode ini awalnya terjadi di Jerman dan Austria sekitar tahun 1890-an.
Para pendekar utama adalah Menger dan Schmoller yang mempersoalkan apakah ilmu ekonomi harus memakai metode eksak atau historis dan kemungkinan syarat-syarat ilmu-ilmu sosial dan ekonomi yang normatif.
Istilah kebebasan nilai dibentuk dalam perselisihan penilaian termashur, berlangsung antara 1909 dan 1914. Posisi yang paling terkenal adalah posisi Max Weber yang menuntut agar ilmu-ilmu sosial bekerja dengan bebas nilai tapi juga relevan terhadap masalah nilai.
Para pendukung kebebasan nilai memberikan jawaban afirmatif bahkan menambahkan bahwa metode yang dipakai dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial tidak berbeda. Artinya, kalau ilmu-ilmu sosial mau berlaku sebagai ilmu pengetahuan, harus dapat menghasilkan dalil-dalil umum dan prediksi-prediksi ilmiah seperti dalam ilmu alam.
Untuk sampai ketujuan itu, sebuah riset sosial harus dapat menghasilkan deskripsi dan penjelasan ilmiah yang tidak memihak dan tidak memberikan penilaian apapun.
Oleh karena itu seorang ilmuwan atau peneliti harus dapat meninggalkan rasa-perasaannya, harapan-harapannya, keinginan-keinginannya, penilaian-penilaian moralnya atau bahkan kepentingan-kepentingannya, untuk mendekati objek sosial, sehingga diperoleh pengetahuan objektif tentang kenyataan sosial.
Berdasarkan anggapan itu, para pendukung kebebasan nilai dimasukkan ke dalam kubu positivisme. Dalam perselisihan positivisme, Karl Popper dan Albert mengemukakan postulat kebebasan nilai yang sebaliknya dikritik oleh Adorno dan Habermas.
Positivisme memang mau membatasi ilmu-ilmu pengetahuan pada fakta dan mengesampingkan pertanyaan mengenai nilai sebagai irasional.
Kemudian pada segi yang lain, rasionalisme kritis sendiri menolak usaha yang dilakukan Adorno cs. Untuk memasukkannya ke dalam satu ranah –menjamin istilah Bourdieu–dengan positivisme dan menyatakan diri sebagainanti-positivistik.
Oleh: Yesa Novianti Putri Ashari (Mahasiswa Fakultas Hukum UMJ, Aktivis dan Kader Muhammadiyah)