Ketiadaan Nilai Kemanusiaan dan Nilai Keadilan di Tengah Covid-19

nilai kemanusiaan

Modernis.co, Lombok – Jika berbicara tentang kemanusiaan dan keadilan memang tidak ada habisnya. Kemanusiaan (humanity) adalah nilai-nilai yang berasal dari diri manusia yang berkaitan dengan sesama manusia, seperti toleransi, cinta-kasih, tolong menolong, dan lainnya. Sedangkan, keadilan berarti hal-hal yang berkenaan pada suatu sikap dan tindakan yang didalamnya berkaitan dengan sebuah tuntutan agar dapat mencapai hak dan kewajibannya.

Pada Desember 2019 lalu, Virus Corona (Covid-19) pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China. Sebagian anggapan menyatakan bahwa Wuhan adalah titik awal perjalanan virus Corona. Disaat angka infeksi sudah mencapai lebih dari 70 ribu orang, Indonesia masih berstatus zero virusCovid-19. Oleh karena itu, konon masyarakat percaya bahwa Indonesia kebal terhadap virus, tak terkecuali Covid-19.

Bukan tanpa alasan, beberapa alasan yang menyatakan bahwa Indonesia kebal terhadap virus adalah kebiasaan dan tradisi yang dimiliki oleh orang Indonesia. Contohnya doyan gorengan, makan dengan menggunakan tangan, jarang mencuci tangan, dan kurang memperhatikan kebersihan diri. Kebiasaan-kebiasaan itu lantas membuat beberapa orang bangga bahwa imunitas masyarakat Indonesia itu kuat.

Namun, seolah menjadi tamparan keras, pada Senin 2 Maret lalu dikonfirmasikan kasus positif Covid-19 pertama di Indonesia oleh Presiden Jokowi. Terdapat dua orang pasien asal Depok yakni perempuan berumur 31 tahun dan sang ibu 64 tahun. Diduga perempuan berumur 31 tahun tersebut telah melakukan pertemuan dengan warga negara Jepang yang masuk ke wilayah Indonesia. Pertemuan tersebut terjadi di sebuah klub dansa di Jakarta, Sabtu 14 Februari lalu.

Adanya berita tentang keberadaan virus Covid-19 itu lantas membuat masyarakat mulai resah. Anggapan bahwa Indonesia itu kebal pun mulai terpatahkan. Pudarnya nilai kemanusiaan pun mulai terjadi. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa sikap sikap masyarakat yang mementingkan diri sendiri hingga kebijakan pemerintah yang tak berperi kemanusiaan. Penyebabnya entah karena nilai kemanusiaan dan keadilan yang hilang, pengetahuan yang awam, ataukah masyarakat buta imbauan.

Contoh pertama ialah munculnya sikap panic buying atau memborong stok makanan dan alat pelindung kesehatan dalam jumlah secara besar-besaran. Seolah hanya akan hidup hingga bulan depan, masyarakat berbondong-bondong mengisi troli mereka dalam jumlah yang besar hingga melupakan kepentingan orang lain. Padahal, adanya sikap panic buying ini menimbulkan kerugian pada masyarakat dan malah mendorong ketidakstabilan harga dan pasokan.

Tak hanya itu, jika kita berkaca pada protokol kesehatan, nilai pudarnya kemanusiaan  dibuktikan dengan oknum-oknum yang memanfaatkan pandemi ini untuk meraup keuntungan. Contoh kecil adalah peralatan pelindung. Masker dan beberapa pembersih tangan seperti hand sanitizer memang menjadi hal utama yang diburu ketika adanya wabah virus. Namun, beberapa orang malah menjualnya dengan harga yang tidak manusiawi lebih dari 10x lipat.

Lalu, jika kita menelaah dari kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, apakah sesuai dengan nilai kemanusiaan?

Pengalokasian dana yang diberikan kepada penanganan kesehatan hanya 75 Triliun dari total 405,1 Triliun anggaran dana. Ini merupakan jumlah yang jauh untuk sebuah pengamalan perlindungan kemanusiaan. Tentu saja yang terkena dampak dari kecilnya anggaran tersebut adalah tenaga medis. Padahal, sama-sama kita ketahui bahwa yang menjadi garda terdepan sekaligus terakhir dalam penanganan virus yang sedang mewabah ini ialah tenaga medis.

Anggaran yang sedikit menyebabkan terbatasnya pula APD (alat pelindung diri) bagi para tenaga medis. Namun, perlu diacungi jempol bahwa hal tersebut lantas tak membuat mereka gentar dan lalai dalam tugas. Berbagai inisiatif dan semangat mereka tunjukkan dengan kreativitas mereka. Contohnya menjadikan jas hujan sebagai pengganti gaun standar, tas kresek disulap menjadi cover boots, serta mengedukasi masyarakat dengan membuat video-video kreatif.

Tetapi ironis, bukan mendapat perlakuan baik dari masyarakat, tenaga medis mendapatkan banyak stigma negatif dan kritikan pedas. Contohnya, seorang perawat Rumah Sakit Kariadi Semarang yang mengalami penolakan jenazahnya dikampung halamannya. Alasannya? Karena mereka takut adanya penyebaran virus jika ia dimakamkan ditengah-tengah rumah warga. Seolah air susu dibalas air tuba, begitulah perlakuan buruk yang diterima salah seorang tenaga medis.

Selanjutnya dari nilai keadilan. Untuk mencapai kata adil, diperlukan pertanggung jawaban pemerintah, terlebih di tengah pandemi ini. Namun, dalam praktiknya hingga saat ini kebijakan yang ada masih jauh dari kata adil. Hal ini ditunjukkan dengan ketidakmerataan pendistribusian bantuan yang diberikan pemerintah yang tidak tepat sasaran. Selain itu juga ketiadaan keadilan dapat terlihat dari pelaksanaan pelayanan kesehatan.

Hingga kini, di tengah Covid-19 dalam pelayanan kesehatan justru mudah diperoleh oleh si kaya. Dalam mendapatkan hasil test Covid-19 misalnya, beberapa rumah sakit swasta di Indonesia memasang tarif 700 ribu hingga 1 juta. Lantas, apakah ini adil bagi masyarakat dengan ekonomi kelas bawah? Terlebih lagi melunjaknya angka pengangguran ditengah Covid-19 ini yang disebabkan oleh ribuan masyarakat yang di PHK.

Virus ini memang merupakan ujian dari Tuhan dan Tuhan pula yang akan menyabutnya. Jika ingin menang melawannya, hendaknya kita harus lebih peka akan nilai kemanusiaan dan nilai keadilan. Jadi dalam situasi saat ini, masyarakat seharusnya lebih peduli dan menyambut para tenaga medis yang telah berjuang tanpa pamrih demi mewujudkan Indonesia yang bebas virus. Solusi lain juga dapat dilakukan dengan aksi galang dana yang ditujukan untuk membantu para tenaga medis.

Sedangkan dari sisi keadilan, hendaknya dalam pelaksanaan kesehatan jangan sampai memandang kelas, ras, suku maupun agama. Ini dimaksudkan karena setiap rakyat memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari negara. Hal tersebut bahkan dijamin oleh UUD NKRI tahun 1945.

Oleh: Isvie Wulandari (Mahasiswi Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang)

editor
editor

salam hangat

Leave a Comment