Modernis.co, Jakarta – Sebagian orang percaya bahwa kehidupan akan kembali normal setelah pandemi ini berakhir. Tapi sebagian yang lain berpandangan kehidupan akan berubah ketika nanti virus Covid-19 musnah. Paling tidak ada beberapa hal yang berbeda dari biasanya.
Pendapat inilah yang akhirnya memunculkan istilah baru, ‘new normal’. Keadaan di mana standar normal perilaku manusia bergeser. Hal yang dulunya tidak terpikirkan, sekarang semua orang melakukan. Sesuatu yang dulu tidak begitu diperhatikan, kini jadi kepentingan semua orang.
Tidak salah rasanya jika salah satu tweet Presiden Jokowi berisi ajakan kepada masyarakat untuk hidup berdampingan dengan Covid-19. Mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan. Beradaptasi dengan situasi terkini menuju ‘new normal’ yang terjadi.
Sejatinya, kita memang sedang berada di tengah perjalanan menuju ‘new normal’. Terasa seperti tidak ada yang aneh, nyatanya perilaku kita mulai berubah. Mulai dari aspek ekonomi, kesehatan, bahkan pariwisata.
Bisnis Berjarak
Sistem perputaran bisnis sedikti demi sedikit berubah pada beberapa bulan belakangan. Tidak ada lagi pertemuan fisik antar perusahaan. Semua digantikan dengan pertemuan daring di mana setiap pihak berada di kediamannya masing-masing.
Tidak hanya kegiatan bisnis besar saja yang terpengaruh Covid-19, kegiatan ekonomi kecil di pasar pun juga berganti. Terlihat di beberapa lokasi seperti Pasar Pagi Salatiga dan Pasar Induk Mandalika Mataram yang mulai menerapkan pasar berjarak. Peraturan wajib bermasker serta ketersediaan Handsanitizer juga sudah dilakukan.
Bahkan Pasar Mandalika kini menjadi role model pasar yang sesuai dengan SOP Covid-19. Terlepas dari banyaknya kendala dan masalah, konsep pasar berjarak ini menjadi bukti bahwa kebiasaan masyarakat mulai bergeser. Terutama terkait dengan kebersihan tempat dan produk.
Perubahan Perilaku Konsumen
Tak bisa dipungkiri bahwa perilaku konsumen semakin bergeser ke arah digital. Meski angka belanja digital sudah mulai naik sebelum Covid-19, namun kini lonjakannya bahkan lebih besar. Dilansir dari Liputan6.com kenaikan belanja online mencapai 400 persen sejak diterapkannya social distancing. Tentu saja hal ini merupakan kenaikan yang signifikan.
Jenis produk yang dibeli juga mulai bergeser dari yang dulunya berdasarkan pertimbangan want menjadi need. Kini masyarakat lebih mementingkan dan membeli barang-barang yang lebih esensial. Jumlah dan volumenya juga meningkat jika dibandingkan dengan beberapa waktu yang lalu.
Selain itu, aspek delivery makanan melonjak drastis. Restoran, kafe dan bar kini sepi dan beralih ke pesan-antar makanan. Pemilik usaha juga dipaksa untuk jeli dan segera berpindah dari cara konvensional ke digital. Jika tidak, tentu saja kerugian akan menghampiri bahkan berujung kebangkrutan.
Rumahku Surgaku
Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memaksa pekerja untuk menetap dan bekerja dari rumah. Hal ini memberikan pengaruh pada rutinitas harian keluarga. Ayah dan ibu kini tidak begitu sibuk menyiapkan diri untuk berangkat kerja. Cukup mencuci muka dan membuka laptop, pekerjaan sudah di depan mata.
Orang tua milenial yang identik dengan kurangnya kemampuan memasak, kini mencoba keluar dari zona nyaman dan mencoba resep-resep baru. Waktu luang yang lebih banyak jadi salah satu faktor. Meski sesekali masih memesan makanan lewat aplikasi.
Tidak jarang, berawal dari masakan sederhana, banyak yang memulai bisnisnya sendiri. Fenomena ini tentu hasil dari pemutusan hubungan kerja (PHK) yang marak terjadi belakangan ini karena Covid-19.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Tentu saja tidak mengapa berharap kehidupan akan kembali normal seperti sedia kala. Tapi tidak menutup kemungkinan ‘new normal’ akan merubah sebagian bahkan seluruh pola hidup yang biasa kita lakukan.
Kita memang harus bermimpi untuk merubah dunia, tapi sesekali berubah untuk kebaikan dunia terdengar bagus juga.
Oleh: Hassanalwildan Ahmad Zain (Alumnus Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Malang)