Nasib Pilkada di Masa Pandemi Covid-19

pilkada pandemi

Modernis.co, Jakarta – Setelah melewati berbagai diskursus yang panjang di kalangan public tentang Pilkada di Tengah Wabah Covid 19, Direktur Perludem Titi Anggriani mengatakan bahwa pelaksanaan pilkada dengan melihat situasi masyarakat sekarang lebih baik ditunda sampai 2021.

Dengan alasan sosialogis inilah Titik Anggriani mengusulkan untuk menunda pelaksanaan pilkada. Tapi ternyata Pemerintah, DPR dan KPU bersepakat untuk melanjutkan pelaksanaan Pilkada 2020 dengan mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang Undang (Perpu) No. 2 tahun 2020 tentang Pilkada yang selanjutnya disingkat PERPU dengan segala risiko yang akan dihadapi memutuskan untuk tetap melanjutkan pelaksanaan Pilkada pada tahun 2020.

Dengan dikeluarkannya Perpu yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah. Melalui Perpu No. 2 Tahun 2020, Presiden Jokowi mengatur beberapa hal, khususnya terkait dengan kelangsungan tahapan pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19.

Terkait dengan materi muatan, Perpu No. 2 Tahun 2020, hanya terdiri dari  3 pasal, dengan dilengkapi pasal pembuka tentang eksistensi undang-undang pilkada yang sudah berubah beberapa kali, dan yang satunya adalah ketentuan penutup tentang permberlakuan Perpu.

Ketiga pasal yang mengatur mekanisme pilkada sebagai akibat dari pandemi Covid-19 adalah perubahan pasal 120,  penambahan pasal 122A, dan penambahan Pasal 201A. Jika dikelompokkan, Perpu yang diteken Presiden Jokowi pada 4 Mei 2020 ini mengatur beberapa hal saja:

Pertama, situasi-situasi seperti bencana alam, bencana non-alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan gangguan lainnya yang menyebabkan pelaksanaan tahapan pelaksanaan kepala daerah tidak dapat dilaksanakan, maka pilkada akan dilanjutkan dengan mekanisme pemilihan lanjutan.

Kedua, KPU RI berwenang untuk menerbitkan penundaan pilkada dengan keputusan KPU sebagai akibat adanya gangguan terhadap tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Ketiga, penetapan keputusan untuk menunda dan melanjutkan tahapan pilkada oleh KPU RI, mesti didasarkan pada persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan DPR.

Keempat, tahapan Pilkada 2020 yang awalnya direncanakan untuk dilaksanakan pada bulan September 2020 ditunda menjadi bulan Desember 2020. Kelima, dalam hal pemungutan suara di bulan Desember 2020 tidak dapat dilaksanakan, akan dilakukan penjadwalan kembali pelaksanaan pilkada sesuai dengan mekanisme yang diatur di dalam pasal 122A.

Berdasarakan penjelasan di atas maka catatan dalam isi muatan materi dalam PERPU tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, Pemerintah terlalu memaksakan diri untuk menjadwalkan pemungutan suara Pilkada 2020 pada bulan Desember. Kesan yang muncul di dalam Perpu ini, terutama ketentuan di dalam Pasal 201A ayat (3), tahapan pilkada seolah hanya mencakup persoalan pemungutan suara saja.

Padahal, jika pemungutan suara dilaksanakan pada bulan Desember, tahapan Pilkada 2020 yang saat ini ditunda, mesti dimulai kembali selambat-lambatnya pada bulan Juni 2020. Sebelum tahapan dimulai kembali, tentu di dalam bulan Mei ini, KPU dan Bawaslu, serta stakeholder pemilu lainnya sudah mesti bersiap kembali untuk melanjutkan tahapan pilkada.

Kita tahu semua, hampir semua tahapan pilkada, merupakan kegiatan yang mengundang interaksi banyak orang, serta kegiatan yang dilaksanakan di luar rumah. Aktifitas yang pastinya bertentangan dengan upaya menekan angka penyebaran Covid-19. Pertanyaan pentingnya, mengapa pemerintah begitu berani mengambil resiko melaksanakan pilkada di tengah pandemi Covid-19 yang belum juga berhasil diantisipasi angka penyebarannya. Bahkan korban terinfeksi dan meniggal dunia masih terus bertambah?

Kedua, Ketentuan di dalam Perpu ini, yang mensyaratkan kepada KPU untuk mendapatkan persetujuan bersama dengan DPR dan Pemerintah sebelum menunda dan melanjutkan kembali tahapan pilkada, tidak sejalan dengan prinsip kemandirian KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu. Karena situasi penundaan pilkada itu disebabkan oleh alasan keamanan, bencana, dan gangguan kemananan, harusnya KPU berkoordinasi dengan lembaga-lembaga negara yang bertanggung jawab untuk urusan tersebut.

Dalam hal penanganan bencana non-alam pandemi Covid-19, tentu KPU perlu berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) dan Kementrian Kesehatan. Jadi, pengaturan bahwa KPU mesti mendapatkan persetujuan bersama dengan DPR dan Pemerintah untuk menunda dan melanjutkan tahapan pilkada, adalah pengaturan yang tidak relevan, serta berpotensi mendistorsi kemandirian KPU.

Ketiga, Perpu Pilkada ini masih menggunakan pendekatan tata kelola teknis pilkada dalam situasi normal (tanpa pandemi/krisis) karena sama sekali tidak memberi ruang bagi penyesuaian pelaksanaan tahapan pilkada sejalan masa penanganan pandemi Covid-19. Perpu ini, dengan hanya tiga pasal di dalamnya, beranggapan bahwa keseluruhan tahapan pilkada serentak 2020 harus dikelola berdasarkan pengaturan yang sudah ada dalam UU Pilkada.

Padahla KPU sudah pernah menyampaikan penyesuaian-penyesuaian implementasi teknis tahapan pilkada yang perlu dilakukan (misalnya verifikasi faktual calon perseorangan berdasar sampel dan dilakukan secara virtual, coklit secara daring, serta pembatasan peserta kampanye untuk jaga jarak) apabila pilkada diselenggarakan dengan tahapan yang beririsan dengan masa penanganan puncak pandemi.

Keempat, Perpu pilkada yang diterbitkan Presiden Jokowi luput mengatur satu hal penting terkait pelaksanaan pilkada: hal yang penting tersebut adalah soal anggaran pelaksanaan pilkada. Kondisi hari ini, hari pemungutan suara pilkada sudah pasti akan ditunda. Terdapat pula kondisi perekonomian yang tidak normal sebagai akibat pandemi Covid-19.

Oleh sebab itu, perlu penegasan dan pengaturan mekanisme pengelolaan dana untuk biaya pilkada yang sudah dianggarkan sebelumnya, untuk kondisi normal tanpa ada pandemi Covid-19. Selain itu, satu hal yang sangat penting juga, jika nanti anggaran pilkada yang sudah disiapkan sebelumnya mengalami kekurangan, Perpu ini diharapkan mampu menjawab sumber uang dari mana untuk menutupi kekurangan tersebut. Tetapi, hal itu justru luput dari pengaturan di dalam Perpu.

Tantangan Pelaksanaan Pilkada di Masa Pandemi Covid-19

Salah satu negara yang dianggap sukses menyelenggarakan pemilu di masa Covid-19 adalah Korea Selatan, Adhy Aman salah satu Senior Program Manager International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) mengemukakan pengalaman yang dilakukan Korsel memang tidak dapat dijiplak begitu saja untuk diterapkan di Indonesia di tengah pandemi saat ini.

Sebagai contoh Korea Selatan bisa dijadikan contoh oleh Indonesia akan tetapi, bukan kemudian keberhasilan di Korsel langsung diterapkan di Indonesia. Karena di Setiap negara punya kemampuan dan kekhasan (culture) masing-masing, yang tidak bisa disamaratakan dengan negara lain.

Jika melihat praktik yang diterapkan di Korsel, ada banyak infrastruktur pemilu yang disiapkan seperti masker, pembersih tangan, sarung tangan, dan pelindung wajah bagi petugas pilkada. Belum lagi biaya-biaya pembelian kertas suara, kotak suara, tinta, spidol, petugas pemilu, dan lain-lain yang merupakan anggaran untuk pemilu normal, Selain itu, masyarakat harus tertib menjalankan protokol kesehatan seperti ditunjukan masyarakat Korsel.

Maka dalam hal tersebut penulis meragukan pelaksanaan pilkada ditahun 2020 di masa pandemic ini bisa terlaksana dengan baik sebab kalau dilihat kondisi social (culture) masyarakat  Indonesia budaya taat hukumnya sangat kurang.

Berbicara tentang budaya taat hukum paling tidak kedua pakar sosiologi hukum, seperti Soerjono Soekanto, juga Satjipto Rahardjo bahwa hukum dalam masyarakat tidaklah berdiri sendiri karena masyarakat adalah suatu sistem yang di dalamnya selain hukum ada sub sistem lainnya, yaitu ekonomi, politik, sosial, budaya, yang kesemuanya itu saat ini masih mengandung masalah dan bergerak terus sesuai dengan perubahan sosial yang sangat cepat, dan memerlukan penanganan antisipasi hukum agar tidak menyimpang jauh dari idealisme hukum yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Sebagai akibat tidak terkendalinya perkembangan aspek sosial non-hukum maka timbul berbagai pola pemikiran non hukum yang justru malah interpensi terhadap hukum, pemikiran tentang belum optimalnya fungsi hukum dalam integrasi sosial tersebut diantara gejalanya adalah berupa perintah tanpa aturan hukum (order without law)

Agar hukum dapat berfungsi secara baik perlu dioptimalkan kemampuan hukum, sehingga supremasi hukum berupa tujuan dan upaya agar hukum betul-betul punya kedudukan yang strategis dan punya kemampuan super untuk integrasi sosial betul-betul dapat diwujudkan. Maka berdasarkan hal tersebut KPU dalam hal membuat PKPU tentang proses pelaksanaan pilkada kedepan harus memperhatikan kondisi sosial kultural masyarakat supaya norma yang dibuat bisa dipatuhi oleh masyarakat .

Pada sisi yang lain yang menjadi tantangan sebagaimana Menurut Pengamat Politik Ary Santoso bahwa pertimbangan dalam memutuskan Opsi A ini mudah-mudahan tidak terintervensi dengan kepentingan berdasarkan kalkulasi  elektoral partai politik tertentu, terutama partai pengusung calon kepala daerah petahana.

Berdasarkan data ada sebanyak 224 dari 270 Daerah yang melaksanakan Pilkada Serentak tahun ini, maka berpotensi diikuti oleh kandidat petahana. Hal ini tentu menjadi tugas yang tidak ringan bagi Bawaslu terutama dalam mengawasi tindakan abuse of power terkait alokasi anggaran penanggulangan Covid-19 yang dimanfaatkan untuk kampanye terselubung kandidat tertentu.

Maka kalau dikalkulasikan Berdasarkan uraian di atas pelaksanaan pilkada tahun 2020 ini akan menuai tantangan dalam pelaksanaan pilkada ke depan. Adapun yang menjadi tantangan pelaksanaan pilkada kedepanan adalah sebagai berikut : Pertama, budaya taat hukum masyarakat Indonesia sangat kurang kalau dibandingan dengan Korea Selatan. Oleh karena budaya taat hukum masyarakat Indonesia ini kurang maka akan susah menjaga kerumunan dan memutuskan mata rantai penyebaran Covid-19. 

Kedua, infrastruktur untuk pelaksanaan pilkada yang tidak memadai. Ketiga, kualitas sumber daya manusia di dalam penyelanggara pemilu di tingkat PPK dan PPS untuk memahami baik aturan dan maupun tata kelola pilkada ditengah situasi yang penuh dengan ketidakpastian. Keempat, aturak teknis KPU untuk mengatur dan mendesain pilkada di tengah wabah seperti ini harus memadai.

Strategi Penyelenggara untuk Pelaksanaan Pilkada 

Dengan melihat berbagai penjelasan di atas, KPU harus mempersiapkan startegi dalam preses penyelenggara pilkada kedepan agar nama baik penyelenggara pilkada tetap terjaga integritasnya. Di tengah situasi bangsa yang penuh dengan ketidakpastian maka dalam pelaksanaan pilkada ke depan penyelenggaraan pemilu dituntut untuk mempersiapkan strategi pelaksanaan pilkada, mulai dari tahapan pilkada sampai pada pemungutan suara.

Menurut hemat penulis strategi yang harus dipersiapkan oleh KPU untuk pelaksanaan pilkada kedepan adalah sebagai berikut : Pertama,  dalam hal membuat regulasi KPU harus melihat situasi dan kondisi, agar PKPU tersebut tidak menjadi barang mentah. Kedua, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa masih ada tapahan pilkada seperti verifikasi faktual calon perseorangan yang berintraksi secara langsung dengan masyarakat, oleh karena itu KPU harus bisa membuat strategi agar tidak terjadi  kerumunan.

Ketiga, kampanye tentunya melibatkan banyak orang maka KPU juga harus memikirkan cara untuk menghindari kerumunan sebab yang namanya kampanye paslon pasti akan terjadi kerumunan.  Dalam hal kampanye misalnya KPU bisa menggunakan cara model kampanye dairing, tapi KPU tentunya terlebih dahulu harus massif melakukan sosialisasi agar masyarakat bisa memahami dan atau mengerti.

Jadi dapat simpulkan bahwa nasib pilkada kedepan berada di tangan penyelenggara pemilu, kenapa dikatakan demikian karena publik menuntut penyelenggara pemilu bisa menjawab tantangan pilkada ke depan dengan tindakan-tindakan yang konkrit dan terukur, sebab kalau tidak maka penyelenggara pemilu akan mendapatan citra yang buruk.

Pada sisi yang lain partai politik sebagai peserta pilkada juga dituntut untuk tidak melakukan kalkulasi politik terhadap anggaran Covid-19 untuk dijadikan kampanye selubung bila ada calon petahana yang ikut. Selain parpol masyarakat juga agar bekerja sama membantu penelenggara dan pemerintah untuk ikut perintah agar situasi Covid-19 ini cepat berlalu.

Oleh : Harmoko M Said

Sumber Photo; Ibtimes.id

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment