Modernis.co, Sulteng – Masyarakat dan Negara merupakan kesatuan yang satu dan tidak bisa diganggu-gugat, dalam komponen masyarakat terdiri atas laki-laki dan perempuan. Pun, dalam komponen masyarakat terdapat nilai-nilai dan norma-norma yang telah lama tumbuh dan menjadi panutan ataupun pedoman bagi masyarakat itu sendiri.
Nilai dan Norma yang kemudian dianggap mapan dan sudah semestinya. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya keraguan untuk mempertanyakan suatu hal. Akibatnya lebih lanjut dari hal ini adalah sikap dan persepsi masyarakat akan suatu hal dari waktu ke waktu tidak berubah.
Sebagaimana peran laki-laki dan perempuan seringkali ditentukan oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. misal, adakalanya laki-laki diidentikan dengan pekerjaan di ranah publik dan dalam pandangan masyarakat laki-laki yang semestinya mencari nafkah di luar rumah.
Sedangkan perempuan dikonstruksikan sebagai sosok yang lemah dan sudah selayaknya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengurusi suami dan anak, memasak, mencuci dan pekerjaan rumah lainnya. Dengan artian bahwa, pandangan-pandangan masyarakat adakalanya mereduksi perempuan dengan batasan-batasannya.
Dengan demikian, pendangan-pandangan inilah menjadi suatu yang biasa dan menjadi luar biasa jika perempuan bekerja diluar rumah atau publik. dan inlah yang dapat kita katakan dengan budaya patriarki.
Sebagaimana menurut Bressler, Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan (Charles E, Bressler, 2007).
Lebih jauh, Bressler merinci Patriarki sebagai konsep yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial, terutama dalam antropologi dan studi referensi feminitas. Patriarki juga bermakna sebagai distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki memiliki keunggulan dalam satu atau lebih aspek.
Seperti penentuan garis keturunan (keturunan patrilineal eksklusif dan membawa nama belakang), hak-hak anak sulung, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik dan politik atau agama atau atribusi dari berbagai pekerjaan pria dan wanita ditentukan oleh pembagian kerja secara seksual (Charles E, Bressler, 2007).
Kemudian, pengaruh atas budaya patriarki yang merugikan kaum perempuan bisa dikelompokan sebagai berikut; pertama, marginalisasi atau pemiskinan terhadap kaum perempuan. sebagai contohnya yaitu upah kerja yang berbeda antara laki-laki dan perempuan (padahal hasil kerjanya sama). Kedua, subordinasi terhadap perempuan. yaitu dimana kaum laki-laki lebih diprioritaskan daripada kaum perempuan.
Misalnya saja pada pandangan patriarki domestik bahwa, perempuan tidak ada gunanya belajar tinggi-tinggi, yang pada akhirnya akan ke dapur juga. Ketiga, stereotaip terhadap wanita. Yaitu anggapan negatif dalam patriarki bahwa perempuan itu emosian, lemah lembut (tidak bisa tegas) dan juga penggoda. dan keempat, kekerasan terhadap perempuan. sebagaimana kekerasan fizikal dan mental terhadap perempuan.
Adapun, pada lintasan sejarahnya, budaya patriarki melahirkan sebuah gerakan-gerakan kaum perempuan yang sering kita dengar dengan sebutan feminisme. Gerakan ini adalah bentuk perlawanan atas subordinasi perempuan di lingkungan masyarakat itu sendiri.
Perlawanan perempuan atas subordinasi dirinya merupakan keniscayaan yang lahir dari pada ketidakadilan masyarakat dan negara dalam memposisikannya. Nah, jika melihat pada era sekarang peran Negara terhadap Hak perempuan telah berbeda dari yang dulu.
Negara telah membuka ruang publik untuk perempuan itu sendiri. Adapun yang menjadi permasalahannya adalah pada masyarakat itu sendiri, khususnya di daerah yang masih terisolasi dengan budaya patriarki.
Padahal, pada asasnya perbedaan antara perempuan dan laki-laki berkaitan dengan teori Nature dan Nurture. Teori nature yaitu merujuk kepada pembagian dan perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah berasaskan faktor biologi dan anatomi (seks), yaitu berhubungan dengan ciptaan Allah SWT. Adalah suatu hal yang mutlak (Arief Budiman, 1982 : 2).
Lazimnya perempuan dan lali-laki dilahirkan dengan sistem reproduksi yang berbeda. Perbedaan ini yang merupakan ketentuan Tuhan yang tidak berubah dari masa kemasa. Dan perbedaan ini juga merupakan keistimewaan khusus antara laki-laki dan perempuan.
Pun demikian, laki-laki dan perempun, sebenarnya setara walau aspek biologi dan anatominya berbeda. Dengan demikian, laki-laki tidak lebih karena kelakiannya dan perempuan tidak kurang karena keperempuanannya. Dalam konteks ini, perbedaannya hanya berlandaskan pada kualitas ketakwaan kepada Allah SWT (lihat Q,S Alhujarat ayat 13).
Berbeda dengan teori nurture. Teori nurture merupakan perbedaan yang berasaskan interpretasi sosial dan simbolik yang lahir dari proses belajar dalam lingkungan sebuah masyarakat (Arief Budiman, 1982). Dengan kata lain adalah pembinaan sosial dalam kebudayaan masyarakat.
Adapun, konstruk sosial dalam masyarakat ini sangatlah beragam dan bersifat relatif dan boleh saja berubah berdasarkan ruang dan waktu. Dalam artian, dengan menggunakan teori ini perbedaan peran perempuan dan laki-laki itu relatif tergantung dari pada konstruk atau pembinaan masyarakat itu sendiri.
Selanjutnya dengan perkembangan waktu dan perbedaan tempat sudah semestinya laki-laki dan perempuan harus sesuai dengan proporsinya dan potensinya masing-masing. Sebagaimana berbicara tentang peran tidak lepas dari potensi, dan potensi bisa dikembangkan dari lahir hingga dewasanya. Berbeda dengan zaman dulu, kaum perempuan untuk mengakses pendidikan sangatlah sulit.
Sehingga, potensi kaum perempuan untuk mendapatkan peran di publik juga sangat terbatas. Akan tetapi, setelah perkembangan zaman dan perbedaan tempat menjadikan hal ini bukan alasan untuk membatasi perempuan untuk mengambil peran di publik.
Dengan demikian, semuanya berbanding lurus dengan penglihatan yang komprehensif tanpa adanya diskriminasi dengan menggunakan dogma-dogma yang tidak berdasar. Akhirnya, budaya patriarki yang masih ada pada masyarakat sekarang harus ditinggalkan. Sebagaimana penjelasan diatas bahwa zaman telah berubah dan tidak ada alasan substantif untuk mempertahankannya.
Mengakhiri tulisan ini ada sebuah pernyataan hebat dari filsuf asal spanyol George Santayana “mereka yang tidak mempelajari sejarah, akan terkutuk mengulangi sejarah itu sendiri”. Oleh karena itu, marilah kita bersama meninggalkan budaya patriarki ini dan bersama menuju masyarakat yang lebih mencerahkan.
Oleh: Taufik Hidayat (kader IMM tamaddun FAI UMM)