Bangkit Melawan dengan Pendidikan

profesi advokat

Modernis.co, Malang – Pendidikan menjadi alat pendidik para pejuang yang paling efektif. Karenanya pun pendidikan harus diupayakan dengan hal-hal yang sepenuhnya positif dan memabangun semangat kesatria. Keberadaan fasilitas pendidikan ditengah kita, harus disikapi dengan sikap penuh antusiasis.

Dengan begitu semua hal yang berkaitan dengan pendidikan akan dimaknai dengan tulus sebagai jalan pembentuk generasi yang tak kenal lelah ketika berjuang dalam medan pertempuran.

Seorang pejuang revolusi, Tan Malaka pernah mengatakan : “Pendidikan adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan dan memperhalus perasa’n”. Begitu dalam makna terkandung dalam kalimat sederhana itu, walaupun sebagian orang mengatakan itu hanyalah bualan pemanis bibir seorang tokoh agar kelak dikenang karena kemanisan kata-kata.

Tidak berhenti pada penafsiran sementah itu, memperjuangkan pendidikan yang mengandung 3 hal tersebut adalah tanggung jawab bersama baik secara individual maupun bersama seluruh elemen. Tidak bisa hal ini dinisbahkan sepenuhnya hanya kepada orang-orang yang tergabung atau sebagai tenaga pelajar saja.

Muatan materi pembelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah seharusnya tidak sebatas pelajaran berisi tentang hal jangka panjang semata, namun siswa harus dibiasakan dengan sesuatu yang praktis dikerjakan pada saat waktu itu langsung. Keterbiasaan dalam dunia imaji (berbicara cita-cita semata) hanya akan melahirkan generasi pemimpi, mengenaskan dan memprihatinkan sebab mati dalam aksi.

Seseorang apabila telah terbiasa dengan dunia praktik akan mudah menjelma menjadi sosok pemimpin ideal pengorganisir massa yang efektif. Artinya tidak salah ketika belajar tentang cita-cita masa depan dan kejayaan masa lalu. Namun, perlu kemudian disegerakan adalah hal-hal yang saat itu juga wajib seperti halnya pembentukan karakter.

Secara fungsional, tujuan pendidikan setidaknya harus memuat nilai-nilai perjuangan untuk membentuk generasi berkemajuan, atau dalam istilahnya Gramsci yakni intelectual organic.

Dalam pandangan penulis, pendidikan sebagai alat perlawanan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :

Pendidikan yang memuat materi gerakan

Perihal gerakan adalah tentang perjuangan dalam pembebasan. Hal ini kemudian harus diselaraskan dengan garis perjuangan dan asas keberpihakan kita sebagai orientasi awal. Jargon keren yang digaungkan oleh siswa/mahasiswa (lebih tepatnya kaum terdidik saat ini) yakni agent of change, agent of control atau apapun sebutannya, bagi penulis itu hanyalah jargon pemati karakter.

Lantas bagaimana kita berbicara perubahan dan pengawasan sementara sitem dan alurnya tidak pernah disentuh sama sekali. Oleh karenanya, disinilah peran penting pendidikan dengan memasukkan materi-materi perjuangan dalam kurikulum pendidikan, misalnya saja : strategi perang, metode dan taktik aksi dan sebagainya.

Pendidikan harus berorientasi pada aspek sosial

Kecenderungan pendidikan saat ini hanya dipersempit semata mengenyam pendidikan dengan duduk melipat tangan diatas meja mendengarkan seorang Guru berbicara didepan kelas. Metode pendidikan semacam ini hanya akan mencetak generasi penurut yang bisanya cuma manut. Seharusnya pendidikan punya sikap visioner guna membangun dan mengarahkan para peserta didik untuk terjun dan bersentuhan langsung ke kehidupan sosial.

Artinya, wilayah sosial adalah menjadi tempat terindah dan terbaik bagi mereka untuk merealisasikan segala pengetahuan yang didapatkan di bangku sekolah/perkuliahan. Seharusnya dinamika dan beragamnya problem di masyarakat mampu mencuri perhatian besar kita, dengan melibatkan diri dalam setiap penanggulangan yang ada. Keikutsertaan dalam kinerja sosial adalah yang diidam-idamkan oleh masyarakat, aktif dalam kegiatan gotong royong dan sebagainya merupakan tanggung jawab moral seorang intelektual.

Pendidikan sebagai senjata mobilisasi massa

Selanjutnya keberadaan pendidikan yang memiliki banyak orang didalamnya baik dari kalangan pendidik dan peserta didik, memiliki peluang bagi terbentuknya massa aksi yang begitu besar. Keberhasilan aksi juga didorong oleh seberapa banyak massa yang ikut terlibat langsung dalam aksi.

Dalam pendekatan psikologis, ketakutan/ketenangan seorang penguasa yang tidak bertanggung jawab apabila dihampiri oleh sejumlah demonstran dalam jumlah banyak seringkali didapati tak tenang, hal ini kemudian dibuktikan dengan ditunjukannya sikap represifitas penguasa, dan militer menjadi benteng terakhir.

Dengan ditanamkannya ideologi perjuangan pada seluruh peserta didik, mereka akan tampil sebagai “aktivis sejati yang tak mungkin mau mati diatas antek-antek birokrasi yang begitu dzalim” (kira-kira begitulah renungan yang diutarakan oleh seorang perempuan berjiwa aktivis pada penulis). Poin ini menegaskan melihat elemen yang tergabung dalam prosesi pendidikan begitu banyak, maka sangat ideal mereka sebagai penjaga peradaban dan pengawas kinerja pemimpin (control social).

Pengetahuan menjadi basis perlawanan

Dalam hal ini kemudian kita akan berbicara masalah epistimologi sebagai sandaran awal untuk memberikan pemahaman terkait pergerakan kepada peserta didik. Apabila peserta didik sudah memumpuni secara pengetahuan, maka dengan mudahnya dalam menetapkan strategi atau cara apa yang menjadi langkah perjuangannya.

Sebab dengan pengetahuan langkah yang diuraikan dari awal akan mudah mengantisipasi segala rintangan yang mencoba menggagalkan perjuangan. Setelah pemahaman tentang gerakan mampu diinternalisasi dengan baik oleh para calon generasi penerus perjuangan.

Nafas perjuangan harus diusahakan lewat berbagai media apapun itu, dan pendidikan sebagai salah satunya. Merawat perjuangan sama dengan merawat segenap jiwa yang mengimpikan kemerdekaan. Menjadilah para pengkhianat sejarah apabila kita generasi muda dengan mudahnya melunturkan da meninggalkan medan perjuangan yang sudah lama terpatri dalam jiwa yang telah diwariskan oleh para kestaria terdahulu. Selama api perlawanan terus dipupuk dengan mendidik generasinya, selama itu pula penindasan adalah musuh bersama yang pantas diteriakkan kata perlawanan.

Kita sebagai generasi penerus memiliki tanggung jawab moral yang begitu besar, yakni dengan meneruskan dan mempertahankan kejayaan yang pendahulu kita raih. Tentu mereka adalah orang-orang tanggung yang memiliki semangat tinggi dalam berjuang. Keharusan untuk menjaga menjadi kewajiban yang boleh diwakili.

Tidaklah mungkin selamanya kita berbangga pada sejarah masa lalu. Kejayaan pendahulu tidak bisa menjadi hal untuk menyombongkan diri. Generasi berkamajuan dituntut untuk terus berinovasi sampai ada produk baru yang dihasilkan selama perjuanganya tersebut.

Mereka yang telah berjuang adalah orang-orang hebat. Pendidikan tentu menjadi basic. Hampir sebagian besar pemimpin dan orang-orang hebat di negeri ini mengenyam pendidikan sampai keluar negeri. Sebab mereka semua sadar, orang tak mungkin bisa membangun tanpa ada pengetahuan tentang membangun.

Begitulah adanya perjalanan kehidupan ini. Perhatian harus lebih diarahkan pada persoalan pendidikan, tentunya dengan tetap menjalankan hal-hal lainya. Mengingat adalah alat vitalyang harus dijaga dan diasah terus menerus, tidak heran jika berjuang mencetak generasi tiu sangant melelahkan.

Seorang Nelson Mandela pernah berwasiar, “education is the most powerful weapon which you can use to change the world (pendidikan adalah senjata terampuh yang dapat anda gunakan untuk mengubah dunia). Begitu dalam pesan perjuangan ini. Mengisyaratkan kita untuk tetap terus berpacu semangat dalam menempuh pendidikan formal maupun non formal. Seringnya jatuh jatuh terpuruk dalam perjuangan, akan memberikan jalan lapang untuk bangkit menuju kesuksesan. Tetap semangat, bila waktunya telah tiba barulah langkah terhenti.

 Terdidik bukan untuk berdiam diri, tapi maju menumpas setiap bentuk kedzaliman”

Oleh: Wahjiansah Umar (Ketum IMM Tamaddun Fai UMM & Sarjana Muamalat UMM)

Wahjiansah
Wahjiansah

Mahasiswa, Penerima Beasiswa Sarjana Muamalat

Related posts

Leave a Comment