Intimidasi Gender, Sexual Harassment

intimidasi gender

Modernis.co, Malang – Kesetaran gender (gender equality) dalam kurun waktu dari lima tahun terkahir, topik ini hangat diperbincangkan diberbagai kalangan dan latar belakang status sosialnya. Penuntutan hakhak kesetaran ini lagi banyak disuarakan diberbagai kondisi yang majoritynya adalah para kaum perempuan, baik dari para pekerja, akademisi, ibuk rumah tangga, atau bahkan para siswa yang masih duduk dibangku sekolahnya. Namun tidak terlepas juga para kaum laki-laki.

Ada beberapa faktor mengapa gender equality hangat dibahas sampai sekarang, yang pertama adalah melihat dari kajian empiris, sekarang perbandingan antara laki-laki dan perempuan di dunia hampir mendekati rasio 1:1, yakni 1,09:1 atau 109 laki-laki per 100 Perempuan (Wikipedia). Psikologis kita mengatakan jika populasi mendominasi, maka akan timbul rasa percaya diri dan berani, terlebih dalam menyuarakan hak dan pendapat yang menurut dirinya adalah kuasa kebenaran.

Faktor kedua adalah Hak Asasi Manusia. Hak asasi manusia menurut UU No.39 Tahun 1999 adalah “seperangkat hak yang melekat pada diri manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Hak tersebut merupakan anugerah yang wajib di lindungi dan di hargai oleh setiap manusia”. Yang artinya semua manusia, siapa pun dia dan apapun gender dia mempunyai hak, kesempatan, peran, perlindungan dan sumber daya yang sama di mata umum.

Faktor terakhir adalah mewujudkan Emansipasi wanita. Menurut Kamus besar bahasa indonesia (KBBI) emansipasi wanita sendiri mempunyai arti “proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju “.

Anehnya tidak hanya perempuan saja yang berjuang mewujudkan emansipasi wanita tetapi laki-laki juga ada yang berjuang mewujudkan itu. Kenapa laki-laki mau melakukan itu? Dari pengalaman penulis, laki-laki merasa tidak terima ketika melihat ada prilaku tidak pantas yang di lakukakan oleh kaum perempuan, maka dari itu mereka mendukung gender equality dengan cara mewujudkan Emansipasi Wanita.

Sexual harassment adalah kondisi dimana seseorang tidak bisa menerima keadaan, baik dengan lisan, fisik atau isyarat seksual, pernyataan yang bersifat menghina secara tegas, atau keterangan secara seksual bersifat membedakan dibuat oleh sesorang yang menyerang pada objek yang terlibat, dimana menyebabkan merasa terancam, dipermalukan, dibodohi, dilecehkan, atau melemahkan kodisi keamanan dengan cara intimidatif. Sexual harassment memiliki cakupan yang beranekaragam, yang meliputi:

  1. Hate speach yang membuat seseorang tersinggung
  2. Kontak fisik dengan cara sengaja demi memanfaatkan peluang seperti, pemerkosaan ataupun kekerasan.
  3. Ajakan seksual

Sexual harassment menyerang siapa saja dan dimana saja kapan itu ada peluang untuk dilakukan. Dalam kejadian pelecehan seksual biasanya terdiri dari 10 persen kata-kata pelecehan, 10 persen intonasi yang menunjukkan pelecehan, dan 80 persen non verbal.

Seperti kasus baru-baru ini yang menjadi viral di media sosial dan menjadi headline diberbagai media massa “ojol begal payudara perempuan di Ciracas Jakarta Timur”. Pelaku menyalurkan dorongan syahwatnya dengan melakukan aksi kejahatan sosial. Sangat miris!. Dan ini berdampak dari sisi sikologis sosial dan sikologis ekonomi. Adanya tindakan tersebut, konsumen merasa was-was dan tidak mau naik ojol lagi karena menganggap dirinya tidak ada jaminan keamanan dengan tindakan sexual harassment.

Mengapa korban sexual harassment kebanyakan adalah perempuan?

Disebutkan pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat kerja telah tercatat sejak pertama kali perempuan memasuki pasar tenaga kerja (Sexual Shakedown: the Sexual Harassment of Women on the job, Lin Farley (1978)).

Sexual harassment di dunia kerja muncul sejak kapitalisme berkembang. Farley mengatakan bahwa sexual harassment merupakan metode baru yang dikembangkan oleh kapitalisme dalam mengontrol tenaga kerja perempuan.

Kata-kata “men have power over women in society” kerap kali menjadi dalil dari kebanyakan laki-laki untuk mengintimidasi perempuan, karena kondisi kekuasaan sosial yang menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi dari perempuan, maka laki-laki (termasuk rekan kerja laki-laki) menyalah gunakan “kekuasaannya” untuk mendapatkan manfaat keuntungan seksual terhadap perempuan.

Sering teman ataupun rekan kerja dan atasan (laki-laki) memberikan pernyataan bahwa ketertarikan seksual adalah hal yang alamiah dan dialami oleh manusia, tapi perlu diingat tindakan seksual yang tidak bisa diterima dan dikehendaki adalah yang disebut dengan sexual harassment.

Katakan lawan terhadap kasus Sexual harassment

Banyak diantara tengah-tengah masyarakat dan kita sendiri masih ragu untuk melaporkan tindakan pelecehan seksual yang dialami. Karena dari kebanyakan korban mengalami gangguan psikis sehingga membuat nyali mereka menciut.

Sebuah kasus sexual harassment tidak bisa diterima dan kita semua harus dengan berani meyuarakan bahwa kita semua mempunyai hak dan martabat yang sama. Setidaknya langkah-langkah yang harus kita lakukan adalah:

  1. Membuat catatan tentang kejadian, meliputi identitas pelaku, tempat kejadian, waktu, saksi dan yang dilakukan oleh pelaku serta ucapan-ucapan pelaku.
  2. Bicara pada orang lain, ceritakan kepada teman kerabat, rekan sekerja, pengurus serikat pekerja atau siapa saja yang anda percayai dan mau mengerti situasi yang anda hadapi.
  3. Melaporkan ke pihak berwajib, sexual harassment merupakan tindakan melanggar hukum karena menyangkut atas hak keamanan kehidupanya. Maka sangat tepat meminta perlindungan dari aparat penegak hukum untuk menuntut keadilan haknya.

Dalam makalahnya yang disampaikan dalam seminar nasional ITF, Rifka Annisa Women’s Crisis Center (2008) mengatakan ini adalah perangkat hukum nasional yang relevan dengan sexual harassment. Ada beberapa pasal dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat menjerat seseorang pelaku pelecehan seksual:

  1. Pencabulan pasal 289-296
  2. Penghubungan pencabulan pasal 295-298 dan pasal 506
  3. Persetubuhan dengan wanita di bawah umur pasal 286-288

Konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW: Convention on Elimination Discrimination Against Women), 1979. Konvensi ini merupakan perjanjian internasional yang paling komprehensif dan menetapkan keajiban hukum yang mengikat untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan.

Konvensi ini juga menetapkan persamaan kesempatan perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Indonesia telah meratifikasi (mengesahkan) konvensi ini melalui UU No. 7 Tahun 1984.

Kesimpulanya, penyelesaian sexual harassment bukan melihat gender, tetapi lebih ke “sifat” bukan objek “gender” siapa yang melakukan tindakan tersebut. Hal ini harus kita samasama sadari bahwa gender laki-laki ataupun perempuan mempunyai hak etis untuk menyuarakan perlawanan atas kejahatan sosial.

Oleh: Erik Suhendra (Mahasiswa Ekonomi Syariah, FAI UMM)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment