Saling Menghakimi Kemanusiaan

menghakimi kemanusiaan
  • Kenapa kau  ribut atas krisis Rohingnya tapi bungkam atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu?
  • Kenapa kau mampu bersolidaritas terhaidap Uighur tapi tidak untuk rakyat Papua?
  • Kenapa kau peduli sibuk mengutuk kekerasan radikal di India, dan acuh terhadap negeri mu sendiri?

Modernis.co, Kudus – Kemanusiaan kita[1] sedang mengalami sebuah krisis akut sehingga terlalu mudah untuk menyebutkan kasusnya mulai dari Papua, Palestina, Rohingnya, Uighur sampai India yang hari ini bergejolak. Seiring sejalan atas kasus-kasus kemanusian terjadi, pertanyaan-pertanyaan dikotomis seperti di atas sering muncul mengikuti setiap agenda kemanusiaan yang sedang dilakukakan beberapa individu atau kelompok.

Pertanyaan tersebut sering bernada sinis ketimbang kritis untuk menunjukkan sajauh mana kepekaan mereka kepada kelolmpok lain. Lebih jauh lagi, pertanyaan tersebut berkonotasi menghakimi seakan-akan kemanusiaan bersifat palsu apabila merespon kasus yang satu dan acuh dengan kasus yang lain.

Semoga kalimat-kalimat di atas hanya keseudzonan penulis, karena menghakimi adalah tugas Tuhan (al-hakam). Manusia hanya cukup pada sampai mengingatkan dan memberitahu bahwa kemanuasiaan itu universal dan melintas batas, berprinsip egaliter dengan memperlakukan semua orang secara setara, dan melebihi hal-hal bersifat primordial.

Tentu pengingat semacam itu tidak keliru, tapi mesti disadari pula bahwa membela kemanusiaan yang bersifat primordial juga bukan sebuah kesalahan, toh masih membela kemanusiaan yang merupakan bagian keuniversalan. Pada kebanyakan kasus memang sering kemanusiaan kita tergugah dan pada beberapa kasus tidak mampu tergugah. Itu semua wajar, banyak faktor yang melatarbelakangi empati itu muncul. Ada banyak hal yang membuat manusia jadi lebih empati. Terutama soal agama dan kepercayaan.

Sebagai manusia beragama, mesti memiliki kesadaran bahwa agama sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan seperti pendapat Kuntowijoyo seorang cendekiawan muslim, yang menyatakan Islam adalah sebuah humanisme, yaitu agama yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan sentral. Baginya, pusat keimanan Islam memang Tuhan, namun ujung aktualisasinya adalah manusia.

Begitu pula bagi Hans Kung seorang teolog terkemuka mengatakan bahwa semua agama sepakat dengan beberapa komitmen yang berkaitan dengan hubungan beragama dan etika dunia. Semua agama mengajarkan umatnya untuk menghindari kekerasan, semua agama juga mengajarkan manusia untuk memiliki solidaritas, kemanusiaan dalam segala aspek kehidupan. Dan semua agama mengajarkan nilai-nilai kesetaraan dan toleransi sesama umat manusia lainnya.

Menjadi sebuah kecemasan apabila manifestasi nilai-nilai yang dipercayai secara membabi buta dengan menegasikan pandangan pihak lain berujung pada doktrin kebenaran sepihak. Plot semacam ini kian memperkuat peringatan di dalam Al-Qur’an bahwa tanda perpecahan adalah ketika setiap golongan merasa paling benar, kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun.

Keadaan yang saling mempertentangkan pembelaan kemanusiaan sesuai persepsinya adalah sebuah permaslaahan kronik dan mempertegas polarisasi kemanusiaan pada egosentrisme, baik atas dasar agama, ras, etnik, maupun ideologi semakin menjauhkan api semangat untuk mencapai persaudaraan kemanusiaan yang universal.

Solidaritas tanpa syarat adalah modal utama untuk mengembalikan peradaban manusia pada posisi yang lebih humanis. Solidaritaas tanpa syarat menjadi blueprint untuk melakukan perlindungan yang objektif, memandang manusia lain sebagai bagian yang inheren dari kesadaran sebagai manusia sehingga mampu mendekonstruksi segala pembelahan rasional yang antagonistik (muslim-nonmuslim, kaya-miskin).

Pada akhirnya kita mesti berdoa kepada Tuhan untuk segera mengembalikan peradaban manusia yang lebih humanis dan memberi kekuatan untuk kita melakukan pelucutan keangkuhan dengan sedikit merefleksikan sajak Gus Mus:

Aku menyayangimu karena kau manusia

Tapi kalau kau sewenang wenang kepada manusia

Aku akan menentangmu

 Karena aku manusia


[1] Sebuah harapan awal untuk mengajak aku dan kamu sama-sama dalam satu garis pikir dan rasa diantara krisis kemanusiaan

Abdul Ghofur (Aktivis IMM Kudus)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment