Dialog Politik Milenial, the Stage of Shaming

stage of shaming

Modernis.co, Malang – Beberapa hari yang lalu, saya membuka twitter, lalu munculah sebuah video pendek berisi seorang politisi perempuan memperkenalkan dirinya partai yang dipimpinnya, sembari berkata “tahukah kamu bahwa tujuh dari perempuan Indonesia, sisanya tiga”. Terkejut aku terheran heran.

Setelah itu keheranan saya berlanjut ketika salah seorang kader ‘milenial’ partai mengunggah foto mobil dan kargo dengan poster dan atribut kampanye dirinya, yang ia klaim foto itu datang dari simpatisannya. Atas kuasa netizen yang maha hebat, terbongkarlah bahwa video itu adalah hasil editan gambar dari gambar mobil kargo yang di ambil serampangan dari internet. Jan…., netizen ini memang sakti beneran.

Ya betul mereka berdua menampilkan racun dalam panggung politik yang seharusnya di penuhi oleh substansi dan sintesa analisis sosial. Bisa saja sih itu bukan kemauan mereka, atau hanya suruhan dari konsultan politik mereka. Tapi kalau benar demikian maka mereka tak pernah berorientasi pada tujuan dan fungsi legislatif itu sendiri. alih-alih mau jadi legislator mereka lebih cocok jadi tim kreatif reality show, jago cari gimick.

Mereka cuma akan berebut atensi masyarakat khususnya milenial seperti kita, yang belum terlalu banyak menyerap substansi dalam dialog publik. Padahal kaum milenial bukan tidak bisa membaca atau memahami percakapan politik yang subtansial. Mereka cuma belum terbiasa dengan hal tersebut, dan para influencer politik muda yang semestinya membantu mereka memahami percakapan politik. Malah menyuguhkan drama, gimmick, serta hal-hal tidak substansial lainnya. Nyanyi bareng di tv dengan suara sumbang setelah twit war misalnya.

Ibarat kata ada balita yang belajar menyebut kan kata “makan” secara benar, orang tuanya malah membiasakan berkata “mamam.. mamam..”. Bukanya membiasakan diri menyebut kata “makan” dengan benar anak akan terbiasa dan cepat memperbaharui struktu kata dan diksinya. penggunaan kata mamam secara terus menerus justru membuat anak disorientasi bahasa dan lebih lambat dalam memahami kata.

Orang tua ini memahami anaknya dan bagaimana cara berkomunikasi dengannya, tapi tidak memahami proses tumbuh kembang dan tugas perkembangan seorang anak. Begitu pula para selebtwit eh politisi ini, mereka memang berhasil membaca dan memahami karakter para milenial. Namun mereka tak mampu memahami bagaimana tugas-tugas perkembangan dari para milenial atau usia dewasa muda.

Para dewasa muda yang menjadi salah satu pemilih terbesar ini seharusnya merayakan pesta demokrasi dengan pendidikan politik yang baik. Alih-alih membuat mereka mendapatkan pendidikan politik yang baik, kemudahan akses dan informasi melalui kalibrasi dialog oleh sosial media justru membuat mereka over information dengan hal-hal yang tidak substansial. Lah mestinya kan mereka diajarin bagaimana berpolitik sehat? Kok malah mereka dipaksa melihat hingga akhirnya menyukai gimmick politik mulai bales-balesan award gak penting, hingga nontonin para politisi saling menghina satu sama lain.

Yaelah dari pada ngeliatin tsamara-faldo twitwar, lebih seru ngeliatan awkarin-anya kaliii…
Memang gasemuanya sih, saya mengamati postingan twitter beberapa caleg DPR RI maupun kader yang berasal dari partai yang sama dengan politisi perempuan yang disebut di awal. Beliau beliau ini, setiap hari memposting dialog politik yang baik dan santun.

Menunjukkan argumentasi yang baik perihal pemaparan visi misi, memberi pengetahuan perihal tata cara dan alur birokrasi agar dapat memberikan suara, bahkan menawarkan diri bagi siapapun untuk di bantu mendapatkan hak suara tanpa melihat agama, ras atau bahkan pilihan politik.

Ada juga kader partai muda baik dari koalisi di kubu oposisi maupun petahana yang aktif memberikan edukasi serta percakapan politik yang santun dan mencerdaskan. Namun sayangnya angka signifikansi mereka sulit untuk di analisa mengingat para politis santun ini tidak memiliki trafic yang tinggi. Mereka belum bisa dikategorikan sebagai influencer pollitik.

Meski belum tahu apakah mereka akan konsisten jadi legislator yang baik di Senayan, tapi ngeliat saja sudah adem dan bikin simpati kan. Upaya mereka memberikan kesadaran politik yang sehat serta pendidikan politik yang baik rusak oleh kawan separtai sendiri yang menjadi influencer politik namun terus menerus memberi pendidikan politik dan demokrasi yang kacau. Debat politik yang tidak santun dan substansial.

Hanya sedikit sekali argumen politis berisi substansi suara maupun pesan dan amanat “dari rakyat” yang tersampaikan, sisanya hanya perdebatan akrobatik demi mendukung elit-elit dalam lingkaran koalisinya masing-masing. Debat-debat itu pun seringkali perdebatan dengan menyerang individu yang dikemas dalam bahasa akademis sehingga terlihat valid dan patut di benarkan.

Para influencer politik ini bukannya mengajarkan bagaimana berpolitik dengan integritas dan sopan santun, justru mengajarkan para milenial bagaimana berakrobatik dan menvalidasi serangan-serangan pada personal. Belum lagi para politisi senior yang sibuk membagi hoax-hoax demi mendapatkan atensi dan suara.

Pemilih muda yang minim pengalaman dan baru saja mengenal dunia politik ini, rata rata hanya mendapatkan pendidikan politik dari percakapan media sosial. Khususnya dari individu-individu yang menklaim diksi “milenial” dan mendeklarasikan diri sebagai perwakilan suara milenial. Akhirnya para pemilih muda ini mengalami distorsi pengetahuan karena tingginya trafic perdebatan tidak substansial yang terjadi di sosial media.

Mereka pun akhirnya tidak benar-benar mendapatkan politik yang santun dan penuh integritas. Dapat kita lihat contohnya setiap hari percakapan yang terjadi, Pemilih muda menjadi gagap ketika berargumen, dan cepat dalam berdebat.

Kalau potret politik kita terus menerus muram. Bahkan ketika milenial telah hadir dan merebut ruang, maka tak akan ada perubahan berarti yang terjadi. Dialog tidak sehat akan tetap direproduksi. Yang berganti hanya metode dan alat politik. Klaimnya pembaharuan, tapi gaya persaingannya lebih ngeri dari pada film abg-abg di SCTV.

Disinilah sebenarnya para politisi milenial yang mendapatkan priviledge pengetahuan politik, khususnya yang berpegang teguh pada integritas dan berkomitmen pada dialog yang santun. Mulai hadir dan merebut ruang dialog, sembari memberikan pendidikan politik yang baik dan bantuan-bantuan substansial langsung pada masyarakat. Maka kita masih punya waktu untuk berbenah.

Dan ini juga harusnya menjadi kesadaran partai, bagaimana mereka tidak hanya melihat karakter pemilih muda, namun juga kebutuhannya. Sehingga kampanye yang hadir bukan sekedar upaya merebut atensi dan suara, namun juga upaya memberikan dan menampilkan bagaimana dialog piolitik yang santun dan ideal.

Milenial sih milenial, tapi bikin konten yang berfaedah lah. Bikin konten tanpa substansi itu itu sama kaya kalian ngomong milenial ga punya atensi pada hal-hal subtansial. Dan moga aja riuh ramai percakapan politik ini ga berhenti dalam momen Pemilu saja. Namun berlanjut terus menerus, karena untuk memberikan wawasan politik pada kaum muda, ga cuma lima tahun sekali.

Oleh : Maryam Jamilah (Aktivis Resister Indonesia)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment