Tentang Aku dan Kemanusiaanku

Modernis.co, Malang – Pembicaraan tentang manusia merupakan pembicaraan yang tidak pernah berakhir. Selama manusia “eksis” sebagai suatu wujud di ruang semesta ini, selama itu pula ia jadi obyek diskursus. Hal ini dikarenakan manusia, dari berbagai aspek dan dimensinya, merupakan topik yang selalu menarik untuk dikaji dalam pelbagai disiplin ilmu. Katakanlah psikologi, sosiologi, sejarah, akhlak, filsafat dan lain sebagainya.

Sederet ilmu tersebut sering berbicara tentang manusia dari berbagai sisi, baik dari bagian luar hingga bagian terdalam diri manusia. Kendatipun demikian, dari sederet ilmu-ilmu tersebut sampai hari ini belum ada yang mampu memberikan jawaban pasti dan komprehensif tentang manusia. Roda heran kemudian Fauz Noor dalam buku Tapak Sabda, mengatakan bahwa hidup adalah perjuangan Mencari “aku”.

Alexis Carrel, seorang pakar Prancis peraih hadiah nobel di bidang kedokteran dan sains, dalam bukunya Man The Unknow mengatakan bahwa Manusia adalah makhluk misterius. Itulah manusia, saking misteriusnya, perkembangan ilmu sampai sekarang merupakan salah satu upayanya manusia untuk mengenal dirinya sendiri (“aku”).

Pencarian untuk mengenal “aku” merupakan hal yang didambakan dan idaman manusia. Bagaimana tidak, pengenalan akan “aku” adalah sarana dalam mengenal Allah. Sebagaimana Hadits yang sering dikutip oleh kebanyakan sufi yang mengatakan; (Man Arofa Nafsahu Faqod Arofa Robbahu). Barang siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya. Dan mengenal Tuhan adalah satu anugerah terbesar bagi manusia.

Tidak terbatas sampai di situ, mengenal “aku” juga merupakan usaha manusia untuk menyempurnakan kemanusiaannya. Untuk menyebarkan kebaikan di sekitarnya, menegakkan kebenaran, dan mencontohkan segala macam kebaikan dan kebenaran bagi manusia lainnya. Sebagaimana para Nabi dan Rasul, mereka adalah prototipe manusia sempurna yang mengenal keberadaan diri, hidup, tujuannya serta gambaran kematian juga setelahnya.

Kendati mereka (Nabi dan Rasul) sudah mengenal suatu yang tidak dan belum dikenal oleh kebanyakan manusia, mereka tetap melakukan kebaikan, menegakkan kebenaran dan mencontohkannya untuk orang lain. Hendaknya demikianlah manusia yang mencari kebenaran. Hal ini selaras dengan ungkapan Socrates; Barang siapa yang mengetahui yang benar, dia akan bertindak benar. Dalam bahasa Mulia Shadra, Manusia seperti ini adalah manusia yang sudah mencapai puncak Kearifan.

Berkaitan dengan mengenal “aku” untuk menyempurnakan kemanusiaan, yang dimaksud bukan hanya sekedar dan sebatas nama, identitas, silsilah serta segala sesuatu yang tampak semata. Bukan pula apa yang mampu dicapai oleh indra, akan tetapi lebih kepada yang aktual dan tersembunyi dibaliknya. Mengenal yang dimaksud di sini ialah nomena, sesuatu yang ada di balik fenomena.

Dari sinilah urgensi manusia untuk mengenal dirinya. Selain dapat mengenal tuhannya, hal itu akan menyempurnakan kemanusiaannya. Mendorongnya melakukan kebaikan, mencontohkan kebenaran dan segenap kemuliaan-kemuliaan lainnya. Seperti yang pernah di contohnya oleh para nabi dan rasul, orang-orang saleh juga sufi-sufi ternama.

Bagi manusia yang mengenal “aku”, semua perbuatan tersebut di atas dilakukan tidak lain untuk melayani Allah. Hal ini sama sebagaimana yang dikatakan oleh Maulana Jalaluddin Rumi kepada Amir Barwalah yang tengah mengeluh akan kesibukan dunianya. Karena kesibukannya tersebut, ia tidak bisa beribadah dan bersua secara totalitas kepada Allah.

Sebagaimana kutipan dalam buku Fihi Ma Fihi (2014: hal 45) pada bab matilah sebelum mati yang ditulis Muhammad Iqbal. Kepada Maulana Jalaluddin Rumi, Amir Barwanah berkata: “Sungguh hati dan jiwaku ini sangat ingin melayani Allah siang dan malam, akan tetapi karena kesibukanku dengan urusan-urusan Mongol, aku jadi tidak bisa mewujudkan keinginan untuk bersua dengan-Nya.”

Maulana Rumi menjawab: “Sesungguhnya yang kamu lakukan ini juga merupakan bentuk khidmat (melayani) Allah, karena yang kamu lakukan itu menjadi media untuk memberikan rasa aman dan perlindungan bagi para Muslim. Kamu telah mengorbankan jiwa, harta, dan ragamu untuk membuat mereka semua memperoleh ketenangan dalam melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah. Tentu saja hal ini juga merupakan amal yang baik”.

Artinya, bagi manusia yang mengenal “aku”, setiap tindakan dan perbuatannya akan berorientasi untuk melayani dan bersua dengan Allah. Dia akan memandang bahwa tidak akan ada sesuatu tindakan dan perbuatan yang sia-sia lagi percuma yang dia lakukan. Semuanya akan penuh diperhitungkan lalu dikerjakan dengan kesungguhan.

Walau dalam bentuk apa pun pekerjaan itu, dengan mengetahui kebenaran dan berbuat yang benar. Dia akan melakukannya dengan rasa senang dan penuh dengan kebahagiaan. Seberat apa pun yang dia lakukan, dia tidak mudah mengeluh juga tidak berputus asa dalam menghadapi segala sesuatu yang dibebankan kepadanya.

Semua itu tidak lain disebabkan kesadarannya, untuk menyempurnakan kemanusiaannya, melayani tuhannya. Juga sedang mencontohkan, sembari memberi kebaikan dan kemanfaatan bagi sesama dan lingkungannya.

Oleh : Muhammad Syarif (Aktivis PK IMM Tamaddun FAI UMM)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment