Soal Slogan “Yes” dan “No” yang Bukan Pada Tempatnya

slogan yes no

Modernis.co, Malang – Tempo lalu publik dikagetkan dengan kabar tak mengenakan yang terjadi di Yogyakarta. Yaitu seorang pembina pramuka yang mengajar di SD Negeri Timuran yang mengajak peserta didiknya melakukan yel-yel dengan nada yang tak enak “Islam yes, Kafir No”

Sontak yel-yel tersebut menjadi viral di sosial media. Pasalnya, ada salah satu wali murid yang terganggu mendengar yel-yel tersebut dinyanyikan oleh peserta didik. Kejadian ini sontak mengundang respon dari berbagai elemen, mulai dari pemerhati pendidikan, guru, tokoh agama dan pemerintah.

Seperti dilansir dalam Media Tempo, Mahfud MD selaku Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Kemanan (Menko Polhukam) mengungkapan bahwa slogan yang berbau SARA tersebut dapat mengganggu keutuhan bangsa, selain itu juga merendahkan keberagaman dan keberagamaan.

Tak hanya Mahfud MD, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Siti Ruhaini Dzuhayatin menyayangkan yel-yel tersebut diajarkan kepada anak-anak sekolah dasar. Ia menyarankan agar publik tidak tinggal diam agar slogan yang mengandung intoleransi seperti itu cepat direspon dan kembali kepada Yogya yang aman dan nyaman.

Selain itu, Tokoh Agama Mustofa Bisri atau yang kerap disapa dengan Gus Mus dalam dialog kebangsaan bertajuk “Merawat Persatuan Menghargai Keberagaman” di Universitas Islam Indonesia (UII) mengungkapkan bahwa yel-yel tersebut menyakitkan dan menyalahi Islam sebagai rahmatan lil alamin. Pengurus Pesantren Raudhatut Thalibin  ini juga menyesalkan bahwa orang yang mengajarkan yel-yel tersebut merupakan orang yang beragama.

Istilah “Yes” dan “No” dalam yel yel tersebut, mensiratkan suatu makna di mana adanya unsur kesetujuan (Agree) dan ketidaksetujuan (disagree) terhadap suatu hal .

Jika anda yang pernah belajar ke-Pramukaan, tentu mengenal Istilah Dasadarma pramuka. Jika saya tidak salah ada sepuluh nilai yang terkandung dalam Dasadarma. Nilai kedua pada Dasadarma tertulis akan pentingnya cinta alam dan kasih sayang terhadap manusia. Istliah Islam “Yes” Kafir “No” sudah barang tentu mensiratkan makna rasial dan bertentangan dengan nilai Dasadarma, kebinekaan, keberagaman Indonesia.

Ungkapan “Yes” dan “No” ini juga pernah dikemukakan oleh Cendikiawan Muslim Indonesia Nurcholis Madjid atau kerap di sapa Cak Nur pada tahun 1970-an dengan istilah Islam “Yes” Partai Islam “No”. Tak hanya Cak Nur, kader Intelektual Nahdhatul Ulama Nadrisyah Hosen yang juga pengajar di Monash University Australia pernah menulis buku yang juga menggunakan Istilah Islam “Yes” Khilafah “No” dalam judulnya.

Dua tokoh di atas, tentu menggunakan istilah “Yes” dan “No” dengan argumentasi yang kuat. Selain itu pula penggunaan istilah yang menyiratkan suatu pemahaman tentang kesetujuan (Agree) ketidaksetujuan (disagree) pada waktu, sasaran, dan tempat yang tepat. Bukan sekedar spontanitas apalagi karangan biasa.

Belakangan, Istilah ‘Kafir’ ini juga sempat menjadi polemik yang meramikan wacana publik. Pasalnya, pada Munas Nahdhatul Ulama yang diselenggarakan di Pesantren Miftahul Huda dalam Bahtsul Masail-nya menghasilkan gagasan progresif, yaitu mengganti kata non-muslim ‘Kafir’ dengan Istilah ‘Muwatinun’ yang artinya warga negara.

Kata tersebut, bukan untuk mengganti istilah ‘Kafir’ secara teologis, tetapi hanya dalam hubungan mua’malah (hubungan antara sesama manusia), Hasil Munas NU ini, dilatarbelakangi oleh kondisi keberagamaan umat Islam yang mencemaskan. Mudah mengkafir-kafirkan orang, mendiskriminasikan manusia serta berpegang pada kebenaran tunggal. Padahal di mata Tuhan, semua manusia itu sama kecuali ketaqwaannya.

Karena bagi sebagian kalangan non-muslim Istilah ‘Kafir’ ini sangat menyakitkan dan mengandung makna yang negatif. Misalnya kafir selalu diidentikan dengan neraka, dosa besar dan lain-lain. Sayangnya, gagasan ini banyak disalahfahami oleh sebagain kalangan umat Islam terutama para ustaz influencer Milenial.

Maka, peristiwa yang terjadi di Yogyakarta harus menjadi pelajaran penting, untuk tidak asal menggunakan istilah-istilah yang mengandung unsur SARA apalagi sampai merendahkan martabat manusia.

Eksklusifisme Beragama

Saya masih ingat sebuah artikel yang pernah ditulis oleh founder Jaringan Gusdurian Alissa Wahid (2019) dalam harian Kompas yang berjudul ‘Agamamu Apa?’. Ia mengutarakan ada tiga tipe ancaman terkait praktik beragama; ekstrimisme dengan kekerasan, ekstimisme tanpa kekerasan, eksklusifisme beragama.

Pada tipe yang ketiga, sering kali kita menemukan ekspresi keberagamaan yang tertutup, tak memiliki ruang agama lain hidup dalam lingkungannya, fanatisme terhadap ‘kebenaran tunggal’ serta sulit membuka diri untuk melihat jalan tengah dalam permasalahan agama. Aksin Wijaya (2017) menyebutnya sebagai ‘orang-orang yang tak mengenal jalan tengah keberagamaan’.

Ekspresi keberagamaan yang tertutup selalu melahirkan tindakan-tindakan intoleransi. Bisa jadi perstiwa yang berada di Yogyakarta merupakan dampak dari keberagmaan yang tertutup. Karena tindakan intoleransi selalu berkaitan dengan faktor ekternal, yaitu faktor lingkungan di mana ia hidup.

Menurut riset Maarif Institute pada tahun 2011, seperti ditulis oleh Fanani (2013) yang mengambil sempel terhadap SMU Negeri di 4 daerah (Pandeglang, Cianjur, Yogyakarta dan Solo) mengkonfirmasi bahwa sekolah membuka ruang bagi masuknya paham apa saja.

Sekolah juga dianggap tampat paling pas untuk melakukan doktrinasi paham-paham tertentu, karena siswa atau mahasiswa pada masa tersebut mengalami apa yang disebut Erik. H Erikson sebagai ‘krisis identitas’ diri (Fanani: 2013: 27).  

Riset di atas membuka kesadaran kita untuk pentingnya memahami pluralitas keberagamaan sebagai sebuah keniscayaan. Al Qur’an menggambarkan secara gamblang dan jelas bahwa pluralitas itu diajarkan dalam Islam pada surat Al-Hujurat: 13. Jika ada yang merendahkan martabat kemanuisaan, maka pada dasarnya Ia juga sudah merendahkan martabat ajaran Islam itu sendir.

*Oleh: Baiturrahman (Pegiat Literasi di Malang)

editor
editor

salam hangat

Leave a Comment