Kontra Narasi Atas Kebencian di Jagat Sosial Media

sosial media

Modernis.co, Malang – Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Malang Raya beberapa waktu lalu menyelenggarakan Darul Arqam Madya (DAM) Nasional pada 13-18 Desember 2019. Pada gelaran DAM tersebut IMM Malang Raya mengangkat tema “Reposisi Gerakan IMM: Membangun Kesadaran Kritis dalam Rangka Kontra-Narasi Kebencian dan Ketidakadilan”.

Tentunya tema tersebut berangkat dari kegelisahan akademik melihat wajah sosial media hari ini yang seringkali dimanfaatkan untuk membuat narasi yang bermuatan negatif seperti ujaran kebencian (hate speech), penyebaran hoaks dan berita palsu (fake news). Berkaitan dengan tema tersebut, berikut ini akan coba penulis ulas secara singkat.

Kebangkitan Pers dan Munculnya Raja-Raja Media

Jika merujuk pada catatan sejarah, sejak era orde baru digantikan oleh era reformasi memang media seakan-akan mendapat angin segar untuk menampilkan taringnya dijagat publik. Kebebasan pers setelah itu mendapat legitimasi secara normatif dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Namun bukan berarti media secara penuh mampu menjadi alat kontrol pemerintah, justru sejak era reformasi sampai saat ini hal tersebut mendorong munculnya raja-raja media baru atau disebut sebagai kaum oligarki dalam jagat media.

Sejak era reformasi sampai saat ini kemudian menjadikan para penguasa media banyak yang terjun ke dalam dunia politik praktis. Justru dengan masuknya mereka ke dunia politik, keuntungan yang mereka dapat semakin melambung tinggi.

Sehingga wajar apabila wajah pers di negeri ini seringkali berubah-ubah sesuai kepentingan politik dari pemilik media yang bersangkutan. Berita yang disuguhkan hanya untuk mempopulerkan tokoh pemilik media yang bersangkutan. Secara tidak sadar, masyarakat akan menjadi korban politik bagi kaum oligarki ini.

Memasuki era revolusi industri 4.0 tentunya menjadi arus utama munculnya media-media baru. Hal ini disebabkan penetrasi pengguna internet yang begitu melonjak drastis di tanah air. Kehadiran internet seolah-olah telah mendistrubsi media-media lama seperti radio,televisi,surat kabar,dan lain sebagainya.

Menjamurnya internet justru menjadi lahan akselerasi baru bagi para konglomerasi media. Mereka tetap melancarkan kepentingannya dengan cara beralih ke media-media online. Hal tersebut dipilih lantaran media online dinilai lebih mudah dan cepat untuk menyebarkan informasi kepada khalayak publik.

Ross Tapsell dalam bukunya, Kuasa Media di Indonesia (2017) menyebut ada tiga keuntungan bagi kaum oligarki di era media digital. Pertama, media digital dapat berpotensi menjadi wadah untuk melegitimasi kekuasaanya. Kedua, para elite yang memegang kuasa media justru akan semakin kaya dan semakin kuat pengaruhnya secara politik. Ketiga, media digital lebih menggiurkan untuk mengeruk modal dan jaringan bisnis lainnya.

Mewaspadai Hoax

Memasuki era digital saat ini, setiap orang harus tetap waspada dan berhati-hati dalam memilah dan memilih informasi. Sebab, seringkali ada oknum yang memanfaatkan kemudahan era ini dengan menyebarkan informasi palsu melalui berbagai kanal media yang ada. Motifnya cukup beragam, namun kebanyakan hoaks yang beredar berkaitan dengan isu politik.  

Menurut Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), hoaks mulai menyebar di Indonesia yakni tepat pada saat momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2012 silam. Bahkan hoaks semakin massif ketika memasuki Pemilihan Presiden (2014), baik melalui ranah daring maupun laring.

Jika kita lihat, hoaks di ranah daring menyebar melalui berbagai media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram dan lain sebagainya. Sedangkan, di ranah luring, hoaks disebarkan melalui pamflet, brosur, dan lain sebagainya.

Survei yang dilakukan Daily Sosial (2018) terhadap 2032 pengguna internet (warganet) di Indonesia menunjukkan bahwa 81.25% responden menerima hoaks melalui Facebook, sekitar 56.55% melalui WhatsApp, sebanyak 29.48% melalui Instagram, dan tak kurang dari 32,97% responden menerima hoaks di Telegram.

Banyaknya penyebaran hoaks melalui Facebook, WhatsApp, dan Instagram, hal ini lantaran tiga sosial media ini yang paling digandrungi oleh para netizen di Indonesia.

Selain itu jika kita melihat Data Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada bulan Januari 2017 menunjukkan bahwa jenis hoaks di media sosial yang diterima oleh 1.116 respondennya didominasi isu politik dan pemerintahan (91.80%) dan SARA (88.60%).

Data Mastel di atas juga diperkuat oleh Mafindo yang menyoroti hingga bulan Desember 2018, frekuensi hoaks terkait isu politik menempati peringkat pertama (40.90%) sedangkan frekuensi hoaks yang bermuatan isu SARA menempati posisi kedua (17%).

Jika kita amati data-data di atas, dapat disimpulkan bahwa berita hoaks lebih banyak diproduksi sebagai motif politik yang dikaitkan dengan isu SARA. Bahkan seringkali para politisi menggunakan isu SARA sebagai motif kepentingan politiknya dengan cara merekayasa kebencian (hate spin).

Fenomena tersebut tentunya harus kita perhatikan secara serius, sebab dikhawatirkan hal itu dapat menimbulkan konflik sektarian. Terlebih jika sudah menyentuh ketersinggungan terhadap suku,agama,ras individu maupun kelompok.

Membangun Narasi Alternatif

Media sosial merupakan panggung kebebasan seseorang untuk berekpresi, membuat narasi dan alat mewujudkan demokrasi. Oleh sebab itu panggung tersebut tidak boleh hanya sekadar diikuti apalagi dijadikan alat produksi narasi kebencian. Sikap kritis menjadi dasar utama dan harus diutamakan bagi para netizen untuk menyaring berita-berita yang sifatnya kontra-produktif.

Sebagai masyarakat yang hidup di era digital ini, sudah sepatutnya bagi kita untuk mengubah narasi-narasi negatif tersebut menjadi narasi yang positif atau yang akrab disebut sebagai counter narasi.

Kuota internet yang kita gunakan sehari-hari, ibarat mata uang yang dapat kita belanjakan untuk hal kebaikan atau keburukan. Panggung sosial media seperti Facebook,Youtube,Whatsapp,Instagram,Twitter hendaknya dapat kita manfaatkan sebagai sarana untuk mengedukasi dan berbagi  inspirasi.

Laman media online yang ada tentunya harus kita isi dengan narasi-narasi yang positif. Berita palsu dapat kita lawan dengan berita yang benar, narasi kebencian harus kita lawan dengan narasi perdamaian. Sehingga melalui kontra narasi yang kita buat dapat menjadi alat penyeimbang di tengah maraknya hoaks yang mengarungi jagat sosial media.

* Oleh : M. Ibnu Rizal (Ketua Bidang Organisasi PC IMM Malang Raya)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment