Modernis.co, Malang – Belakangan ini fyp media sosial dipenuhi dengan potongan video asli maupun parodi dari sebuah drakor berjudul S-Line yang tayang perdana di Indonesia lewat aplikasi Video, mulai Jumat, 25 Juli 2025. Meski sebenarnya sudah bisa ditonton lewat aplikasi seperti Wavve Korea sejak 11 Juli lalu.
Drakor yang dikemas dalam bentuk serial ini sudah menayangkan sejumlah episode menarik dan penuh makna. Banyak persoalan kehidupan yang terjadi di dalam satu garis besar yang coba ditampilkan oleh sutradara. Menonton S-Line awalnya terasa seperti drama korea biasa, namun jika dipikirkan ulang, apakah itu sindiran bagi kita, bahwa manusia mudah terjerumus dalam lingkaran dosa.
Secara garis besar, S-Line mengisahkan manusia pilihan yang diberi kemampuan untuk melihat aib manusia yang lain secara kasat mata. Mereka “manusia pilihan” secara khusus mampu melihat garis-garis merah yang menunjukkan seberapa banyak seseorang telah berhubungan intim dengan lawan jenisnya secara tidak sah.
Garis-garis merah itu berada di atas kepala masing-masing manusia. Menghubungkan antara sepasang laki-laki dan perempaun yang melakukan “aib” bersama. Membuka tabir pergaulan bebas, perselingkuhan, dan hubungan tidak pantas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.
Dari itu terlihat bahwa manusia sangat lemah dalam mengatur syahwat, hawa nafsunya. Manusia mudah terjerumus dalam kesenangan-kesenangan sesaat untuk melampiaskan keinginannya. Mudah belok jalannya!
Membuka Realita Sosial
Drama Korea S-Line mungkin fiksi, tapi fenomena yang digambarkannya bak cermin yang menyorot tajam realitas di sekitar kita. Drakor ini berhasil membuka mata kita untuk melihat sebuah kebenaran pahit, yaitu pergaulan bebas, khususnya di kalangan remaja, kini semakin marak dan, yang lebih mengkhawatirkan, mulai dianggap sebagai hal yang wajar.
Dilansir dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan Kementerian Kesehatan pada tahun 2017, ditemukan fakta yang sangat mencengangkan.
Terdapat sekitar 1,2% remaja perempuan dan 6,1% remaja laki-laki usia 15-24 tahun pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Sekitar 7% dari semua kelahiran di Indonesia adalah dari ibu remaja usia 15-19 tahun. Pada tahun 2018 angka KTD (kehamilan tidak diinginkan) pada remaja usia 15-19 tahun di Indonesia mencapai sekitar 48 per 1.000 wanita.
Dampaknya sangat merugikan, dari segi kesehatan mereka berpotensi lebih besar terjangkit gangguan kesehatan menular seperti HIV. Pada tahun 2020 memperkirakan bahwa sekitar 27% dari total kasus baru HIV di Indonesia terjadi pada kelompok usia 15-24 tahun. Lebih parahnya, hanya sekitar 53% remaja perempuan dan 60% remaja laki-laki usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang pencegahan HIV.
Dalam S-Line, konsep “garis tak terlihat” yang menghubungkan setiap individu dengan orang yang pernah tidur dengannya memang hiperbolis. Namun, esensi dari garis tersebut yaitu konsekuensi dari setiap interaksi seksual adalah sesuatu yang sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ia seolah mengingatkan kita bahwa setiap tindakan memiliki jejak, meskipun tak kasat mata.
Ditutupnya Aib Manusia
Dalam sehari, renungkan lebih dalam hari ini berapa banyak kesalahan yang kita perbuatan, terlepas dari sengaja atau tidak, besar maupun kecil. Dan ketika dosa-dosa itu semakin menumpuk. Namun manusia masih selamat sebab dosa miliknya bersifat ghaib, tidak terlihat, berwarna, ataupun berbau. Seperti yang digambarkan pada S-Line.
Hanya dalam satu jenis kemaksiatan, dosa yang dimanifestasikan dalam garis-garis merah panjang dapat membuat seseorang syarat akan simbol seberapa banyak dosanya. Apalagi ketika semua jenis perbuatan dosa, diberi warna, bau, atau disimbolkan dengan tanda pada tubuh manusia dan dapat dilihat orang lain. Maka tidak bisa dibayangkan bagaimana manusia akan saling menatap hina satu sama lain.
Namun bagaimana apabila aib atau dosa dapat terlihat kasat mata, akan tetapi manusia justru mulai terbiasa dengan dosa-dosa yang dilakukan oleh satu sama lain? Mungkinkah itu terjadi?
Dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Ramadan Lubis (2018) terbit di Jurnal Biolokus UIN Sumatera Utara, disebutkan bahwa terdapat golongan manusia yang pada akhirnya akan acuh dengan dosa. Bahkan bangga pada maksiat yang dilakukannya, tidak peduli dengan pandangan manusia yang lain.
Seseorang yang acuh dan berbangga pada dosa yang dilakukannya, bagi muslim ini telah dijawab sepenuhnya dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 188, Allah Swt. berfirman :
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَفْرَحُوْنَ بِمَآ اَتَوْا وَّيُحِبُّوْنَ اَنْ يُّحْمَدُوْا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوْا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
“Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa (perbuatan buruk) yang telah mereka kerjakan dan suka dipuji atas perbuatan (yang mereka anggap baik) yang tidak mereka lakukan, kamu jangan sekali-kali mengira bahwa mereka akan lolos dari azab. Mereka akan mendapat azab yang sangat pedih.”
Serta pada Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang menyebutkan “Semua umatku dimaafkan, kecuali orang-orang yang melakukan dosa dengan terang-terangnan. Dan sesungguhnya termasuk melakukan dosa dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu dosa di waktu malam hari, kemudian ketika pagi dia berkata (kepada orang lain).”
Kedua nash ini menyimpulkan bahwa dosa yang dilakukan secara terang-terangan, apalagi dibanggakan, adalah dosa yang paling sulit diampuni dan mendatangkan azab yang sangat pedih. Ini bukan hanya tentang perbuatan dosanya, tapi juga tentang sikap hati yang angkuh dan acuh tak acuh terhadap perintah Allah, serta merendahkan nilai-nilai kebaikan dan kesucian. Ini adalah cerminan dari kesesatan hati yang telah menganggap remeh kemaksiatan.
Sadar dan Mulai Berbenah
S-Line bukan sekadar tontonan hiburan, melainkan sebuah teguran keras. Memaksa kita untuk melihat bahwa masalah pergaulan bebas ini bukan hanya isu moral semata, melainkan krisis sosial-keagamaan yang mendesak. Sudah saatnya kita tidak lagi menutup mata, melainkan bertindak. Menghentikan normalisasi ini adalah langkah awal.
Edukasi yang komprehensif, peran aktif keluarga dan lingkungan, serta kesadaran kolektif adalah kunci untuk mengembalikan pergaulan pada jalur yang semestinya, demi masa depan anak dan remaja Indonesia yang lebih sehat dan bermartabat. Setiap pribadi perlu menumbuhkan kepercayaan bahwa harga diri dan rasa malu harus dijunjung tinggi.
Bagaimanapun perbuatan yang menentang agama adalah sebuah dosa. Baik itu pergaulan bebas atau tindakan yang melanggar ajaran Islam yang lain. Meskipun jika dosa itu tidak terlihat dari tanda-tanda di tubuh manusia, harus tetap dihindari. Jangan sampai seseorang justru menganggap perbuatan dosa adalah hal yang wajar atau bahkan justru membanggakannya.
Maka yang harus segera dilakukan ketika menyadari dosa-dosa adalah mengakuinya dan memohon ampunan serta bertaubat dengan sebenar-benarnya. Manusia memang tidak pernah lepas dari dosa, akan tetapi Allah Swt. selalu mengampuni hamba-Nya. Tidak ada yang terlambat untuk berbenah, namun juga tidak bisa sengaja telat. Karena Dia punya perhitunganNya.
Penulis : Imam Fahrudin – Guru MI Muhammadiyah Manarul islam, Kota Malang