Peningkatan Kesejahteraan Petani Melalui Pengawasan Mutu dan Pangan Hasil Panen

kesejahteraan petani

Modernis.co, Jakarta – Sektor pertanian merupakan sesktor yang sangat penting peranannya dalam perekonomian di sebagian negara-negara yang sedang berkembang. Hal tersebut dapat dilihat jelas dari peranan sektor pertanian dalam menampung penduduk serta memberikan kesempatan kerja kepada penduduk, bertujuan untuk mengkaji peningkatan kesejahteraan petani melalui pengawasan mutu dan inovasi pangan hasil panen yang telah diterapkan di lokasi studi.

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengidentifikasi dampak, manfaat serta inovasi teknologi dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Peran Dinas Pertanian dalam meningkatkan kesejahteraan petani sangat berperan penting bagi kesejahteraan masayarakat khususnya petani. Diharapkan dapat menjadi sistem usaha pertanian inovatif memiliki tingkat ketahanan pangan yang lebih baik dibandingkan dengan petani yang tidak menerapkan inovasi teknologi berbasis sistem usaha pertanian inovatif.

Hal ini bertujuan untuk menjamin produk pangan segar (Pangan Segar Asal Tumbuhan, Pangan Segar Asal hewan, dan Pangan segar komoditas Perikanan) yang beredar bebas dari cemaran/residu bahan berbahaya dan aman dikonsumsi karena pentingnya masyarakat untuk menkonsumsi pangan yang Beragam Bergizi seimbang dan Aman (B2SA).

Pertanian Indonesia merupakan pertanian tropika karna sebagian besar daerahnya berada di daerah tropis yang langsung dipengaruhi oleh garis khatulistiwa, yang memotong Indonesia hampir menjadi dua. Indonesia masih merupakan negara yang memegang peranan penting bagi keseluruhan perekonomian nasional.

Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting peranannya dalam perekonomian di sebagian negara-negara yang sedang berkembang. Hal tersebut bisa kita lihat jelas dari peranan sektor pertanian dalam menampung penduduk serta memberikan kesempatan kerja kepada penduduk. Pembangunan pertanian perlu mendapat perhatian yang lebih baik, sekalipun prioritas pada kebijaksanaan industrialisasi sudah dijatuhkan, namun sektor pertanian dapat memiliki kemampuan untuk menghasilkan surplus.

Hal ini terjadi apabila produktivitas diperbesar sehingga menghasilkan pendapatan petani yang lebih tinggi dan memungkinkan untuk menabung dan mengakumulasikan modal. Peningkatan taraf hidup tersebut diperoleh petani dengan cara meningkatkan pendapatannya. Pertanian di Indonesia hingga saat ini masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal jika dilihat dari kesejahteraan para petani dan pendapatan Nasional yang dihasilkan dari sektor ini.

Secara global, peran pertanian mendapat tekanan besar karena tuntutan menyediakan kebutuhan pangan bagi populasi yang terus bertambah. Oleh sebab itu, peranan pertanian dan industri manufaktur menentukan kekuatan suatu Negara. sehingga sistem manajemen bisnis pertanian harus mendapat prioritas. Contoh manajemen strategis secara kooperatif yaitu bagaimana sebuah perusahaan pemasaran buah, Ocean Spray Cranberries, dibangun dengan kemitraan bersama komunitas petani buah lokal.

Perusahaan ini berhasil memasarkan buah hasil produksi para petani lokal dari yang sebelumnya hanya mampu menjual satu juta dollar pada tahun 1930, kemudian mampu menembus pasar nasional dengan penjualan 500 juta dollar pada tahun 1985. Untuk memenangkan pasar diperlukan keunggulan bersaing, memberikan nilai lebih pada produk pertanian, biaya produksi rendah, focus pada strategi keberhasilan, kemampuan bertahan pada kondisi buruk.

Pertanian juga menghadapi risiko ketidak-pastian kompetisi sumber daya alam, kelestarian alam, ketidak-pastian demand industri, sehingga membentuk kondisi keseimbangan dinamis. Produk pertanian pada akhirnya menjadi barang konsumsi dan melalui lintasan pengepul, industri, distributor, pengecer. Keberagaman kualitas produk pertanian yang menjadi bahan baku industri, dan karakteristik pembelian konsumen menjadi faktor penting dalam persaingan industri.

Keterkaitan faktor keberagaman kualitas bahan baku, dan karakteristik pembelian konsumen yang menjadi factor penting dalam persaingan industri mampu ditransformasikan menjadi strategi CSR (Corporate Social Responsibility) oleh (McWilliams & Siegel, 2001:120).

McWilliams & Siegel (2001:120), memberikan contoh bagaimana McDonald’s bermitra dengan petani untuk memasok bahan makanan bermutu sekaligus menjadikan kemitraan ini sebagai media periklanan yang menunjukan penjaminan kualitas produk yang dilakukan McDonald’s.McWilliams & Siegel (2001:120), juga mengidentifikasi peluang CSR sebagai strategi diferensiasi perusahaan. Ada beberapa strategi diferensiasi dengan melakukan inovasi nilai baru bagi pertanian adalah mengembangkan pertanian sebagai agriwisata.

Selain permasalahan global tersebut, pertanian di Indonesia dihadapkan pada rendahnya tingkat kesejahteraan petani, masalah pemodalan, akses ke lembaga pembiayaan, akses pasar, daya saing, kekuatan hukum dan sosial, kelestarian lingkungan menyarankan sinergi kemampuan internal dengan peran pemerintah untuk meningkatkan daya saing. Pemerintah dalam hal ini juga sebagai stakeholder pertanian Indonesia bersama industri, pedagang, koperasi, asosiasi, kelompok tani, dan lembaga keuangan. Peningkatan kesejahteraan petani juga menjadi target sasaran yang hendak dicapai oleh Kementerian Pertanian tahun 2014.

Kesejahteraan Petani

Semakin besarnya suatu pembangunan pertanian di masa yang akan datang, terutama didalam mencapai yang namanya kesejahteraan petani, maka didalam kelembagaan kelompok tani yang diseluruh pedesaan Indonesia ini harus dibenahi dan diberdayakan, sehingga menjadi berdaya dalam kehidupan usaha taninya. Agar mencapai hal keberdayaan tersebut, maka program pemberdayaan yang dilakukan harus bisa meningkatkan suatu kemampuan kelompok tani dalam hal memahami kekuataan dan potensi dan kelemahan kelompok, memperhitungkan peluang dan tantangan yang dihadapi, memilih alternatif yang ada dalam menyelesaikan masalah, dan menyelenggarakan suatu kehidupan berkelompok dan bermasyarakat yang serasi dengan lingkungannya.

Sejak tahun 1970-an ada dua perkembangan yang menjadi perhatian dan pokok pengamatan peneliti-peneliti daerah pedesaan, yaitu dampak program intensifikasi pertanian pangan dan meningkatnya kepadatan penduduk maupun kepadatan pertanian. Walaupun, di satu pihak produksi padi meningkat, areal pertanian secara menyeluruh juga menyempit, sehingga kelebihan buruh tani yang tidak tersalurkan ke sector lain kedudukannya semakin lemah. (Sediono M.P. Tjondronegoro, 1987).

Sebenarnya negara-negara lain telah mendahului Indonesia memasuki era intensifikasi pertanian pangan atau sering diistilahkan “Revolusi Hijau”, telah menunjukkan pula gejala bertambah kuatnya kedudukan petani kaya di pasaran baik komoditi maupun tenaga kerja, timbulnya akumulasi tanah di lapisan ekonomi kuat dan penerimaan teknologi maju lebih cepat oleh mereka.

Sebaliknya di lapangan petani kecil justru terjadi proses pemelaratan, antara lain karena menjual tanah garapan yang sudah sempit, dan menjual tenaganya dengan persyaratan yang semakin berat. Kedua proses yang bertolak belakang sudah agak lama diamati beberapa peneliti di Indonesia. Akan tetapi, menarik kesimpulan secara tuntas memang belum terjadi. Mengapa? Barangkali oleh karena proses-proses individualisasi dan komersialisasi di daerah pedesaan akibat “Revolusi Hijau” di bidang pertanian, ternyata dari beberapa studi lain tidak berlangsung secept yang diduga. Proses perenggangan dan pertentangan antarlapisan sosial di daerah pedesaan atau polarisasi agaknya tidak terjadi serentak di mana-mana.

Indonesia saat ini mengalami krisis lahan pangan. Hal ini akibat alih fungsi lahan pertanian ke non- pertanian, serta alih fungsi lahan dari yang semula ditanami padi ke nonpangan. BPS menghitung luas lahan baku pangan 2002 seluas 7,75 juta hektar. Menggunakan laju konversi lahan 110.000 hektar per tahun, dalam waktu sembilan tahun lahan baku tinggal 6,76 juta hektar (Kompas, 3/11/2011). Mengacu data BPS, dalam kondisi iklim basah di saat hujan terus turun, luas pertanaman padi hanya 6,2 juta hektar. Apabila dalam setahun lahan

itu ditanami dua kali, luas tanam hanya 12,4 juta hektar. Padahal, indeks pertanaman padi 2011 kurang dari dua. Alih fungsi lahan 110.000 hektar belum menghitung luas alih fungsi tanaman yang mencapai 74.000 hektar. Dengan kata lain, setiap tahun ada petani yang beralih menanam padi ke tanaman nonpaid, seperti holtikutura, tebu, karet dan kelapa sawit.

Satu konsep yang sangat pokok dalam Sosiologi Pedesaan adalah desa. Sekalipun desa dalam pengertian yang sangat umum merupakan cerminan dari kehidupan yang bersahaja, yang belum maju, namun untuk memahaminya tidaklah sederhana. Pengertian desa secara umum lebih sering dikaitkan dengan pertanian.( Egon E. Bergel 1955:12), misalnya, mendefinisikan desa sebagai “setiap pemukiman para petani (peasants).

Suatu definisi yang dikemukakan oleh Paul H. Landis, seorang sarjana Sosiologi Pedesaan Amerika Serikat, sebagimana dikutip Rahardjo (1999:220), dapat dikatakan cukup mewakili pendefinisian desa umumnya. Maka hal ini perlu sikap yang kritis untuk menentukannya. Tetapi, ada kecenderungan definisi ke tiga nampaknya merupakan definisi yang lebih tepat untuk diterapkan secara umum, baik di negara yang belum maju maupun yang sudah maju, karena untuk tingkat perkembangan masyarakat apapun atau di manapun desa selalu berfungsi sebagai penghasil pangan dengan lain perkataan, sejauh ini pertanian (untuk pangan) selalu masih berada di desa, dan oleh karena itu pertanian dan desa masih merupakan dua gejala yang belum dapat dipisahkan.

Kalaupun ada orang- orang kota yang Bertani (gentlemen farmers) seperti misalnya yang terlihat di Amerika Serikat, mereka melakukan aktivitasnya di daerah pedesaan (Rahardjo, 1999). Kelemahan definisi ini merupakan tidak memperhitungkan atau mencakup desa-desa non-pertanian. Negara-negara maju telah banyak desa-desa yang jumlah petaninya telah menjadi minoritas. Adapun dengan kata lain, telah banyak desa- desa non-pertanian, dalam mana penduduknya bekerja di luar sektor pertanian, sehingga kehidupan masyarakatnya tidak lagi merupakan representasi masyarakat petani.

Penerapan Pemanfaatan Pengawasan Mutu dan Inovasi Pangan bagi Petani

Indonesia merupakan negara dengan populasi tertinggi ke empat di dunia, Indonesia merupakan pasar yang besar bagi  konsumen pangan. Ketersediaan pangan atau supply meningkat seiring dengan meningkatnya demand kebutuhan sandang papan dan pangan. Keamanan pangan merupakan salah satu isu sentral yang berkembang di masyarakat, baik karena masih banyaknya kasus- kasus keracunan bahan pangan maupun semakin meningkatnya kesadaran dan tuntutan masyarakat terhadap makanan yang sehat, halal dan aman dikonsumsi.

Menyikapi hal tersebut, pemerintah melalui Undang-undang Pangan No. 18 Tahun 2012 di mana pada salah satu pasalnya mengatur tentang keamanan pangan. Keamanan pangan diselenggarakan untuk menjaga pangan tetap aman, higienis, bermutu dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat. Keamanan pangan juga dimaksudkan untuk mencegah cemaran biologis dan kimia yang dapat membahayakan kesehatan manusia. (Leny at al.2021).

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004, mendefinisikan Pangan Segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan, yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan pangan, atau pangan yang mengalami pengolahan minimal meliputi pencucian, pengupasan, pengeringan, penggilingan, pemotongan, penggaraman, pembekuan, pencampuran, dan blansir dan tanpa penambahan Bahan Tambahan Pangan (BTP) kecuali pelilinan. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa   bahan tambahan. (Yenita.2022).

Hal yang perlu diketahui oleh masyarakat selaku konsumen adalah bahwa setiap bahan pangan baik segar maupun olahan, pada dasarnya sangat memungkinkan mengandung residu bahan kimia yang dilarang dan sangat membahayakan kesehatan manusia. Penggunaan pestisida seperti insektisida, fungisida, bakterisida, nematisida dan rodentisida yang berlebihan berdampak terhadap Kesehatan.

Upaya mengatasi dan mencegah dampak penggunaan bahan kimia terhadap pangan segar dan olahan dilakukan pengawasan keamanan pangan oleh personel kompeten sebagai petugas keamanan pangan segar, pengawas mutu hasil pertanian (PMHP) serta instansi terkait mutu dan keamanan pangan melalui Tim Jejaring Keamanan Pangan Daerah (JKPD). (Desi Natasya.2019)

Sarana penunjang dalam pelaksanaan pengawasan keamanan pangan adalah Food Safety Rapid Test Kit. Jenis uji ini merupakan uji cepat yang efektif untuk mengetahui ada tidaknya kandungan bahan kimia berbahaya yang terdapat pada pangan secara kualitatif. Jika hasilnya positif, selanjutnya dapat diuji secara kuantitatif di laboratorium untuk mengetahui kadar residu bahan kimia tersebut.

Dampak Peningkatan Kesejahteraan Petani melalui Pengawasan Mutu dan Inovasi Pangan

Pengawasan mutu dan keamanan Pangan merupakan kegiatan rutin dari Seksi Pengawasan Mutu Pangan Dinas pertanian dan Pangan. Hal ini bertujuan untuk menjamin produk pangan segar (Pangan Segar Asal Tumbuhan, Pangan Segar Asal hewan, dan Pangan segar komoditas Perikanan) yang beredar bebas dari cemaran atau residu bahan berbahaya dan aman dikonsumsi karena pentingnya masyarakat untuk menkonsumsi pangan yang Beragam Bergizi seimbang dan Aman(B2SA).

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk hidup. Seperti yang diamanatkan dalam PP nomor 86 tahun 2019 tentang kemanan pangan bahwa diperlukan upaya dan kondisi untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan fisik yang merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Cemaran biologis merupakan cemaran pada pangan segar yang berasal dari bakteri sebagai contoh cemaran bakteri Escherichia coli (E.coli) pada jamur ennoki impor dari Korea Selatan pada tahun 2020.

Cemaran kimia juga masih banyak ditemukan pada produk pangan segar yang beredar di Indonesia, salah satunya dalah cemaran residu pestisida pada produk buah dan sayur. Terdapat juga contoh kasus cabai rawit yang diberikan pewarna merah (pewarna non pangan) untuk mendapatkan harga jual cabai yang tinggi. Cemaran fisik contohnya seperti tanah, karet, plastik, rambut dan kerikil. Berbagai macam ceraman tersebut diatas dapat menyebabkan gangguan kesehatan dengan gejala langsung maupun gejala yang akan dirasakan beberapa waktu kemudian. oleh karena itu perlu kesadaran dan kerjasama dari berbagai pihak untuk menjaga rantai kemanan pangan mulai dari tingkat produksi (petani), penanganan distribusi, retail hingga sampai ke tangan konsumen.

Pangan Asal Hewan (PAH) memiliki gizi tinggi (tinggi kandungan protein) yang merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme sehingga menyebabkan pangan asal hewan cepat busuk dan berpotensi menimbulkan bahaya (hazard). Berbagai bahaya dalam pangan asal hewan yaitu biologis, kimia dan fisik. Oleh karena itu, perlu dilakukan penanganan produk supaya produk pangan asal hewan sampai ke tangan konsumen masih dalam kondisi baik dan layak konsumsi sesuai dengan kriteria Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH). (Leny et al. 2021:3)

Aman untuk dikonsumsi artinya daging tidak mengandung bibit penyakit, racun dan bahan berbahaya yang dapat mengganggu kesehatan konsumen. Sehat maksudnya adalah mengandung zat yang berguna bagi tubuh, bergizi dan tidak kotor, tidak menjijikkan, tidak berubah warna. Utuh diartikan tidak tercampur dengan bahan lain, tidak ditambah atau dikurangi sesuatu-pun. sedangkan untuk Halal artinya disembelih dan diproses sesuai dengan syariat Islam.

Oleh karena itu, dengan adanya kegiatan pengawasan mutu dan inovasi pangan ini diharapkan para anggota kelompok tani yang dalam rantai keamanan pangan berkedudukan sebagai produsen atau memproduksi pangan segar lebih mempunyai kesadaran dan tanggung jawab dalam menjaga mutu atau kualitas produk pangan yang dihasilkan. Sehingga kedepannya dapat menjaga rantai keamanan pangan selanjutnya hingga ke tangan konsumen.

Inovasi Teknologi Kunci Peningkatan Kesejahteraan Petani

Aspek     sumber daya, kebudayaan (kebiasaan), teknologi dan kelembagaan merupakan unsur- unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya untuk menerapkan suatu inovasi. Kebudayaan dan kelembagaan merupakan unsur sosial, sedangkan teknologi merupakan unsur teknis yang tidak dapat dilepaskan dari unsur ekonomi. Ketiga unsur tersebut (sosial-teknologi-ekonomi) saling berinteraksi dalam kerangka sistem inovasi, yang akan saling mempengaruhi satu sama lain sehingga merupakan unsur utama untuk menumbuhkan kemandirian petani. (Setiawan, 2012; Heryanto, 2012).

Peningkatan produksi pertanian dapat ditempuh melalui penerapan inovasi teknologi dengan pengembangan pola bertani yang didasarkan atas sistem pertanian berkelanjutan. Adapun strategi umum dalam merancang bangun SUP Inovatif adalah Menerapkan teknologi inovatif tepat guna secara partisipatif, Membangun percontohan pembangunan pertanian LSO berbasis teknologi inovatif yang mengintegrasikan sistem inovasi dan kelembagaan dengan sistem agribisnis, Mendorong proses difusi dan replikasi model sistem usaha pertanian inovatif melalui ekspose dan demonstrasi lapang, sistem informasi, advokasi fasilitasi dan Mengembangkan agroindustri pedesaan berdasarkan karakteristik wilayah LSO dan kondisi sosial ekonomi setempat.

Komponen dan paket teknologi inovatif pada masing- masing komoditas berdasarkan teknologi rekomendasi dari Balai Penelitian Sayuran. Teknologi inovatif tersebut mencakup pengolahan tanah, pemupukan, perlakuan benih, penanaman, pengairan   (irigasi tetes), pemeliharaan  mencakup pengendalian hama dan penyakit serta gulma dan panen, dan kelembagaan petani. Pengairan menggunakan teknik irigasi tetes memberikan hasil terbaik. Hasil kajian memperlihatkan bahwa dengan menggunakan teknologi irigasi tetes lebih baik, baik dari segi efisiensi penggunaan air maupun dari aspek agronomisnya. (Yusron et al. 2020:12).

Proses adopsi inovasi pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku, pola piker pada diri seseorang sehingga mampu mengambil keputusan sendiri setelah menerima pesan yang disampaikan oleh penyuluh kepada dirinya. Penerimaan disini mengandung arti tidak sekedar tahu, tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. (Sulisworo, 2010). Perubahan sikap, pengetahuan, dan perilaku menjadi awal perbaikan pengelolaan usaha tani. Hal ini diharapkan dapat mendorong efektivitas dan efisiensi adopsi teknologi sehingga dapat meningkatkan produktivitas usaha tani. (Hendayana, 2016:279).

Keputusan petani untuk menerapkan teknologi, terutama ditentukan oleh faktor internal dalam diri petani, antara lain sikap dan tujuannya dalam melakukan usaha tani. Sikap petani dalam hal ini sangat tergantung dari karakteristik petani itu sendiri yang meliputi karakteristik sosial ekonomi, karakteristik kepribadian, dan karakteristik       komunikasinya. Sementara itu, tujuan petani dalam melakukan usaha taninya selain untuk meningkatkan pendapatan, ada juga yang hanya sekedar mencukupi kebutuhannya (subsisten). Rendahnya tingkat adopsi teknologi petani dipengaruhi banyak faktor, antara lain masalah modal, harga input, dan harga output. (Sugandi dan Astuti, 2012:177).

Penerapan inovasi di wilayah pedesaan Indonesia sangat berhubungan erat dengan aspek penyuluhan. Penyuluh lapang memiliki peran penting dalam memperkenalkan inovasi teknologi pertanian kepada petani, yang pada dasarnya tidak hanya sekedar memperkenalkan teknologi kepada petani, melainkan meningkatkan kapasitas petani agar mampu secara mandiri dalam menjalankan usahanya. (Fatchiya et al. 2016:192).

Penyuluh pertanian dapat berperan sebagai fasilitator dalam membangun hubungan atau keterkaitan antara petani dan pelaku agribisnis lainnya. Mamat et al. (2020:1114) menyatakan bahwa dampak awal dari inovasi teknologi adalah terkait dengan kebijakan stakeholders khususnya pemerintah daerah yang mengaplikasikan beberapa teknologi hasil penelitian dalam program prioritas Kementerian Pertanian.

Masalah yang muncul dalam adopsi inovasi teknologi SUP inovatif adalah lemahnya diseminasi teknologi kepada petani dan lambatnya adopsi teknologi oleh petani. Beberapa alasan yang dikemukaakan oleh petani diantaranya adalah kekurangan modal dan tenaga kerja, keterbatasan lahan garapan, dan tidak merasakan keuntungan secara langsung (Dariah, 2012:135). Petani di Indonesia adalah produsen sekaligus konsumen, sebagai konsumen (rakyat dalam konsep kedaulatan) maka indikator kedaulatan petani adalah “kedaulatan petani atas pangan” yang merupakan indicator ketahanan pangan.

Petani sebagai rakyat atau konsumen yang berdaulat atas pangan merupakan petani yang sudah terpenuhi kebutuhan pangannya. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dengan demikian, suatu wilayah dikatakan berhasil dalam pembangunan ketahanan pangan jika adanya peningkatan produksi pangan, distribusi pangan yang lancar serta konsumsi pangan yang aman dan berkecukupan gizi pada seluruh masyarakat. (Suyudi et al. 2012:97-103).

Penerapan inovasi teknologi pertanian berbasis SUP inovatif berperan dalam meningkatkan produktivitas usaha tani, sehingga berpeluang untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, yang salah satunya diindikasikan dari meningkatnya ketahanan pangan rumah tangga petani. Petani yang intensif menerapkan inovasi teknologi pertanian berbasis SUP inovatif memiliki peluang meningkat pendapatannya dari hasil produktivitasnya yang lebih tinggi, yang dapat membantu penguatan ketahanan pangan rumah tangganya.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil Penelitian dan Pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Peran Dinas Pertanian dalam meningkatkan kesejahteraan petani sangat berperan penting bagi kesejahteraan masayarakat khususnya petani Pengawasan mutu dan keamanan Pangan merupakan kegiatan rutin dari Seksi Pengawasan Mutu Pangan Dinas pertanian dan Pangan. Hal ini bertujuan untuk menjamin produk pangan segar (Pangan Segar Asal Tumbuhan, Pangan Segar Asal hewan, dan Pangan segar komoditas Perikanan) yang beredar bebas dari cemaran atau residu bahan berbahaya dan aman dikonsumsi karena pentingnya masyarakat untuk menkonsumsi pangan yang Beragam Bergizi seimbang dan Aman (B2SA).

Jenis inovasi teknologi pertanian yang berkembang atau diterapkan oleh petani bergantung pada kondisi agrosistem wilayah setempat. Terdapat hubungan antara penerapan adopsi inovasi teknologi pertanian dengan tingkat ketahanan rumah tangga petani. Petani yang lebih intensif menerapkan inovasi teknologi berbasis sistem usaha pertanian inovatif memiliki tingkat ketahanan pangan yang lebih baik dibandingkan dengan petani yang tidak menerapkan inovasi teknologi berbasis sistem usaha pertanian inovatif.

Oleh: Etika Rindiani, Mahasiswa  Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar Pustaka

Sukmawati, I., Rizkillah, R., Priyambodo, S., & Istiaji, B. (2020). Manajemen Keuangan dalam Kesejahteraan Keluarga Petani di Desa Bener Kecamatan       Wonosari Kabupaten Klaten (Financial Management in Farmer ’ s Family Well – Being in Bener Village , Wonosari Subdistrict, Klaten District). 2(2), 220–229

Leny dkk (2021). Strategi Peningkatan Kesejahteraan Petani Indonesia, Jurnal Agriekonomika. Vol 10 No. 1.3-6

Yusron, dkk . 2019. Pengembangan Kawasan pertanian berbasis sistem usaha pertanian (SUP) inovatif di lahan sub-optimal. Laporan Akhir Tahun. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor.

Yenita (2022). Penerapan Inovasi Teknologi Pertanian Berbasis Sistem Usaha Pertanian Inovatif Mendukung Ketahanan Pangan. Jurnal UMP.Vol 04.

Desy Natasya. 2019. Peran Penyuluh Pertanian dalam Pengembangan Kelompok Tani Tanaman Hortikultural di Kecamatan Siborong-borong Kabupaten Tapanuli. Skripsi. Program Studi Agribisnis Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro.

Fatchiyah. 2016. Penerapan Inovasi Teknologi Pertanian dan Hubungannya  dengan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani. Jurnal Penyuluhan, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Bogor

Al Muksit. 2019. Analisis Pendapatan dan Kesejahteraan Petani Karet di Kecamatan Batin XXIV Kabupaten Batanghari. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Jambi

Agness S. Kayadoe, Wardis Girsang, Felecia P. Adam. 2019. Modal Sosial dan Kesejahteraan kelompok Tani di Negeri Soya Kecamatan Sirimau Kota Ambon. Jurnal Agribisnis Kepulauan, Volume 7 No. 2

Sugandi, D. Dan U.P. Astuti 2012. Persepsi dan Minat Adopsi Petani terhadap VUB Padi Sawah Irigasi di Provinsi Bengkulu.       Politeknik Pembangunan Pertanian Medan

Hermanto dan D.K.S. Swastika. 2019. Penguatan Kelompok Tani : Langkah Awal Peningkatan Kesejahteraan Petani. Analisis Kebijakan Pertanian Vol.6 No.4: 379-390. Rahard, F. 1994. Petani Berdasi. Penebar Swadya, Jakarta

Suyudi, M. & R. Wulaningrum. (2019), Penerapan Akuntansi Lingkungan dengan Pendekatan Corporate Sosial Responsibility (CSR).vol.2, pp 97-103

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment