Pengaruh Pembajakan Film Terhadap Industri Dunia Perfilman

pembajakan film

Modernis.co, Jakarta – Permasalahan pembajakan film dalam industri dunia perfilman tidak kunjung selesai. Walaupun sudah ditetapkan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, hal tersebut tidak membuat para pelaku pembajakan film merasa takut. Semakin canggihnya teknologi pada masa sekarang, bisa menghasilkan dampak positif serta dampak negatif.

Dampak positifnya pelaku industri dapat semakin mudah dalam menayangkan karyanya, sedangkan dampak negatifnya para pelaku pembajakan film yang mahir dalam bidang teknologi akan semakin mudah dalam membajak serta menyebarkan film.

Ditambah dengan adanya platform digital yang menayangkan banyak film membuat para pelaku semakin mudah dalam melakukan pembajakan.  Perilaku pelaku itu didukung oleh banyaknya penikmat film yang lebih memilih untuk menonton dan mengunduh film dari website illegal. Jika hal itu terus terjadi, industri dunia perfilman akan terus menghasilkan kerugian dari karya-karya yang dibuatnya.

Selain kerugian, industri dunia perfilman juga akan terhambat dalam menghasilkan karya-karya selanjutnya akibat tidak adanya perputaran modal dari karya-karya sebelumnya yang disebarluaskan secara illegal oleh pelaku pembajakan film.

Terdapat beberapa faktor yang membuat hal ini tidak kunjung usai, yakni: (1) Faktor Teknologi dan Internet, (2) Faktor Ekonomi, (3) Faktor Kesadaran Masyarakat, (4) Faktor Kesadaran Hukum pada Pencipta Film, (5) Faktor Pengetahuan, (6) Faktor Penegakan Hukum, (7) Faktor Budaya. Karya tulis ilmiah ini akan membahas tentang pengaruh apa saja yang terjadi apabila pembajakan tidak dihentikan dan bagaimana upaya yang seharusnya dilakukan untuk menghentikan pembajakan film agar pelaku industri dunia perfilman tidak terancam karirnya.

Pada masa modern sekarang ini, dalam kehidupan sehari-hari tak lepas dari yang nama nya internet dan sosial media. Kita dapat menggunakan internet dengan berbagai fungsi, mulai dari mencari informasi dan juga sebagai hiburan.

Banyak dari masyarakat indonesia yang mencari hiburan dengan menonton film disaat ada waktu luang bersama keluarga, teman ataupun sendiri. Semua orang dapat menonton film dengan mudah karena banyak sekali website-website untuk menonton film secara streaming di internet.

Akan tetapi, beberapa orang juga masih melakukan kebiasaan dengan streaming film melalui website illegal atau film yang banyak beredar di sosial media (Subarkah & Furqan, 2021) dalam (Wansyah, 2022:48).

Karya cipta dalam bentuk digital memang sangat mudah untuk di duplikat dan hasil atas perbuatan tersebut juga nyaris tidak dapat dibedakan dengan aslinya. Orang juga kemudian dapat melakukan modifikasi terhadap hasil penggandaan dan mendistribusikannya ke seluruh  dunia dengan nyaris tanpa biaya.

Di satu sisi, hal ini tentu sangat mudah membuat semua orang untuk melanggar hak cipta orang lain dalam skala yang sangat besar. Akan tetapi, di sisi lain sangat sulit bagi pemilik hak cipta untuk mengetahui terjadinya pelanggaran, mengenali, atau pun kemudian melakukan upaya hukum. (Ningsih, 2019:15).

Bentuk pelanggaran terhadap Hak Cipta (copyright violation) pada dasarnya  berkisar pada dua hal pokok, yakni:

(1) Sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin untuk itu. Salah satu contoh pelanggaran tersebut adalah berupa dengan sengaja melanggar larangan untuk mengumumkan setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan serta ketertiban umum.

(2) Sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum sesuatu      ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta (Indriyani, 2021:103).

Penerapan Kebijakan Hukum atas Pelanggaran Hak Cipta

Kekayaan intelektual merupakan hak eksklusif yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Pengertian kekayaan intelektual yaitu hak kekayaan yang timbul dan lahir karena kemampuan intelektual manusia dimana dalam mewujudkan suatu ciptaan membutuhkan tenaga, biaya, waktu dan pikiran dalam hal tersebut dibutuhkan pengorbanan maka karya intelektual menjadi bernilai atau memiliki nilai.

Pentingnya peranan kekayaan intelektual dalam bidang mendukung peranan perkembangan teknologi semakin dibutuhkan, zaman sekarang Indonesia telah memiliki perangkat peraturan perundang-undangan di bidang kekayaan intelektual yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. (Raharja, 2020:94).

Bentuk pelanggaran terhadap Hak Cipta pada dasarnya berkisar pada dua hal pokok. Pertama, yaitu dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak, atau memberi izin untuk itu. Kedua, yaitu dengan sengaja memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta.

Salah satu pelanggaran hak cipta yang sering terjadi yaitu pengumuman dan perbanyakan film melalui media internet dengan cara mengunduh atau streaming. Kegiatan streaming atau mengunduh film yang tidak berbayar atau secara gratis tidak mempunyai izin dari pemegang hak film asli dalam dan memperbanyak karya film. (Raharja, 2020:94).

Pasal 4 Undang-undang Hak Cipta (UHHC) menyatakan bahwa hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk hak terkait. Sedangkan moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun walaupun hak cipta tersebut telah dialihkan. Karya sinematografi merupakan kategori ciptaan yang dilindungi, hal ini tercantum dalam Pasal 40 Ayat (1) huruf  Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. (Sadda dkk, 2022:80).

Pasal 9 Undang-undang Hak Cipta (UHHC), tertuang bahwa pencipta mendapatkan perlindungan di mana setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin pencipta dan pemegang hak cipta. Kemudian setiap orang yang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan atau penggunaan secara komersial ciptaan.

Hak ekonomi yang dimaksud yaitu berupa penerbitan ciptaan, penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya, penerjemahan ciptaan, pengandaplasian, pengaransemensan, atau pentransformasian ciptaan, pendistribusian ciptaan atau salinannya, pertunjukan ciptaan, pengumuman ciptaan, komunikasi ciptaan, serta penyewaan ciptaan. (Sadda dkk, 2022:80).

Pasal 113 Undang-undang Hak Cipta (UHHC) menyebutkan setiap orang yang dengan tanpa hak atau tanpa izin pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud Pasal 9 Undang-undang Hak Cipta (UHHC) untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara atau pidana denda dengan lama waktu dan besaran yang beragam tergantung bentuk pelanggarannya. Tindak pidana sebagaimana yang telah disebutkan di atas merupakan delik aduan. (Sadda dkk, 2022:80).

Penyelesaian Permasalahan Pembajakan Film

Piracy atau pembajakan merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan berbagai macam aktivitas, illegal downloading atau pemalsuan yang berkaitan dengan internet. Internet piracy merupakan satu hal yang berbahaya dan biasanya bersifat illegal dan bahkan cenderung tergolong aksi kriminal juga mencakup penyalinan atau penyebaran secara tidak sah atas perangkat lunak yang dilindungi undang-undang.

Seiring sejalan dengan definisi pelanggaran hak cipta yaitu penggunaan karya cipta yang melanggar hak eksklusif pemegang hak cipta, seperti hak untuk memproduksi, mendistribusikan, menampilkan, atau memamerkan karya berhak cipta, atau membuat karya turunan, tanpa izin dari pemegang hak cipta, yang biasanya penerbit atau usaha lain yang mewakili atau ditugaskan oleh pencipta karya tersebut. (Ningsih, 2019:18-19).

Pembajakan dibagi menjadi tiga kategori, antara lain:

  • Pembajakan sederhana yaitu suatu rekaman asli dibuat duplikatnya untuk diperdagangkan tanpa seizin produser atau pemegang hak yang sah.
  • Rekaman yang dibuat duplikatnya, kemudian dikemas sedapat mungkin mirip dengan aslinya, tanpa izin dari pemegang hak ciptanya.
  • Penggandaan tanpa izin Pencipta ataupun Pemegang Hak Cipta. (Ningsih, 2019:18).

Pasal 99 Undang-undang Hak Cipta (UUHC) pemegang lisensi Hak Cipta sebagai penggugat dapat menuntut kepada pihak yang melanggar Hak Cipta untuk:

(a) Mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Cipta atau produk hak terkait.

(b) Selain gugatan ganti rugi pemegang lisensi Hak Cipta juga dapat mengajukan permohonan putusan provisi atau putusan sela kepada Pengadilan Niaga untuk meminta penyitaan ciptaan yang dilakukan pengumuman atau penggandaan, dan/atau alat penggandaan yang digunakan untuk menghasilkan ciptaan hasil pelanggaran Hak Cipta dan produk hak terkait. Serta memohon putusan provisi atau putusan sela kepada pengadilan niaga untuk menghentikan kegiatan pengumuman, pendistribusian, komunikasi, dan/atau penggandaan ciptaan yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta dan produk hak terkait. (Triantoro, 2019:270).

Perlindungan hukum mengandung arti yaitu memberi rasa aman dan nyaman serta memberikan jaminan terhadap hak asasi manusia yang dirugikan dengan harapan pelaku industri menikmati secara penuh hak-haknya yang dilindungi oleh hukum. Perlindungan hukum juga dapat dibagi menjadi dua, sebagai berikut:

  • Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang dilakukan dan diberikan oleh pemerintah agar dapat mengantisipasi serta mencegah terjadinya suatu pelanggaran. Hal ini pun terdapat didalam melaksanakan suatu kewajiban. Kaitannya adalah pemerintah telah melaksanakan berbagai upaya preventif guna menanggulangi serta berupaya mengurangi berbagai macam tindak pelanggaran terhadap hak cipta dengan menciptakan dan mengesahkan Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Di dalam Pasal 54-56 dalam Undang-Undang Hak Cipta telah menjelaskan bagaimana mencegah pelanggaran terhadap hak cipta dan hak terkait melalui sebuah sarana yang berbasis teknologi.

  • Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan akhir dan final yang dapat berupa sanksi, seperti halnya denda administratif, kurungan dan penjara disaat sudah terjadi permasalahan dan telah terjadinya sebuah pelanggaran.10 Lalu menindaklanjuti Pasal 56-58, yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan pemblokiran serta penutupan sejumlah website yang terbukti telah melakukan berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak cipta. (Putra dkk, 2021:836).

Menurut Soerjono Soekanto (2019) faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah:

  • Faktor hukumnya sendiri lebih menekankan pada peraturan perundang-undangannya, jika terjadi pelanggaran dan aturannya tidak jelas maka penegakan hukum pun akan terhambat.
  • Faktor penegak hukum ruang lingkup dari istilah penegak hukum adalah luas sekali, karena mencakup orang yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum.
  • Faktor sarana dan fasilitas tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana itu haruslah mendukung penegakan hukum, seperti tenaga manusia yang berpendidikan, peralatan yang memadai, dan biaya yang cukup.
  • Faktor masyarakat penegakan hukum itu berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, jika dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Kita juga harus menumbuhkan kesadaran di dalam diri masyarakat bahwa tindakan illegal downloading atau mengunduh film dari internet merupakan sebuah pelanggaran yang tidak seharusnya dilakukan.
  • Faktor kebudayaan Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non material. (Ningsih, 2019:21).

Dampak Pembajakan Film terhadap Perekonomian Industri Dunia Perfilman

Pada saat ini, terdapat sebuah permasalahan dari sebuah sinematografi film yang dibajak lalu diunggah tanpa seizin dan sepengetahuan pemegang hak cipta di berbagai situs web dengan tujuan untuk kegiatan komersial. Menurut Chaikal Nuryakin (2019) selaku selaku peneliti senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, industri perfilman Indonesia mengalami kerugian hingga 1,495 Triliun hanya di 4 kota per tahun karena adanya pembajakan film bahkan sudah ada 2.300 situs illegal yang diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (KOMINFO) yang bekerja sama dengan Video Coalition of Indonesia (VCI). (Sadda dkk, 2022:79).

Contoh  konkrit  adalah  peningkatan  jumlah movie  illegal  streaming yang hal ini berdampak pada industri film dan pendapatan Negara Indonesia,  yaitu  pada  kasus movie  illegal  streaming di  Kecamatan Jambi yang   dilakukan   oleh   Aditya   Fernando   Phasyah,   terbukti dinyatakan    bersalah    melakukan movie    illegal    streaming pada film Keluarga   Cemara milik   rumah   produksi   Visinema   Pictures, yang  di platform  website Dunia  Film  21. 

Selain hal tersebut  Aditya Fernando  Phasyah  telah  melakukan sekitar movie  illegal  streaming 3.000  judul  film  lokal  dan  import  sejak  tahun  2018  hingga  sekarang untuk  mencari  keuntungan  dari  iklan  yang  didaftarkan. Maraknya movie  illegal streaming yang  dilakukan  masyarakat,  hal  tersebut  dapat merugikan  para  pelaku  industri  film  karena  tidak  mendapatkan pendapatan   yang   menjadi   haknya   ketika   sebuah   film   diputar ataupun   disaksikan   oleh   banyak   orang,   apabila   permasalahan tersebut berlangsung lama dapat mempengaruhi produksi film baik secara pengeluaran karena menyerap banyak tenaga kerja. (Ariani dkk, 2021:5-6)

Upaya dalam Menghentikan Pembajakan Film di Industri Dunia Perfilman

Penyelesaian sengketa hak cipta dengan cara litigasi

  • Gugatan Perdata Gugatan ini diajukan kepada ketua pengadilan niaga, yang kemudian akan dicatat oleh panitera pengadilan niaga tersebut sesuai yang tercantum di dalam Pasal 100 ayat (1).
  •  Tuntutan Pidana Dasar hukum mengenai penyelesaian melalui tuntutan pidana diatur dalam Pasal 112-118 Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa mengajukan gugatan perdata dan dapat menuntut pidana secara bersamaan. Proses penyelesaian melalui gugatan perdata tidak akan menghilangkan hak seseorang dalam hal melakukan suatu tuntutan pidana diatur di Pasal.95 ayat (4). (Rachmasari dkk, 2022:19).

Penyelesaian Sengketa Hak Cipta dengan Cara Non-Litigasi

Penyelesaian melalui non-litigasi ini melibatkan seseorang sebagai pihak ketiga untuk membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi. Pembajakan film atau web series pada grup chat di aplikasi telegram dapat disebut sebagai sengketa karena di dalamnya terhadap hak-hak dari pemilik hak cipta karya dilanggar oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan menunjukkan bahwa tidak adanya itikad baik dari pihak tersebut dalam penggunaan hasil cipta karya seseorang.

Demikian sesuai dengan Pasal 95 : “Penyelesaian sengketa hak cipta dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase dan penyelesaian alternatif lainnya”. Bentuk-bentuk penyelesaian non-litigasi diatur dalam Pasal 1 angka 10 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa, yaitu: (1) Konsultasi, (2) Negosiasi, (3) Mediasi, (4) Konsiliasi, (5) Arbitrase, (6) Penilaian ahli. (Rachmasari dkk, 2022:19).

Menurut Bonger (2012) menegaskan bahwa mencegah kejahatan adalah lebih baik daripada mencoba mendidik penjahat menjadi orang baik kembali. Sedangkan menurut Soedjono Dirdjosisworo (2022) dalam buku penanggulangan kejahatan (crime prevention) yang banyak dipakai oleh negara-negara yang maju. Asas ini merupakan gabungan dari dua sistem, yakni:

  • Cara moralistis, yaitu dilaksanakan dengan penyebarluasan ajaran-ajaran agama dan moral, perundang-undangan yang baik dan sarana-sarana lain yang dapat menekan nafsu untuk berbuat jahat,
  • Cara abolitionis, merupakan cara menanggulangi kejahatan dengan mengetahui faktor penyebab dari kejahatan tersebut. (Sudarsono, 2012, hal. 93-94) dalam (Fajrina dkk, 2022:39)

Hal yang dapat dilakukan guna sebagai solusi bagi masyarakat menengah kebawah yang ingin menonton bioskop tanpa perlu khawatir terbentur keinginannya karena persoalan biaya yang dianggap terlalu mahal adalah dengan menambah jumlah bioskop di Indonesia yang otomatis akan menurunkan biaya nya karena semakin tinggi persaingan, atau mematok harga tetap namun dengan peningkatan kualitas pelayanan.

Pemerintah biasa memanfaatkan hal tersebut sebagai celah dalam memaksimalkan peran investor asing dalam meningkatkan kualitas kehidupan perekonomian masyarakat Indonesia, semakin banyak investor yang menginvestasikan dananya di Indonesia maka akan semakin mudah pula perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di negara ini salah satu contoh dari kasus ini adalah investor dalam bidang industri perfilman (bioskop). (Putra dkk, 2021:840-841).

Bertaburnya jumlah bioskop di Indonesia, diharapkan agar harga masuk bioskop menjadi lebih murah dan menghilangkan image negatif dari masyarakat tentang harga yang fantastis untuk sebuah tiket, yang notabene hanya untuk menonton di bioskop namun tentunya sembari dengan peningkatan kualitas di setiap fasilitas yang diberikan, yang akan menambah kenyamanan bagi penonton sehingga tidak ada lagi pemikiran masyarakat seperti tidak perlu menonton film ke bioskop karena lebih nyaman dan tidak rugi apabila sudah dengan gampangan menonton bahkan mengunduh film yang di inginkan secara gratis dan bebas di internet. (Putra dkk, 2021:41).

Kesimpulan

Permasalahan mengenai maraknya pembajakan yang dilakukan oleh orang-orang   yang   tidak   mendapatkan   izin   secara   legal   dapat memanfaatkan popularitas film dengan melakukan pelanggaran hak cipta untuk mencari keuntungan pribadi. Cara yang digunakan para pembajak    konten    secara    illegal    menggunakan    internet    yang kemudian menyebarkan situs penyedia layanan film streaming secara gratis. Cara ini merupakan suatu tindakan yang melanggar hak cipta terhadap movie   illegal   streaming.

Terdapat beberapa masalah dalam penegakan hukum Hak Cipta di Indonesia seperti misalnya pemerintah Indonesia belum menunjukkan kemauan yang kuat untuk menegakkan perlindungan hak cipta yang ada di Indonesia. Kemudian pengetahuan masyarakat masih sangat kurang tentang hak cipta termasuk hukum yang mengaturnya. Karena pengetahuan tentang hak cipta ini masih sangat kurang, pada umumnya masyarakat tidak menyadari arti pentingnya perlindungan hak cipta dan kurangnya kesadaran tentang arti pentingnya perlindungan hak cipta, hal ini menyebabkan masyarakat banyak melakukan pelanggaran terhadap hak cipta.

Oleh: Qoriatin Hasanah, Mahasiswa, Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar PUstaka

Ariani, R. S., DezeanaTicoalu, L., & Wahyuni, H. S. (2021, Juli 31). Mengoptimalkan Peran Badan Perfilman Indonesia: Analisis Aspek Hak Cipta terhadap Praktik Siaran Video Ilegal. Jurnal Kajian Pembaharuan Hukum, 175-214. doi:https://doi.org/10.19184/jkph.v1i2.24475

Astuti, R., & Marpaung, D. S. (2021). Perlindungan Hukum Pemilik Hak Cipta Pembajakan Karya Sinematografi dalam Grup Chat Pada Aplikasi Telegram. Jurnal Kertha Semaya(9), 1087-1098. doi:https://doi.org/10.24843/KS.2021.v09.i07.p01

Fajrina, R. M., & Sasongko, H. (2022). Upaya Preventif Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Pembajakan Film Secara Online maupun Offline di Indonesia. Off screen:Film and Television Journal(1), 37-47. Dipetik Juni 18, 2023, dari https://journal.isi-padangpanjang.ac.id/index.php/OS/article/view/2864/1097

Indriyani, D. A. (2021). Pelanggaran Hak Cipta oleh Lembaga Pemerintah (Studi Kasus Penayangan Film “Sejauh Ku Melangkah” Pada Program Belajar dari Rumah oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Jurnal llmiah Kebijakan Hukum(15), 95-110. doi:http://dx.doi.org/10.30641/kebijakan.2021.V15.95-110

Ningsih, A. S., & Maharani, B. H. (2019). Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara. Meta-Yuridis(2), 13-32. Dipetik Juni 18, 2023, dari https://journal.upgris.ac.id/index.php/meta-yuridis/article/view/3440/2351

Putra, I. P., & Sukranatha, A. A. (2021). Perlindungan Hukum Kepada Pemegang Hak Cipta Film terhadap Kasus Film Bajakan di Internet. Jurnal Kertha Wicara(10), 830-843. doi:https://doi.org/10.24843/KW.2021.v10.i10.p06

Rachmasari, A., Arifin, Z., & Astanti, D. I. (2022). Perlindungan Hukum Hak Cipta pada Film yang diAkses Secara Ilegal Melalui Telegram. Semarang Law Review (SLR)(3), 13-23. doi:http://dx.doi.org/10.26623/slr.v3i2.5564

Raharja, G. g. (2020). Penerapan Hukum terhadap Pelanggaran Hak Cipta. Meta Yuridis(3), 91-112. Dipetik Juni 18, 2023, dari https://journal.upgris.ac.id/index.php/meta-yuridis/article/view/6029/3450

Sadda, S. G., Imaniyati, N. S., & Zakiran, A. H. (2022). Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Hak Cipta Sinematografi dari Pembajakan pada Situs Web Ditinjau dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Bandung Conference Series: Law Studies(2), 78-86. doi:https://doi.org/10.29313/bcsls.v2i1.446

Triantoro, R. A., & Hadi, H. (2019, Desember). Perlindungan Hukum bagi Pemegang Lisensi Hak Cipta Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (Studi Putusan Nomor: 09/HKI.Hak Cipta/2014/ PN Niaga Jo Putusan M.A Nomor: 80 K/Pdt.Sus-Hki/2016). Jurnal Private Law(7), 265-274. doi:https://doi.org/10.20961/privat.v7i2.39335

Wansyah, R. (2022). Pengaruh Film Bajakan Secara Daring terhadap Popularitas Film. Journal Anthology of Film and Television Studies(2), 47-57. doi:10.26877/m-y.v2i1.3440

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Leave a Comment