Pengaruh Perceraian Orang Tua terhadap Perkembangan Psikososial Anak

anak dan perceraian orang tua

Modernis.co, Jakarta – Perceraian di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya. Perceraian merupakan putusnya hubungan antara suami-istri yang disebabkan oleh faktor ekonomi yang kurang mencukupi kebutuhan keluarganya dan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan sehingga menyebabkan dua pasangan memutuskan untuk bercerai.

Perceraian kedua pasangan tersebut menyebabkan berbagai dampak tersendiri pada anak, salah satunya yaitu psikososial anak yang terganggu. Psikososial merupakan kesehatan mental yang meliputi perasaan serta pikiran pada individu. Perkembangan psikososial pada anak memiliki beberapa tahapan agar anak tumbuh secara optimal.

Perceraian memang membuat anak merasakan kesedihan yang mendalam, kesulitan dalam bersosialisasi di lingkungannya, hilangnya jiwa semangat yang tinggi, susah untuk menyelesaikan masalah, terjerumus pada hal-hal yang kurang baik, merasa terkucilkan dan tertekan. Anak pada keluarga harmonis tentu saja akan berkembang lebih baik daripada anak pada keluarga bercerai. Hal tersebut terjadi karena anak pada keluarga harmonis akan mendapatkan dorongan untuk mencapai cita-citanya.

Sebaliknya, anak pada keluarga bercerai tidak mendapatkan motivasi dari kedua orang tuanya. Karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang pengaruh perceraian orang tua terhadap perkembangan psikososial anak. Pasalnya, banyak orang tua yang memutuskan untuk bercerai tanpa memikirkan psikososial anaknya. Oleh sebab itu, banyak generasi muda yang rusak dan tidak ada semangat untuk mencapai cita-citanya.

Harapan dari karya tulis ilmiah ini adalah agar perceraian di Indonesia dapat menurun serta memberi pengetahuan pada masyarakat bahwa perceraian dapat menyebabkan masalah psikososial anak. Di Indonesia saat ini sedang maraknya kasus perceraian yang disebabkan oleh berbagai faktor, sehingga minimnya pemahaman tentang arti pernikahan yang menyebabkan salah satu dari kedua pasangan tersebut kurang memenuhi kewajibannya.

Sepanjang tahun 2020 angka perceraian mengalami peningkatan sebesar 6,4% (Ruum dkk, 2023 : 500). Berdasarkan data pada tiga provinsi, yakni Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah menduduki peringkat tertinggi sebagai provinsi dengan angka perceraian terbanyak (Ruum dkk, 2023 : 500).

Perceraian orang tua pasti memiliki dampak tertentu bagi masa depan anak, seperti terganggunya perkembangan psikososial anak karena kehilangan figur keluarga yang harmonis (Mone, 2019 : 160). Anak membutuhkan peran keluarga untuk mengenal lingkungan sekitar serta mendorong mereka untuk sukses di masa depannya. Jika peran keluarga tersebut tidak terpenuhi, maka anak akan sulit mengembangkan minat bakatnya serta sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.

Contoh dampak gagalnya adaptasi anak terhadap lingkungan adalah kenakalan anak di lingkungan sekitar. Penyebab dari kenakalan tersebut terjadi karena anak-anak mengalami tekanan mental atau depresi akibat perceraian orang tuanya (Hasanah, 2019 : 18). Anak-anak korban perceraian biasanya menjadi tidak bisa diatur karena merasa marah, sedih, dan hanya dengan tindakan tersebutlah anak-anak mampu meluapkan emosi dan perasaannya. Apabila hal tersebut tidak diatasi dengan cara yang tepat, selain memberikan dampak buruk untuk masa depan anak, juga akan berdampak buruk pada lingkungan seperti warga yang merasa tidak nyaman akibat perilaku anak yang tidak bisa diatur.

Menurut Mone, (2019: 157) mengatakan bahwa rasa bersalah yang timbul pada anak-anak korban perceraian membuat anak berpikir anaklah penyebab dari perceraian kedua orang tuanya. Oleh sebab itu, sifat anak-anak korban perceraian tersebut akan berubah menjadi penyendiri dan tidak memiliki rasa semangat belajar, karena anak mengganggap belajar bukanlah hal penting lagi. Ketika kedua orang tuanya bercerai, maka anak tidak akan mendapatkan rasa diperhatikan pendidikannya, tidak mendapatkan bimbingan, dorongan, dan motivasi untuk mengejar cita-citanya.

Definisi Perceraian

Perceraian merupakan putusnya hubungan suami-istri yang disebabkan oleh banyak hal dan kedua pasangan sudah tidak ingin lagi memenuhi kewajiban sebagai suami-istri. Pengertian perceraian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perceraian diambil dari kata cerai yang berarti pisah ataupun putus. Menurut Hasanah, (2019 : 20) menjelaskan bahwa perceraian orang tua merupakan putusnya suatu hubungan dengan dinyatakan talak serta sudah disetujui oleh kedua belah pihak.

Definisi Psikososial Anak

Psikososial termasuk dalam kesehatan mental yang meliputi psikologi dan sosialnya. Definisi psikososial berdasarkan Emilizia, (2019 : 24) dimana psikososial berasal dari kata psikologi dan sosial, psikologi yang berarti mengacu pada pikiran, perasaan, dan individu, sedangkan sosial yang berarti hubungan individu dengan masyarakat disekitarnya. Psikososial anak sendiri merupakan hubungan kejiwaan serta moral yang dimiliki anak dan berasal dari cara pengasuhan keluarga serta lingkungan sekitarnya (Puspita dkk, 2022 : 216).

Tingkatan pada Perkembangan Psikososial Anak

Perkembangan psikososial pada anak sendiri memiliki beberapa tahapan agar mental anak tumbuh secara optimal. Menurut Erik Erikson, setiap tahapan tentu memiliki beberapa rintangan yang biasa disebut krisis. Adapun tahapan tersebut memiliki delapan tahapan, sebagai berikut (Mokalu dan Charis, 2021 : 183) :

  • Trust versus Mistrust (0-1 tahun)

Pada tahap ini, bayi akan berusaha keras untuk memperoleh kehangatan serta pengasuhan dari ibu. Jika ibu berhasil memberikan dua hal tersebut, maka anak mampu mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Jika hal tersebut tidak diberikan, maka anak akan mengalami kesulitan akan mempercayai orang lain di sepanjang hidupnya dan anak akan menyakini bahwa orang  lain akan memanfaatkannya.

  • Autonomy versus Shame and Doubt (1-3 tahun)

Pada tahap ini, anak akan berlatih untuk mengendalikan tubuhnya. Anak harus didukung orang tuanya serta diajarkan untuk dapat mengendalikan keinginannya dengan lembut. Tahap ini membantu anak untuk menyesuaikan dengan aturan sosial.

  • Initiative versus Guilt (3-6 tahun)

Pada tahap ini, anak akan berlatih merencanakan serta melaksanakan tindakan yang sudah anak perbuat. Jika tahapan ini gagal, maka anak tidak akan berani mengambil keputusan karena merasa membuat kesalahan. Selain itu, anak akan kehilangan rasa percaya dirinya dan tidak akan memiliki rasa semangat dalam meraih cita-citanya ketika anak sudah dewasa nanti.

  • Industry versus Inferiority (6-12 tahun)

Pada tahap ini, anak akan berlatih tentang kepuasan atau kesenangan dalam mengatasi tugas-tugas seperti tugas-tugas akademik. Jika tahapan ini berhasil, maka anak akan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dan memiliki rasa kepuasan diri atas apa yang sudah diperoleh. Apabila pada tahapan ini tidak berhasil didapatkan pada anak, maka anak akan susah memecahkan masalahnya dan tidak mampu mencapai harapan-harapan yang anak ingin capai.

  • Identity versus Confusion (12-18 tahun)

Pada tahap ini, anak sudah mencapai remaja. Anak akan mulai mencari identitas aslinya. Anak akan  dihadapkan pada berbagai macam cobaan untuk mencapai identitasnya. Jika anak berada pada lingkungan yang baik, maka identitas anak tersebut akan menjadi baik. Sebaliknya jika anak berada pada lingkungan yang kurang baik, maka identitas anak tersebut akan menjadi kurang baik juga.

  • Intimacy versus Isolation (19-40 tahun)

Pada tahap ini, anak sudah memasuki masa dewasa yang dimana sudah siap serta bisa beradaptasi ke masyarakat sekitar. Jika tahap ini berhasil, maka anak dapat menentukan harga diri dan kepercayaannya terhadap orang lain. Apabila anak gagal pada tahapan ini, maka anak akan merasakan tekanan yang membuat kehidupannya menjadi terkucilkan.

  • Generativity versus Stagnation (40-65 tahun)

Pada tahap ini anak memasuki usia dewasa yang menyebabkan munculnya rasa semangat berbagi, penyerapan akan dirinya sendiri serta stagnasi. Anak pada tahap ini akan membantu memberikan dorongan kepada para generasi muda untuk terus mengembangkan harapan-harapannya dan menempuh hidup yang lebih berguna. Jika stagnasi dapat diatasi, maka anak dapat memperhatikan perkembangan pada generasi muda.

  • Integrity versus Despair (65 tahun ke atas)

Pada tahap ini, anak akan mengalami kehilangan  pada beberapa fungsi organnya, kesehatan, pasangan, serta sosialnya. Tahapan ini merupakan tahap yang akan dialami anak pada saat berumur 65 keatas atau lansia. Tahapan ini merupakan tahap dimana terjadi pertarungan antara ego dan keputuasaan. Anak akan memperkirakan perlakuan selama hidupnya. Pada tahap ini, anak sudah tidak memiliki semangat untuk berjuang lagi.

Pengaruh Perceraian Orang Tua Terhadap Psikososial Anak

Perceraian diantara orang tua memang membuat anak merasakan kesedihan yang mendalam. Anak tidak ingin orang tuanya bercerai dan ingin tetap hidup bahagia bersama orang tuanya. Namun, anak tidak dapat berbuat apa-apa, karena itu sudah keputusan yang terbaik untuk orang tuanya. Hal tersebut akan membuat anak mengalami permasalahan mental, salah satunya yaitu masalah psikososial anak yang terganggu. Salah satu contoh masalah psikososial anak adalah jika anak pada umur satu tahun mengalami kejadian orang tuanya bercerai, maka di masa depannya anak mengalami kesulitan dalam mempercayai orang lain dan anak akan menyakini bahwa orang akan memanfaatkannya untuk hal lainnya.

Anak pada umur satu tahun akan belajar menggantungkan diri kepada orang lain, percaya kepada orang lain, serta percaya kepada dirinya sendiri (Mokalu dan Charis, 2021 : 183). Ketika pada usia satu tahun anak sudah merasakan hal tersebut, maka anak akan kesulitan untuk bersosialisasi pada lingkungannya, kehilangan rasa percaya diri, tidak memiliki rasa semangat yang tinggi dan susah memecahkan masalahnya. Anak juga akan terjerumus ke lingkungan yang kurang baik, merasakan tekanan sehingga anak merasa terkucilkan, tidak dapat memperhatikan perkembangan pada generasi muda di masa mendatang, dan tidak dapat memberikan semangat serta dorongan pada generasi muda di masa mendatang.

Korelasi Perceraian Orang Tua terhadap Psikososial Anak

Beberapa bentuk masalah perkembangan psikososial anak yang timbul akibat perceraian orang tua dapat berupa kesulitan dalam bersosialisasi di lingkungannya, hilangnya rasa kepercayaan terhadap orang lain serta dirinya sendiri, hilangnya jiwa semangat yang tinggi pada dirinya, susah untuk menyelesaikan masalah, terjerumus pada hal-hal yang kurang baik, merasa terkucilkan dan tertekan, serta sulit untuk memberikan perhatian, semangat dan dorongannya kepada generasi muda di masa depan.

Korelasi antara perceraian orang tua terhadap perkembangan psikososial anak dapat ditelaah dengan menggunakan tingkatan perkembangan psikososial anak menurut Erik Erikson. Perceraian yang terjadi pada usia anak yang berbeda akan memberikan perkembangan psikososial anak yang berbeda dan akan mempengaruhi tumbuh kembang anak di masa depan.

Salah satu contoh studi kasus yang terjadi pada siswa kelas V SD Negeri 1 Sumberbaru Banyuwangi (Trianingsih, 2019 : 11). Terdapat dua siswa yang mengalami kejadian orang tuanya bercerai, yaitu M.J.S dan M.K.L. Kedua anak tersebut mengalami hal yang sama, yaitu keluarganya bercerai saat kedua anak tersebut berumur sebelas tahun.

Berdasarkan studi kasus tersebut, meskipun kebutuhan anak dapat tercukupi dengan baik, namun anak kurang akan kasih sayang yang diberikan orang tuanya sehingga membuat kedua anak tersebut kurang bersemangat dalam beraktivitas. Hal ini ditunjukkan oleh anak yang sibuk dengan hal yang tidak penting, mencari perhatian dengan sesuatu yang kurang baik, kurang memperhatikan tugas-tugasnya, anak menunjukkan sikap yang kurang baik di kelas dan tidak ikut kerja kelompok. Selain itu perceraian kedua orang tua juga menimbulkan perasaan malu kepada anak-anak. Hal tersebut ditandai dengan anak sering menyendiri karena diejek teman-temannya serta tidak percaya diri ketika disuruh maju oleh gurunya untuk menjawab soal.

Perbandingan Perkembangan Psikososial Anak dalam Keluarga Harmonis dan Keluarga Bercerai

Tentu terdapat perbedaan perkembangan psikososial anak dalam keluarga harmonis dan keluarga bercerai. Pada anak yang keluarganya harmonis, orang tuanya akan membantu perkembangan anak dalam membentuk kepribadian yang baik, memberikan dorongan dalam menjalankan kehidupan dan dapat menyesuaikan dirinya sendiri kepada lingkungan sosialnya, serta orang tua dapat mengajarkan anak dalam mengembangkan sifat inisiatifnya (Kuswanto, 2021 : 3).

Berbeda dengan perkembangan psikososial anak dalam keluarga yang tidak harmonis. Perkembangan psikososial anak akan terganggu karena kekurangan kasih sayang dari kedua orang tua dan berdampak pada anak  mencari perhatian kepada orang lain, anak akan menjadi pendiam, rendah diri, tumbuh kenakalan dalam diri si anak, prestasi belajar yang turun drastis serta merasakan kehilangan akan sosok kedua orang tuanya (Saragi dkk, 2022 : 409).

Apabila anak menjadi pendiam, merasa malu, dan kurang percaya diri, maka ditakutkan anak akan kesusahan dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, merasa tertekan, tidak akan ada yang mau berteman dengannya, dan tidak ada yang memberikan dorongan pada anak untuk bersemangat dalam hidupnya.

Dampak Perceraian Orang Tua terhadap Psikososial Anak

Keluarga merupakan tempat utama dan pertama bagi anak untuk belajar tentang hal baru dan merupakan rumah untuk kembali bagi sang anak. Ketika orang tuanya bercerai, maka anak akan menjadi kebingungan karena tidak tau akan pergi dengan ayah atau ibu (Bahrudin dan Dedi, 2022 : 48).

Perceraian bisa mengakibatkan anak berperilaku tidak baik seperti menjadi mudah emosian, agresif, melakukan perbuatan kasar, merasa tertekan dan mudah merasa putus asa (Ramadhani dan Hetty, 2019 : 115). Hal itu terjadi karena anak ingin meluapkan emosi dan kesedihannya akibat dari perceraian orang tuanya. Anak akan menjadi malas belajar dan membantah gurunya saat di sekolah, karena dia sudah tidak memiliki jiwa semangat lagi dalam mencapai cita-citanya.

Penanganan Psikososial Anak Akibat Perceraian Orang Tua

Masalah psikososial anak akibat perceraian orang tua harus segera ditangani agar anak dapat menjadi generasi muda yang baik di masa depan. Terdapat tiga penanganan masalah psikososial anak akibat perceraian, sebagai berikut :

  • Membawa anak ke tempat layanan konseling dengan ahlinya (Nurlaela dkk, 2022 : 297). Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana pola pikir pada anak dan mengungkapkan perasaannya akibat orang tuanya bercerai. Sehingga anak dapat mengurangi perasaan stress dan kecemasannya.  Jika tidak dibawa ke tempat konseling, maka anak akan merasakan tekanan pada emosionalnya.
  • Memberikan motivasi atau dukungan kepada anak dari orang-orang terdekatnya, seperti guru dan keluarga dari orang tua (Pragholapati, 2020 : 7). Guru dan keluarga orang tua menjadi pengganti orang tua anak-anak ketika keluarganya telah bercerai. Motivasi tersebut bisa berupa pujian, hadiah, dan lain sebagainya yang dapat mengandung nilai-nilai edukatif pada anak. Sehingga hal itu bisa membuat anak kembali bersemangat dalam menggapai harapan-harapannya.
  • Melakukan terapi generalis kepada anak korban perceraian (Silalahi dkk, 2021 : 7). Terapi ini dapat menurunkan gangguan mental pada anak korban perceraian, karena terapi generalis ini merupakan terapi yang berguna untuk melatih keterampilan sosial anak sehingga anak dapat bersosialisasi dengan nyaman di lingkungannya. Terapi ini juga dapat meminimalisir tindakan buruk dari anak.

Kesimpulan

Perceraian orang tua merupakan peristiwa yang membuat anak sedih dan kecewa, karena keluarga yang dicintai harus berpisah disaat anak butuh dorongan untuk masa depannya. Anak mengungkapkan emosinya melalui hal-hal seperti menjadi tidak bersemangat dalam mencapai cita-citanya, menimbulkan keresahan di lingkungan sekitar, malas dalam melakukan kegiatan apapun, tidak dapat mengendalikan emosi, mencari perhatian di lingkungan sekitar, dan menjadi minder atau malu. Oleh sebab itu, anak butuh penanganan sesegera mungkin agar perilaku yang kurang baik dapat dikontrol dan masa depannya lebih tertata.

Oleh: Mega Vaolina, Mahasiswa Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Malang

Daftar Pustaka

Bahrudin, Ilham Rusydiana dan Dedi Junaedi. 2022. Pengaruh Perceraian Orang Tua terhadap Perkembangan Psikologi Anak. Jurnal Hukum Keluarga Islam, (Online), 1 (1): 41-49, (https://ejournal.staisyamsululum.ac.id/index.pjp/attadil/article/view/167/153), diakses 20 Juni 2023.

Dinata Saragi, Muhammad Putra. dkk. 2022. Dampak Perceraian Orang Tua terhadap Anak. Jurnal Edukasi Nonformal, (Online), 3 (2): 400-412, (https://ummaspul.e-journal.id/JENFOL/article/view/5211), diakses 19 Juni 2023.

Hasanah, Uswatun. 2019. Pengaruh Perceraian Orangtua Bagi Psikologis Anak. Jurnal Analisis Gender dan Agama, (Online), 2 (1): 18-24, (https://core.ac.uk/download/pdf/288296056.pdf), diakses 16 Juni 2023.

Kuswanto, Anggil Viyantini dan Awallia Romadhona. 2023. Pengaruh Pola Asuh Keluarga Muda (Toddlers and Kindergearten) terhadap Perkembangan Psikososial Anak Usia Dini. Journal of Islamic Education for Early Childhood, (Online), 5 (1): 73-89, (https://www.academia.edu/download/86981441/489809153.pdf), diakses 16 Juni 2023.

Mone, Harry Ferdinand. 2019. Dampak Perceraian Orang Tua terhadap Perkembangan Psikososial dan Prestasi Belajar. Harmoni Sosial: Jurnal Pendidikan IPS, (Online), 6 (2): 155-163, (http://journal.uny.ac.id/index.php/hsipi), diakses 16 Juni 2023.

Mokalu, Valentino Reykliv dan Charis Vita Juniarty Boangmanalu. 2021. Teori Psikososial Erik Erikson: Implikasinya bagi Pendidikan Agama Kristen di Sekolah. Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, (Online), 12 (2): 180-192, (http://jurnal.stkippersada.ac.id/jurnal/index.php/VOX), diakses 18 Juni 2023

Nurlaela, Imas. dkk. 2022. Layanan Konseling untuk Mereduksi Stress Akibat Perceraian Orangtua Menggunakan Teknik Restrukturisasi Kognitif. Jurnal Kajian Bimbingan & Konseling dalam Pendidikan, (Online), 5 (4): 297-303, (https://journal.ikipsiliwangi.ac.id/index.php/fokus/article/view/8711/3466), diakses 20 Juni 2023

Puspita, Oktavivani dan E. Eland an Sima Mulyadi. 2022. Perkembangan Psikososial Anak Usia Dini Mengalami Keterlambatan dalam Berbicara. Jurnal PAUD Agopedia, (Online), 6 (2): 215-220, (https://ejournal.upi.edu/index.php/agapedia/article/download/52014/20659), diakses 17 Juni 2023.

Pragholapati, Andrin. 2020. Dampak Perceraian di Indonesia: Systematic Literature Review. (Online), (https://osf.io/47s8x/download), diakses 20 Juni 2023

Renaning Ruum, Utari Dyah dan Rahmania Nur Chasanah. 2023. Analisis Tingkat Perceraian di Kota Surabaya Tahun 2018-2022. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal, (Online), 13 (2): 499-506, (https://journal.stikeskenda.ac.id/index.php/PSKM), diakses 16 Juni 2023.

Ramadhani, Putri Erika dan Dra. Hj. Hetty Krisnani, M., Si. 2019. Analisis Dampak Perceraian Orang Tua terhadap Anak Remaja. Jurnal Pekerjaan Sosial, (Online), 2(1): 109-119, (http://jurnal.unpad.ac.id/focus/article/view/23126), diakses 20 Juni 2023.

Silalah, Malianti. dkk. 2021. Terapi Kelompok Terapeutik dan Terapi Kognitif Perilaku Efektif Menurunkan Prodroma Remaja dengan Orang Tua Bercerai. Jurnal Kesehatan Holistic, (Online), 5 (2): 1-17, (http://ejournal.stikesrshusada.ac.id/index.php/jkh/article/view/102/44), diakses 20 Juni 2023.

Trianingsih, Rima. 2019. Pengaruh Keluarga Broken Home terhadap Perkembangan Moral dan Psikososial Siswa Kelas V SDN 1 Sumberbaru Banyuwangi. Jurnal Pena Karakter, (Online), 2 (1): 9-16, (https://e-journal.hikmahuniversity.ac.id/index.php/jpk/article/view/4), diakses 18 Juni 2023.

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment