Modernis.co, Jakarta – Pelecehan seksual merupakan masalah serius yang sering melanda berbagai sektor masyarakat di dunia, terutama masyarakat di Indonesia, adanya pelecehan seksual dilatar belakangi oleh beberapa faktor yang memengaruhi dan merupakan kasus yang sering dikeluhkan oleh masyarakat. Banyaknya kasus pelecehan yang terjadi di tempat umum seperti stasiun, trotoar atau jalanan dan di tempat kerja.
Hal ini merupakan momok bagi para perempuan. Banyaknya pelecehan seksual berakar dari ketidaksetaraan gender yang disebabkan adanya pemikiran bahwa laki-laki lebih memiliki kekuasaan dari pada perempuan,budaya patriarki masih sangat melekat didalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Korban pelecehan seksual cenderung memiliki psikis yang berbeda dari psikis mereka sebelumnya, korban pelecehan seksual cenderung akan mengalami stres dan depresi serta gangguan tidur, gangguan tidur akan menghambat korban untuk melakukan aktifitas dan sosialisasi seperti biasanya.
Karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang pengaruh dan dampak negatif bagi mental para pekerja terutama bagi pekerja perempuan yang mengalami pelecehan seksual. Adanya pelecehan seksual terutama di Indonesia sangat sering terjadi, pasalnya masyarakat di Indonesia masih banyak yang belum mengerti bahwa pelecehan seksual dapat memengaruhi kondisi mental seseorang.
Banyak kasus di Indonesia yang justru menyalahkan korban seakan-akan para korban yang bersalah atas tindakan buruk pelaku pelecehan seksual, banyak korban yang tidak mendapatkan rasa keadilan karena sejauh ini belum ada pengaturan yang tegas tentang pelecehan seksual dalam hukum pidana di Indonesia. Sehingga diperlukan upaya agar para pekerja terutama pekerja perempuan mendapatkan keadilan serta perlindungan dari pihak-pihak yang berwenang agar mereka tidak takut untuk menyuarakan kondisi yang mereka alami dan mau untuk menerima dirinya kembali.
Kejahatan asusila dan pelecehan seksual atau sexual harassement merupakan bagian dari pelanggaran atas kesusilaan, masyarakat di Indonesia sering kali menjadi korban pelecehan seksual terutama korbannya merupakan kaum perempuan, tidak menutup kemungkinan yang menjadi korban adalah laki-laki tetapi sangat jarang terjadi. Budaya patriarki masih sangat melekat didalam kehidupan masyarakat di Indonesia, yang mana perempuan diposisikan sebagai subordinat di bawah kekuasaan laki-laki. (Susilo & Sugihartati, 2019).
Hal yang sering dijumpai pada masyarakat di Indonesia, terjadi kesenjangan antara laki laki dan perempuan, karena laki-laki dianggap sebagai kaum yang dominan daripada posisi perempuan yang justru sebaliknya, patriarki yang menyebabkan ketidakadilan terhadap gender, akibatnya perempuan memiliki batasan yang menyebabkan budaya patriarki ini menjadi salah satu faktor terjadinya sexual harassement. Pelecehan seksual mengklasifikasikan tiga tipologi mengenai pelecehan seksual antara lain: Gender Harassement, Unwanted Sexual Attention, sexual coercion. (ryan, 2022:81).
- baca juga: Perlawanan Nuril Belum Usai
Menurut (Hidayat dan Setyanto,2020).Pelecehan seksual verbal atau sering disebut sebagai catcalling adalah hal yang nyata dan dapat disaksikan oleh panca indra, dan istilah yang paling sering digunakan di Indonesia. Catcalling biasanya dilakukan oleh segerombolan atau kelompok orang, biasanya yang melakukan hal tersebut adalah laki-laki. Keberadaan catcalling yang belum diatur secara khusus dalam undang undang di Indonesia. Saat ini, seringkali dianggap sebagai hal yang biasa dikalangan masyarakat karena berpendapat bahwa perilaku tersebut memang sudah terbiasa terjadi di lingkungan korban pelecehan seksual
Sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa adanya pelaku catcalling dikarenakan faktor dari korban seperti cara berpakaian, bentuk tubuh dan lain sebagainya. Catcalling cenderung memicu bahaya seperti trauma psikologis dan emosi seperti ketakutan, karena perempuan yang di hina secara publik mengalami kerugian psikologis seperti perasaan terdegradasi, malu dan tidak berdaya. (Adnyaswari Dewi,2019)
Diperlukan upaya perlindungan terhadap korban pelecehan untuk memberikan perlindungan dan pencegahan terhadap pelecehan seksual secara verbal yang harus diperhatikan, memberikan ruang kepada korban supaya korban memahami dampak pelecehan dan mau untuk melaporkan hal tersebut demi mengurangi kasus-kasus pelecehan verbal yang terjadi dewasa ini. (Dandi Juliantara dkk, 2021).
Kolerasi Antara Sexual Harassement dengan Mental Pekerja Perempuan di Indonesia
Mengkonseptualisasikan pelecehan seksual sebagai tindakan berkonotasi seksual yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap orang yang terdiri atas tiga dimensi yaitu pelecehan gender (gender harassment), perhatian seksual yang tidak diinginkan (unwanted sexual attention) dan pemaksaan seksual (sexual coercion). (Ryan,2022)
Kejahatan pelecehan seksual itu tidak hanya terbatas pada pemerkosaan dan tindak kekerasan fisik yang dilakukan oleh seseorang, beberapa tindakan yang dilakukan dan menunjukkan pendekatan-pendekatan terkait dengan seks yang tidak diinginkan dapat dinyatakan sebagai tindak pelecehan seksual (Rosyidah & Nurdin, 2018:39).
Catcalling merupakan bentuk pelecehan yang melibatkan pelaku,korban dan hal yang berbau seksual, Dalam masyarakat, peristiwa ini dianggap hal biasa dan sebagai wujud budaya patriarki karena kejadiannya ditempat umum dan melibatkan banyak saksi sehingga ada pewajaran di dalamnya. (Stellarosa dkk, 2018).
Banyaknya pelecehan seksual di tempat umum terutama di tempat kerja, selain faktor internal yang berasal dari pribadi, faktor eksternal salah satunya lingkungan mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan kejahatan yang bisa terjadi.
Membuat para pekerja terutama para pekerja perempuan merasa tidak nyaman dan takut dalam bekerja, sehingga dengan adanya kondisi tempat kerja yang kurang aman akan memengaruhi dan mengurangi keefektivan mereka dalam melakukan pekerjaan. Catcalling juga dilakukan untuk menyebabkan rasa takut dan mendominasi korbannya. (Ellaine, 2018).
Membuat mental korban akan sangat terganggu, menjaga kesehatan mental dan psikis sangatlah diperlukan terutama terhadap korban yang mengalami pelecehan seksual verbal maupun non verbal agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Dampak Negatif Sexual Harassement Terhadap Pekerja Perempuan
Pelecehan seksual tentunya sudah menjadi pembicaraan yang umum terutama dikalangan remaja dan masyarakat zaman sekarang, banyaknya korban yang mayoritasnya adalah perempuan, pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja terutama di tempat kerja, yang biasanya mayoritas pekerja adalah laki-laki, mental pekerja perempuan yang lemah membuat mayoritas laki-laki di Indonesia berfikir bahwa perempuan akan diam saja ketika di lecehkan dan susah untuk melawan. Kesehatan mental kerap mempengaruhi kondisi dan cara bekerja mereka, sehingga banyak sekali perempuan yang kehilangan pekerjaannya.
Adanya pelecehan seksual memiliki dampak yang sangat berpengaruh bagi kehidupan sehari-hari korban, dampak pelecehan seksual adalah dampak negatif yang sampai sekarang ini masih menjadi hal yang sangat dikeluhkan oleh masyarakat, selain itu pelecehan seksual memiliki dampak dalam kehidupan pribadi dan sosial yaitu ditinggalkan teman dekat, merasa dikhianati, hubungan dengan suami memburuk, tidak menyukai sex, sulit jatuh cinta, sulit membina hubungan dengan pria, takut bicara dengan pria, menghindari setiap pria, menurunkan kepercayaan diri, menurunnya motivasi dan lain-lain. Sehingga penderitaan yang di rasakan oleh korban perkosaan seolah tidak ada hentinya tidak hanya terjadi pada saat terjadinya pelecehan seksual. Keadaan tersebut dapat menjadi suatu kenangan buruk bagi korban pelecehan seksual. (Dewi, 2019).
Dampak negatif bagi korban bukan hanya didapatkan dari luar lingkungan, melainkan korban juga mendapatkan perlakuan kekerasan dari orang terdekat, seperti perlakuan pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru, teman dan saudaranya, akan memberi trauma psikologis dan memberi pengaruh negatif bagi pembentukan kepribadianya. (Mulyono, 2018). Trauma psikologis yang dialami terutama pada para pekerja akan sangat membebani mereka dalam melakukan pekerjaan.
Perbedaan Perilaku Korban Sexual Harassement dalam Melakukan Pekerjaan
Bekerja pada zaman sekarang bukan hal yang hanya boleh dilakukan oleh laki-laki saja melainkan juga para perempuan, para perempuan bekerja bukan tanpa alasan melaikan didasari dengan adanya beberapa faktor seperti faktor ekonomi, keluarga atau sekedar hanya mengisi waktu luang, sudah menjadi hal umum perempuan bekerja seperti halnya laki-laki bekerja untuk mencari nafkah, maka dari itu banyak para perempuan berbaur dengan laki-laki di tempat kerja.
- baca juga: Kekerasan Berbasis Gender Online
Hal itu menyebabkan pelaku pelecehan seksual semakin mudah untuk mencari kesempatan dalam hal melecehkan perempuan di tempat kerja, Apapun bentuknya, kekerasan dan pelecehan seksual yang dinormalisasi dapat mengakibatkan lingkungan kerja yang tidak aman dan mengancam bagi pekerja yang menjadi korban dan akan menyebabkan trauma yang sangat mendalam bagi korban, belum lagi korban pelecehan seksual sebelumnya pernah dilecehkan keluarganya atau saudaranya. Korban yang mengalami kekerasan seksual oleh anggota dalam keluarga cenderung mengalami sulit bergaul, perilaku melukai diri sendiri dan tidak mengalami kepuasan seksual (Rini, 2020)
Korban yang baru pertama kali dilecehkan akan merasa kehilangan jati diri dan takut tidak ada satu orangpun yang menerimanya, selain itu ketika korban pelecehan seksual melakukan pekerjaan cenderung kurang fokus dan teliti dalam melakukan pekerjaannya, hal tersebut adalah salah satu dampak yang memengaruhi kondisi psikis korban pelecehan seksual dalam melakukan pekerjaan.
Permasalahan yang terjadi pada korban pelecehan seksual yang bekerja akan berdampak pada pekerjaannya dan kondisi psikis korban seperti adanya setres dalam bekerja. (R.F Damopoli dkk, 2019). Merasa rendah diri, ketakutan, kelelahan, putus asa, malu, sampai merasakan gejala fisik tertentu, seperti nyeri otot, jantung berdebar, hingga susah tidur.
Solusi dalam Menghadapi Mental Korban Sexual Harassement
Tindak pelecehan seksual bisa terjadi di mana dan kapan saja, maka dari itupentingnyaperan orang tua sangat diperlukan dalam membangun karakter anak-anak. Begitupula, kebutuhan psikologis pada anak yang menjadi korban kekerasan seksual tentunya akan berbeda dengan anak pada umumnya. (Fajri & Muslimah, 2020). Hal itu akan mempengaruhi tumbuh kembangnya da ditakutkan akan menjadi pelaku pelecehan seksual.
Biasanya korban pelaku kejahatan seksual tidak terima dengan kejadian yang di alaminya terdahulu sehingga pelaku tersebut melampiaskan hal itu kepada korbannya, agar pelaku melampiaskan hasrat dan dendam pada dalam dirinya setelah perbuatan tersebut pelaku merasa puas dan tidak memungkinkan pelaku ingin mengulangi perbuatan tersebut. (Novrianza & Iman, 2022). Oleh karena itu dibutuhkan solusi dan penanganan khusus untuk menangani kasus pelecehan seksual sejak dini.
Pelecehan seksual bukan hanya berdampak pada fisik, pelecehan seksual juga berdampak pada psikis atau mental korban, adapun solusi yang harus dilakukan adalah Rehabilitasi, disediakan pelayanan hukum, psikologi, perawatan medis, dan pelayanan atau perawatan lainnya serta tindakan untuk memulihkan martabat dan reputasi sang korban. (Arini,2019).
Menurut (Zahirah Utami, 2019) jaminan kepuasan dan ketidakberulangan atas pelanggaran yang menimpanya. Korban pelecehan seksual harus mendapat dampingan dan dukungan dari orang sekitar terutama orang tua, oleh sebab itu, disarankan kepada para orang tua untuk tetap menjaga keluarga di setiap waktu, meluangkan waktu mereka kepada anak agar terciptanya hubungan yang harmonis dan keterbukaan antara orang tua dan anak.
Memantau perilaku dan tumbuh kembang anak akan sangat membantu mereka kedepannya. Memberikan edukasi mengenai pemahaman mengenai pelecehan seksual sebagai pelecehan yang terjadi secara verbal terutama terhadap perempuan merupakan hal yang sangat penting. Target utamanya merupakan calon pelaku serta calon korban agar calon pelaku tidak melakukan pelecehan dan calon korban bisa melapor apabila hal itu terjadi padanya.
Kesimpulan
Fenomena pelecehan seksual sudah terjadi sejak lama dan menjadi sebuah permasalahan besar yang ada di masyarakat Indonesia, pelecehan seksual kurang mendapatkan perhatian karena minimnya edukasi yang menyebabkan ketidaktahuan mengenai pemahaman tentang pelecehan seksual. Masyarakat masi beranggapan bahwa pengaruh pelecehan seksual terutama terhadap perempuan di Indonesia adalah masalah yang sepele.
Faktor meningkatnya pelecehan seksual salah satunya yaitu penyebaran perilaku jahat antar generasi atau korban cenderung berpotensi sebagai pelaku pelecehan seksual dikemudian hari. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan dampak negatif bagi korbannya.
- baca juga: Intimidasi Gender, Sexual Harassment
Pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, baik dari lingkungan terdekat maupun lingkungan luar yang tidak terduga, terlebih lagi zaman sekarang banyak perempuan yag bekerja, hal itu akan menyebabkan para pelaku pelecehan seksual menjadi mudah untuk melakukan aksinya.
pelaku akan melakukan korban dengan cara menyerang atribut seksual yang dimilikinya, penyerangan itu dilakukan melalui ekspresi verbal seperti siulan, suara kecupan dan gestur main mata dengan tujuan untuk mendominasi dan membuat korban merasa tidak nyaman.
Budaya patriarki menempatkan posisi laki-laki di atas perempuan yang menyebabkan ketimpangan di antara laki-laki dan lawan jenisnya yaitu perempuan, adanya ketimpangan dalam relasi kuasa menyebabkan perempuan dianggap sebagai objek. Hal ini menyebabkan kerentanan terhadap perempuan sehingga perempuan menjadi korban dari kekerasan dan pelecehan seksual.
Oleh karena itu, perlunya penanganan yang serius dalam mencegah kejahatan seksual terhadap berbagai lapisan masyarakat. Maka, diperlukannya kerja sama antar semua peran, baik keluarga, masyarakat, negara, bahkan pemahaman spiritual untuk menjaga kesehatan mental dan psikis korban, terutama terhadap korban yang mengalami pelecehan seksual verbal maupun non verbal , sehingga tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Semoga kejahatan semacam ini dapat terselesaikan dengan bantuan semua peran dalam menjaga kestabilan fungsi-fungsi peran tersebut.
Oleh: Ratna Fazira Widya Ningsih Mahasiswa Manajemen, Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Muhammadiyah Malang.
Daftar Pustaka
Fakih, M. (2013). Analisis Gender &Transformasi Sosial. In Pustaka Pelajar. Pustaka Pelajar.
Rosyidah & Nurdin. (2018). Media Sosial Sebagai Ruang Baru dalam Tindak Pelecehan Seksual Remaja”. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi, Vol. 2, Nomor 2.
Arivia, Gadis. (2018). Filsafat Berperspektif Feminist, Edisi Kedua. Cetakan ke-1. 116 117.
Ellaine, Anne. (2018). Catcalling. Agustus 22, 2019. Terarsip di: https://www.scribd.com/document/372292281/Catcalling
Mulyono. (2018). Pengaruh Pelecehan Seksual terhadap Pembentukan Perilaku Transgender pada Tokoh Sasana dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari: Kajian Psikologi Sastra. Jurnal Sastra Indonesia . (JSI). ISSN: ISSN 2252-6315
Stellarosa, Y., Firyal, S. J., & Ikhsano, A. (2018). Pemanfaatan Youtube sebagai Sarana Transformasi Majalah Highend.Jurnal Komunikasi, 2(2), 59–68. https://doi.org/10.31334/ljk.v2i2.263
Susilo, D., & Sugihartati, R. (2019). Being Power and Powerless: Dynamics on Indonesian Women’s Minister. Humanities and Social Sciences Reviews. https://doi.org/10.18510/hssr.2019.756
Dewi, I. A. A. (2019). Catcalling: Candaan, Pujian atau Pelecehan Seksual. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(2), 198–212
R.F Damopoli, A.E Manampiring, D.V Doda. (2019). Hubungan Kekerasan dengan Stres Kerja pada Perawat Unit Gawat Darurat dan Intensive Care Unit Rumah Sakit di Kota Bitung dan Kabupaten Minahasa Utara . Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 8 No. 3, 50 – 59
Sabillah, Arini Sisi. (2019). Dampak Pelecehan Seksual terhadap Anak Usia Dini dan Upaya Penanganannya melalui Perspektif Pekerja Sosial. Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam. Vol.5 No.1. 77-100
Frelians, P. P., & Perbawaningsih, Y. (2020). Media Sosial Ruang Dayak dalam Mereduksi Stigma Kebudayaan Dayak. Jurnal Ilmu Komunikasi, 18(2), 181. https://doi.org/10.31315/jik.v18i2.323
Rini. (2020). Dampak Psikologis Jangka Panjang Kekerasan Seksual Anak (Komparasi Faktor: Pelaku, Tipe, Cara, Keterbukaan dan Dukungan Sosial). Jurnal IKRA-ITH Humaniora.Vol.4 No.3 . 156 – 167
Fajri, R. I., & Muslimah, M. (2020). Hubungan Komunikasi Seksual dalam Keluarga dengan Kecenderungan Perilaku Homoseksual pada Santri. Coution: Journal of Counseling and Education, 1(1), 34–48.
Hidayat, A., & Setyanto, Y. (2020). Fenomena Catcalling sebagai Bentuk Pelecehan Seksual secara Verbal terhadap Perempuan di Jakarta. Koneksi, 3(2), 485. https://doi.org/10.24912/kn.v3i2.6487
Bahri, S. (2021). Model Pengawasan Anak dalam Upaya Pencegahan Pelecehan Seksual di Lingkungan Pesantren. Legalite: Jurnal Perundang Undangan Dan Hukum Pidana Islam, 6(2), 108–109.
Juliantara, Dandi. dkk. (2021). Analisis Viktimologis Pelecehan Seksual Verbal di Wilayah Hukum Kota Malang (Studi di Polresta Kota Malang).Indonesia Law Reform Journal. Vol.1 No.3. Hal 442-453. ISSN : 2776-9259
Novrianza & Iman. (2022). Dampak dari Pelecehan Seksual terhadap Anak di Bawah Umur. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha. Vol. 10 No. 1. 53 – 64
Nugraha, Ryan Aldi. (2022). Kekerasan Seksual dalam Perspektif Dominasi Kuasa.Indonesia Journal of Gender Studies.Vol. 3 No.1. 79-87