“Kemalasan muslim mempelajari Islam secara tradisional-konvensional menjadikan dunia maya sebagai pilihan tepat dalam mengobati kering kerontangnya pemahaman akan keislaman” (Adi Munazir)
Modernis.co, Malang – Rambah digital di era milenial masuk secara massif di berbagai lini kehidupan masyarakat. Kita berada pada masa dimana internet menjadi kawan karib yang begitu intim dengan keseharian manusia.
Salah satu hal yang paling terasa adalah komunikasi yang lebih global, informasi menjadi tanpa sekat (boardless) literasi digital mencuat menjadi gaya hidup yang harus diikuti jika tidak ingin ditinggal zaman. Dalam perkembangannya ranah-ranah khusus seperti keyakinan menjadi milenial dalam praktek dan sudah dapat dipastikan bahwa tidak ada lagi ruang-ruang yang tidak ditembus oleh jaringan digital internet.
Domain agama yang sakral dan privat mengalami semacam gempuran gelombang digital online (online digital wave) yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Kehadiran situs-situs berbagi video dan situs-situs dengan spesifikasi khusus telah menyebabkan praktek beragama dan keyakinan seseorang hadir dengan wajah baru.
Praktek beragama yang kental dalam nuansa ibadah vertikal yang dahulu tertutup rapat kini menjadi terbuka dan gampang viral. Praktek beragama yang selama ini selalu diasosiasikan dengan ramainya rumah ibadah, ramainya tausiyah keagamaan, pengajian-pengajian para ibu-ibu kini juga merambah dalam pertemuan dunia maya yang tergabung dalam grup-grup media sosial dengan tema-tema tertentu.
Seseorang yang menginginkan pengetahuan keislaman akan lebih memilih mencari jawaban di dunia maya sehingga aspek tradisional seperti halnya mendatangi dan berguru kepada orang-orang cerdik pandai perlahan mulai luntur dan bahkan ditinggalkan.
Fenomena ini selaras dengan gagasan yang pernah di dilontarkan oleh Muslim Abdrurrahman salah satu tokoh intelektual Islam Indonesia yang terkenal dengan kalimat Muslim Tanpa Masjid. Masa dimana muslim tidak lagi menempatkan masjid sebagai pusat utama dalam melakukan aktivitas yang berhubungan dengan keagamaan.
Somad’s Effect
Fenomena lain yang saat ini mendapatkan sorotan tajam adalah maraknya para dai kondang yang menghiasi langit digital online Indonesia. Aplikasi media sosial seperti Youtube, Instagram, WhatsApp dan aplikasi lainnya telah menyebabkan panggung-panggung para dai semakin gegap gempita dengan spesifikasi keilmuan yang berbeda-beda misalnya Ustad Abdul Somad, Hanan Attaki, Felix Siau, Ustad Andi Hidayat dan lain sebagainya.
Kemunculan Ustad Abdul Somad akhir-akhir ini memang menggetarkan panggung dakwah Islam Indonesia. Kemalasan muslim memahami Islam secara tradisional-konvensional menjadikan dunia maya sebagai pilihan tepat dalam mengobati kering kerontangnya pemahaman akan keislaman.
Ustad Somad menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mampu menarik masyarakat mendapatkan jawaban pragmatis atas realitas permasalahan yang tengah dihadapi. Uniknya, beliau memiliki kekhasan logat melayu yang kental dengan kalimat-kalimat jenaka yang mengundang gelak tawa.
Ustad Somad sangatlah brilian, kemampuannya menjelaskan pertanyaan-pertanyaan selalu mendasarkan pada pendapat-pendapat ulama-ulama terdahulu lalu kemudian menjelaskan titik temu yang inklusif sehingga tidak menggiring pada kultus pemahaman satu sisi saja.
Geneologi pengetahuan Ustad Somad memang berasal dari Mesir dan Maroko lalu berhasil mengawinkannya dengan model tabligh akbar dalam konteks Indonesia yang selama ini dipraktekkan.
Digitalisasi Beragama
Kemajuan teknologi informasi telah menyebabkan praktek beragama menjadi lebih milenial. Fenomena tersebut sepenuhnya tidaklah salah, mengingat dewasa ini manusia lebih rasional dalam memahami agama sehingga tidak selalu mengedepankan kesolehan konvensional dalam ruang-ruang privat teologis semata. Agama dipandang dari kacamata yang lebih luas sehingga kemajuan teknologi layak dijadikan instrumen dalam menyebar praktek beragama dalam konteks kekinian.
Propaganda praktek beragama seperti seruan sholat subuh berjamaah, seruan melakukan puasa-puasa sunnah, ajakan tabligh akbar dan postingan-postingan yang sarat dengan nilai-nilai teologis adalah beberapa dari contoh bagaimana digitalisasi beragama berjalan.
Dunia maya menjadi alarm yang sangat efektif untuk mengingatkan muslim ditengah-tengah gempuran materialisme, individualisme, digitalisme, narsisme dan isme-isme lainnya.
Dilain sisi, gerakan praktek beragama secara digital menunjukkan bahwa umat Islam menggunakan digital untuk menunjukkan ritual-ritual keagaman ke ruang publik. Mengingat mereka hidup dimana narsisme dan eksistensialisme menjadi nafas kehidupan.
Dalam melakukan propaganda ibadah, gerakan tersebut lebih efektif-efisien serta mampu viral dalam durasi singkat. Sungguh tidak adil (unfair) jika semarak beragama secara digital dituduhkan buruk dan tidak sesuai dengan spirit ibadah yang sesungguhnya. Sebagai seorang muslim kita harus bersikap inklusif bahwa praktek beragama tidak luput dari gejala sosial yang berlangsung dalam setiap masanya.
Yang harus dipahami bahwa digital hanyalah sebuah instrumen yang harus ditundukkan dalam menumbukembangkan nilai-nilai keislaman, Kaidah fiqih juga sudah menetapkan bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah boleh asalkan ada dalil yang melarangnya. Kaidah lainnya juga menekankan bahwa kita diberikan jalan untuk tetap menjaga perihal lama yang baik dengan tetap mengambil perihal baru yang lebih baik.
*Oleh: Adi Munazir (Advokat pada Pancaskusara Law Office)