Problematika Hukum KDRT Di Indonesia

Hukum KDRT

Modernis.co, Malang – Tanpa disadari, sudah sepuluh tahun sejak Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004 (UU PKDRT) berlaku. UU PKDRT disahkan pada 22 September 2004. Undang-undang tersebut lahir dari keinginan negara untuk melindungi hak asasi keluarga, khususnya hak asasi perempuan. Segala bentuk kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap kemanusiaan dan bentuk-bentuk diskriminasi.

Sejak diundang undangkannya, Undang-Undang Penghapusan KDRT No. 23 Tahun 2004 dan berbagai bentuk kejahatan yang berbasis pada kejahatan dalam rumah tangga mulai ramai diperbincangkan dan sekarang kembali muncul lagi kontroversial tentang putusan hakim yang disebabkan oleh KDRT yang ada di Karawang.

Baru-baru ini muncul berita yang disebabkan oleh (KDRT), Valencya (45) tahun, terdakwa dengan kasus tersebut terhadap suaminya, Chan Yung Ching, kaget dengan tuntutan satu tahun yang diajukan jaksa. Adapun sebelumnya Valencya dilaporkan suaminya karena dilnilai melakukan kekerasan psikis. Namun, Valencya menyangka omelannya itu dijadikan bukti saat dia dilaporkan ke polisi.

Ia berpesan “Ini perhatikan ibu-ibu seindonesia, tidak boleh marahi suami kalau suaminya pulang mabuk-mabukan. Harus duduk manis nyambut dengan baik, marah sedikit dipenjara” ungkap valencya usai sidang penuntutan di Pengadilan Negeri Karwang, Jawa Barat, Kamis (11/11/2021)

Valencya juga menyatakan penentangannya terhadap tuntutan ini dan mengakui bahwa dia telah dihukum. “Saya keberatan, Yang Mulia, apa yang dibacakan tidak sesuai dengan fakta. Masa Hanya karena saya memarahi suami saya yang mabuk, saya menjadi tersangka dan dijatuhi hukuman satu tahun penjara”, kata Valencia. Hakim sidang kemudian meminta Valencia untuk menyampaikan keberatannya melalui sidang pembelaan atau pembelaan pada Kamis pekan ini.

Hal ini menjadi pertanyaan kita, begitu parahkah sebuah tuntutan ini sehingga hakim dengan mudah menvonis satu tahun penjara apakah ada alasan tersendiri dari hakim tersebut, karena ini adalah kasus yang sangat mengherankan dan dapat diasumsikan bahwa hakim tidak melihat perbedaan yang signifikan antara istilah “Kekerasan dalam rumah tangga” dan “Penganiayaan” yang diatur dalam hukum pidana.

Selain itu, uraian kejahatan dalam KUHP lebih mudah dipahami daripada uraian kejahatan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Berdasarkan gambaran sederhana ini, tampaknya aparat penegak hukum masih membutuhkan waktu untuk mengkaji dan menyeleksi UU Nomor 23 Tahun 2004. Tahun 2004 dan hubungannya dengan KUHP serta sejauh mana undang-undang tersebut secara lebih luas menggambarkan kejahatan persekusi tersebut.

Menurut UU Kekuasaan Kehakiman, hakim memiliki kekuasaan untuk menafsirkan undang-undang berdasarkan perkara yang diperiksanya. Undang-undang yang merupakan produk perundang-undangan berdasarkan “Kesepakatan bersama” antara DPR dan Presiden, mengandung norma-norma umum.

Apabila kedua belah pihak berselisih atau melanggar norma- norma tersebut, hakim yang berperan memberikan makna teknis yang terkandung dalam kalimat normatif (makna teknis hukum, Istilah hukum), sesuai dengan fakta dan keadaan yang dihadapinya.

Dilihat dari putusan Mahkamah Agung diatas kejahatan-kejahatan yang dapat digolongkan sebagai “kekerasan dalam rumah tangga” ini, kita dapat mengatakan bahwa UU KDRT relatif baru sedangakan departemen kehakiman kita belum dapat sepenuhnya mengkaji dan memahami penetapan konsep KDRT untuk tindak pidana.

Namun, perlu juga dievaluasi bahwa jaksa dan hakim mungkin menemukan bahwa deskripsi kejahatan dalam kekerasan dalam rumah tangga terlalu sederhana atau tidak jelas sehingga tidak mungkin untuk membedakan dengan jelas antara kekerasan fisik dan penganiayaan.

Oleh: Yoga Ahmad Alauddin (Mahasiswa Universitas Muhamadiyah Malang)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment