Modernis.co, Malang – Kita sering difamiliarkan dengan istilah modernisasi atas perkembangan yang dialami oleh manusia sekarang, yaitu perkembangan yang dinilai mengarah menjadi lebih baik dan maju. Sederhananya, modernisasi mempunyai istilah ke arah kontekstualisasi budaya, adat, dan pembaruan alat bantu kerja manusia sehingga dapat memudahkan, meringankan, dan mengefisiensi kinerja manusia.

Walaupun dengan makna positif atas kebaikan karena pembaruan tersebut, baik dalam teknologi, transportasi, maupun infrastruktur namun selalu ada sisi lain yang mendapatkan dampak negatif. Risiko apa yang diterima oleh masyarakat atas percepatan tersebut? Karena pada hakikatnya, percepatan yang tidak diimbangi dengan persiapan yang matang akan selalu memberikan dampak yang tidak diinginkan.
Sebagai contoh, dulu perusahaan diharuskan mempekerjakan karyawan sebanyak mungkin dalam memproduksi komoditinya jika ingin memperbanyak kuantitas produk. Namun, ketika mesin telah ditemukan, maka ada pengurangan karyawan. Bagi karyawan yang tidak memersiapkan diri dan tidak memiliki kemampuan adaptif dalam perubahan, maka dia akan butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi dalam mendapatkan pekerjaan.
Sejarah Modernisasi
Istilah Modernisasi ini mulai dikenal pada sekitar 1650 sampai 1800 saat mulai ditemukannya ilmu pengetahuan modern yang disebut dengan zaman Renaissance. Istilah ini berasal dari kata prancis yang berarti kelahiran kembali.
Istilah ini digunakan untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual yang terjadi di Eropa, khususnya di Italia sepanjang abad ke XV dan ke XVI. Selain itu, istilah lainnya disebut Aufklarung yaitu peralihan dari abad pertengahan ke abad modern.
Prosesnya bermula oleh kungkungan gereja yang membuat masyarakat sulit dalam mengembangkan diri dalam pembaruan ilmu pengetahuan, terutama pertentangan ini terjadi antara gereja dengan masyarakat ilmu yang berujung pada pengucilan masyarakat ilmu. Di sinilah bermulanya paham sekuler yang memisahkan ilmu dari kungkungan agama (kaum gereja).
Perubahan ini pun dipuncaki dengan kurang digunakannya ilmu filsafat. Hal ini disebabkan karena filsafat lebih menggunakan logika sedangkan pengetahuan umum lebih mengedepankan melalui eksperimen. Proses ini ditinjau dari pekembangan yang terjadi di dunia barat.
Berbeda dengan masyarakat Islam, modernisasi yang terjadi dalam umat Islam sendiri disebabkan oleh kesadaran tokoh-tokoh pembaharu atas keterbelakangan Islam dari dunia barat. Modernisasi ini diarahkan pada kontektualisasi pemahaman Islam sesuai dengan perkembangan zaman.
Karena sejak kejatuhan Dinasti Abbasyiah yang sarat dengan munculnya ilmuwan-ilmuwan ternama seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Farizi, dan banyak lagi. Sedangkan saat ini sangat minim pembaharu dan pemikir-pemikir Islam di era modern saat Eropa sudah bergerak lebih dulu.
Modernisasi dalam Kontruksi dan Dekontruksi
Dalam perkembangannya sendiri, kontruksi yang terjadi dalam modernisasi ini sangat memudahkan aspek kinerja manusia. “Produktiftas pembuatan produk yang meningkat, mobilitas manusia yang lebih cepat dengan alat transportasi, dan teknologi seperti internet yang menyebabkan informasi global maupun lokal dapat terakses dengan cepat.” Hal ini menyebabkan kontruksi besar dalam pemikiran, penemuan, dan diplomasi antar Negara.
Disamping itu, dekonstruksi yang terjadi adalah pesatnya terkuras (terasimilasi) budaya lokal di berbagai Negara yang belum siap secara matang dalam menghadapi derasnya pertukaran budaya antar negara oleh globalisasi. Terkhusus kita bisa melihat dari budaya negara kita sendiri, bagaimana desain pakaian, pergaulan, dan cara hidup bermasyarakat yang sentris sangat jauh dengan budaya kita yang sarat akan nilai-nilai leluhur dan keagamaan.
Maka perlu konsepsi yang tertata secara matang agar kebudayaan dan nilai yang ada di bangsa kita tidak hilang tanpa sisa. Lao Zi (Pemikir dan filsuf klasik dari Tiongkok) pernah berkata, “Dalam dunia ini selalu ada hitam dan putih, gelap dan terang. Begitu juga di antara suatu kemajuan, ada hal lain yang mengalami kemunduran.”
Degradasi Nilai dalam Modernisasi
Nilai merupakan suatu pegangan yang dianggap bermakna dan memberikan manfaat bagi para pelaku yang melakukannya. Berbicara nilai memang sangat beragam serta banyak pengklasifikasiannya. Namun, ada beberapa nilai pokok yang menjadi perhatian khusus dikarenakan mulai menghilang keberadaannya dalam masyarakat Indonesia.
Kita bisa melihat dari nilai masyarakat dalam bergotong royong. Sekarang sudah sangat minim bahkan hilang di berbagai daerah Indonesia. Ini menandakan munculnya sikap individualisme dalam masyarakat kita, dimana pada historisnya lebih mengutamakan rasa kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat.
Penyebabnya berupa masuknya budaya global yang tidak diiringi kesiapan rencana, mental, sikap, dan pengetahuan atas budaya kita sendiri sebelum mengenal budaya luar yang berujung pada terkikisnya nilai itu sendiri. Semua diibaratkan dengan jaring sampah di lautan yang menerima semuanya seperti kotoran, ikan, plastik, bangkai, dan lain-lain. Tidak tahu dan tidak peduli apakah itu baik atau tidak.
Penguatan dan Terapi Nilai dalam Modernisasi
Dalam penguatan Nilai sehingga tidak terasimilasi oleh dunia luar, perlu ada perencanaan dan metode preventif mulai anak-anak di usia dini karena pendidikan atas penanaman nilai itu dapat lebih mudah dilakukan saat mulai pertumbuhan. Ibarat teko yang masih kosong bersih dan mudah diisi.
Tahap ini bisa dilakukan sejak balita sampai sekolah dasar dalam pelaksanaannya. Filterisasi nilai yang akan masuk kepada anak dilakukan agar dapat membatasi nilai yang tidak diinginkan karena anak-anak belum bisa menganalisis dan memilah mana yang baik dan buruk.
Untuk tahap perbaikan dalam istilah lain terapi dapat dilakukan dengan rehabilitasi konsep pemahaman masyarakat yang sudah mengalami pengurangan nilai itu sendiri.Hal ini bisa dilakukan dalam aktivitas belajar mengajar di Institusi Pendidikan, kegiatan Pemerintah, dan acara keagamaan serta aktivitas masyarakat.
Pengayaan dan pelatihan sangat berguna bagi masyarakat ditengah modernisasi saat ini. Kenapa?, Karena hampir seluruh masyarakat indonesia belum mengenal budaya dan nilai bangsanya sendiri secara utuh sedangkan budaya dari dunia luar sudah masuk di tengah masyarakat Indonesia.
Oleh: Arif Rahman Hakim (Kader IMM Malang Raya)