Modernis.co, Lamongan – Sila pertama ini merupakan sila yang paling disoroti oleh golongan Islamis pasca 18 Agustus 1945. Pada awalnya, berdasarkan Piagam Jakarta (Jakarta charter) sila pertama tersebut berbunyi “ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya.” Pada tanggal 21 Juni 1945, poin ini sudah disepakati oleh panitia sembilan dan telah ditandatangani, termasuk Mr. A. Maramis, wakil dari Kristen.
Sila pertama tersebut kemudian berubah ketika yang katanya seorang opsir Jepang dari Timur mendatangani Bung Hatta meminta agar sila pertama dirubah, sebab jika sila pertama tetap seperti apa yang ada pada piagam Jakarta, maka masyarakat Indonesia bagian Timur mengancam untuk memisahkan dari Republik yang baru sehari diproklamasikan kemerdekaan ini.
Awal mulanya sangat alot, Ki Bagus Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah yang duduk di Panitia sembilan, menolak mati-matian agar sila pertama tetap seperti apa yang ada pada piagam Jakarta. Bujuk demi bujuk, dengan menjanjikan bahwa nanti bisa dirubah lagi lewat Majelis Konstituente, Ki Bagus Hadikusumo pun akhirnya takluk dan menerima sila pertama tersebut dihapuskan kemudian diganti. Yang menarik, yang membuat luluh Ki Bagus adalah Kasman Singodimejo.
Ketika tokoh-tokoh yang lain, termasuk Bung Hatta, gagal menyakinkan Ki Bagus, akhirnya dipilihlah Kasman untuk membujuk Ki Bagus. Dipilihlah Kasman Singodimejo ialah karena Kasman adalah sahabatnya di Muhammadiyah.
Fakta berbicara lain, apa yang dijanjikan oleh para Ulama, baik Muhammadiyah maupun NU kepada Ki Bagus Bahwa sila pertama bisa dikembalikan lagi kepada point piagam Jakarta ternyata hanya isapan jempol. Hal tersebut karena manuver politik dari kalangan Nasionalis dan Komunis yang saat itu sedang berusaha mati-matian untuk mematikan langkah para ulama yang selama ini gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sekaligus menjadikan Islam sebagai landasan utama berbangsa dan bernegara.
Sila pertama telah abadi, abadi dengan kalimat persatuan “Ketuhanan yang Maha Esa.” Jika diamati, memang kalimat ini lebih umum dan lebih luas maknanya ketimbang point yang ada pada piagam Jakarta. Dengan kalimat yang demikian, keberagaman yang ada di Indonesia bisa dipersatukan dan dipadukan sehingga berhasil menciptakan simponi keutamaan yang harmonis, penuh solidaritas kekeluargaan serta sikap saling gotong royong bagi setiap elemen bangsa tanpa pandang Agama dan suku.
Sekarang yang menjadi masalah adalah, bagaimana cara rakyat negara ini untuk menjiwai sila pertama ini? 17 Agustus yang akan datang, genap sudah bangsa ini berusia 77 tahun. Sebuah usia matang jika disamakan dengan usia manusia atau bahkan bisa dianggap sudah sangat sepuh. Namun dibalik kesepuhan tersebut, kita masih dibayangi pertanyaan, apakah sila pertama ini sudah benar-benar dijiwai oleh segenap elemen bangsa Indonesia?
Hari ini kita masih menjumpai bentrok antar umat beragama. Di Tolikara, masjid dibakar. Di Tanjung Balai, Wihara diamuk masa. Bahkan yang ingin pisah dari NKRI pun masih ada sampai sekarang dan tak kunjung terselesaikan seperti kaus RMS dan Papua. Kemana sila pertama Pancasila pergi?
Tugas kita sebagai Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah, kembali menjiwai sila pertama ini. Kembali merumuskan tafsir yang tepat. Kembali berpikir jernih dan berkomitmen, bahwa dengan memahami sila pertama ini, konflik antar agama akan bisa diminimalisir.
Kita semua yakin dan percaya, bahwa tiap-tiap ajaran agama telah memberikan kebebasan pada manusia untuk memilih jalannya. Kita percaya pula, bahwa tiap agama melarang keras menghujat agama lainnya, menghina tuhannnya, melecehkan prinsipnya, merendahkan orangnya, dan mencederai kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di usia yang 77 ini, mari kita memulai lembaran baru kehidupan negara ini dengan kehidupan yang saling toleran, saling menghargai sesama umat beragama. Sungguh-sungguh menjiwai sila pertama dengan menjalankan syariat agama masing-masing dengan sungguh-sungguh, sila pertama Pancasila akan terpatri kuat dalam jiwa sanubari masyarakat Indonesia.
Oleh: Fathan Faris Saputro (Founder Rumah Baca Api Literasi)