Islam dan Masa Depan Moderasi Beragama

terlelap tidur

Modernis.co, Malang – Sebelum membahas tentang moderasi Islam (moderasi beragama). Saya sangat tertarik dengan apa yang ditulis oleh Hasnan Bachtiar (Islam tidak perlu Dimoderasi, tapi Moderasi Penting !) yang dimuat dalam Ibtimes.id. Bahwa Islam tidak perlu untuk dimoderasi. Islam itu sendiri secara inheren adalah agama yang “tengahan” (wasathan). Bahkan, Nabi Muhammad adalah panutan dalam segala hal yang perilakunya  “tengahan” bagi umat manusia.

Lanjutnya, Moderasi itu penting. Bukan Islamnya yang ingin ditengahkan. Tetapi ajaran, doktrin, pemikiran, tafsiran dan pemahaman Islam yang cenderung bertentangan dengan nilai-nilai universal Islam. Dalam hal ini, yang perlu dimoderasi adalah cara berfikir, cara beragama, konra-perdamaian, cinta, welas asih, persaudaraan, keadilan, kemanusiaan dan sederat nilai kebajikan lainya.

Sumbangsih Kaum Islamis dan Agenda 1998

Salah satu gagasan yang diperbincangkan dan diperebutkan pemaknaaanya adalah demokrasi. Agenda tersebut tejadi pasca mundurnya soeharto pada tahun 1998, peristiwa tersebut telah membuka jalan baagi seluruh lapisan masyarakat untuk berperan aktif dalam merekonstruksi dan mendefnisikan ulang apa yang disebut sebagai kemaslahatan dan kebajikan publik (public and common good).

Hal tersebut tebukti dengan hadirnya gerakan Islamis seperti MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), FKAWJ (Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jama’ah) dan yang lainnya yang telah muncul ke permukaan, dengan membawa agenda politik masing-masing guna mengusung Islam ke dalam struktural negara menggantikan Pancasila, sebagai landasan filosofis negara.

Proses tersebut mengingatkan kita akan zaman multi-partai di tahun 1950-an. Banyak partai politik Islam yang menjamur dalam masa transisi ini. Agenda penting mereka adalah bagaimana Piagam Jakarta dimasukkan dalam draft pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Meskipun hasilnya nihil, tetapi usaha tersebut patut diapresiasi dan diacungi jempol.

Karena sadar usaha-usaha tersebut tidak membuahkan hasil, maka orientasi gerakan mereka mulai berubah. Seperti masuk dalam struktural negara dalam jumlah banyak, perjuangan kultural (mengislamkan masyarakat dari bawah). Meskipun usaha untuk mendirikan negara Islam gagal, mereka meyakini bahwa nilai-nilai Islam akan terlembagakan dengan sendirinya. Siapa yang akan melembagakan?

Merujuk Pradana Boy (Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia), bahwa mereka terjebak dalam romantisme masa lalu yang berlebihan. Mereka tidak hanya merujuk kepada Nabi SAW, agenda formalisasi syari’ah juga sering dirujukkan kepada upaya-upaya serupa yang pernah terjadi dalam sejarah modern Indonesia melalui gerakan-gerakan yang dimotori oleh Ahmad Kartosuwiryo dan Daud Bureureuh. Romantisme itu juga kemudian melupakan fakta bahwa di belahan negara lain, formalisasi syari’ah Islam juga selalu mengundang problem pada level masyarakat.

Bahkan negara yang mereka rujuk juga berada diujung tanduk, akibat konflik sosial-politik yang disebabkan perbedaan penafsiran terhadap agama. Seperti Sudan, Afghanistan dan Pakistan

Dari Ekstrimisme Menuju Moderatisme

Merujuk Azyumardi Azra (2020) menegaskan bahwa “Masa depan Islam tidak ada yang lain kecuali Islam wasathiyah, Islam yang menjadi rahmatan lil ‘alamin; bukan hanya untuk kaum muslim, tetapi juga bagi umat beragama lain dan bahkan untuk alama semesta dengan segala mahluk”.

Dengan melihat perjuangan dan kegigihan kaum Islamis dalam memperjuangkan idoelogi Islam yang mereka yakini tersebut. Maka perlu kiranya kita memperlakukan mereka dengan cara yang baik pula (beradab dan berkeadaban). Karena percuma menghabiskan tenaga dalam agenda balas dendam yang tidak berkesudahan.

Dalam hal ini, kita harus berusaha memoderasi siapapun dengan akhlak dancara yang baik (beradab dan berkeadaban). Dalam artian, tidak boleh saling berbalas dendam, pengkafiran dibalas pengkafiran, atau bahkan kekerasan dibalas kekerasan dsb.

Moderasi dan Kontestasi Kebaikan

Semua pihak harus berusaha jujur kepada diri, kelompok ataupun golongan. Sejauh mana kita memoderasi perbedaan-perbedaan yang muncul dalam kehidupan kita. Kita harus mengubah cara pandang beragama yang kolot, destruktif, bermuatan politik primordial yang ekstrem dan serakah serta main, serta main hakim dan menang sendiri.

Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama (NU) adalah garda terdepan dalam moderasi Islam (moderasi beragama). Kedua organsisai ini memiliki lembaga pendidikan yang sangat banyak. Melalui lembaga-lembaga pendidikan tersebut semoga para generasi muda dididik sejak dini untuk menjadi para agensi moderasi.

Dengan demikian, siapapun harus diperlakukan secara manusiawi tanpa memandang suku, ras, agama dan latar belakang apapun. Karena moderasi Islam (moderasi beragama meniscayakan perbedaan.

Oleh : Mahdi Temarwut (Mahasiswa Hukum Keluarga Islam, Universitas Muhammadiyah Malang)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment