Modernis.co, Malang – Indonesia pada tahun 2021 menjadi negara tertinggi ke-4 di Benua Asia dan urutan 19 di dunia dengan menembus 900.000 kasus Covid-19. Pemerintahan Indonesia dengan program-programnya terus berusaha untuk menanggulangi kasus Covid-19, mulai dari mengampanyekan 3M, PSBB, hingga yang terbaru program Vaksinasi.
Program Vaksinasi bukanlah hanya dilakukan di Indonesia, tetapi juga dilakukan dibanyak negara. Walaupun bukan jalan satu-satunya dan utama untuk memberantas Pandemi Covid-19. Namun jalan ini dianggap dapat meminimalisir penambahan kasus terjangkitnya virus. Apakah Pemerintah dapat menyelenggarakan program vaksinisasi ini?. Bagaimana jalan yang ditempuh Pemerintah serta tanggapan terhadap kebijakan tersebut?.
Vaksinasi Korona, manfaat serta pro terhadapnya
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan bahwa Indonesia akan menyediakan 7 vaksin dari yang berasal dari 7 produsen yang berbeda dengan tujuan untuk vaksinisasi nasional. Vaksin yang disediakan Kemenkes berkisar sebanyak 329,5 juta dosis dari seluruh produsen. Tujuh produsen vaksin tersebut antara lain Bio Farma, Sinovac, Oxford-AstraZeneca, China National Pharmaceutical Group Corporation (Sinopharm), Moderma, Novavax, dan Pfizer-BioNTech.
Pada hari senin tanggal 11 Januari 2021, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah memberikan persetujuan penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) untuk persetujuan penggunaan vaksin Covid-19. Vaksin pertama yang diberikan izin tersebut adalah vaksin CoronaVac produksi Sinovac Biotech Inc, yang bekerja sama dengan PT. Bio Farma.
Persetujuan penggunaan vaksin Covid-19 dalam kondisi kedaruratan (EUA) selain dilakukan di Indonesia juga dilakukan di semua negara. Penerapan ini (UEA) dilakukan oleh semua Otoritas Regulatori Obat di seluruh dunia dengan tujuan yang sama yaitu untuk mengatasi pandemi Covid-19, menurut Dr. Penny K Lukito (Kepala BPOM) dalam jumpa pers, 11/1/2021.
Pemberian persetujuan ini juga diberikan setelah menimbang beberapa alasan dan kondisi, yaitu pertama, telah ditetapkan keadaan kedaruratan kesehatan masyarakat oleh Pemerintah.
Kedua, terdapat cukup cukup bukti terkait aspek keamanan dan khasiat dari vaksin untuk mencegah, mandiagnosis, atau mengobati penyakit keadaan serius dan mengancam jiwa.
Hasil uji klinik vaksin (Sinovac) fase 3 (fase 1 & 2 di Tiongkok selama 6 bulan pemantauan) di Bandung menunjukkan hasil baik, yaitu memiliki efikasi (kemanjuran) sebesar 65,3 persen dengan tingkat antibodi yang dihasilkan setelah 3 bulan penyuntikan masih tinggi sebesar 99,23 persen. Uji klinik ini juga dilakukan di Turki dengan efikasi vaksin sebesar 91,25 persen, serta di Brazil sebesar 78 persen (standar WHO mininal 50% efikasi).
Ketiga, obat/vaksin memiliki mutu yang memenuhi standar yang berlaku serta cara pembuatan Obat yang baik. Untuk menjamin mutu vaksin Sinovac, BPOM melakukan evaluasi terhadap mutu vaksin, yang mencakup pengawasan mulai dari bahan baku, proses, hingga penilaian mutu vaksin secara standar Internasional.
Keempat, memiliki kemanfaatan lebih besar dari pada risiko. Hasil evaluasi menunjukkan keamanan vaksin dengan kejadian efek samping yang ringan hingga sedang seperti nyeri, iritasi, kemerahan, dan pembengkakan dan efek samping sistemi berupa nyeri otot, falatigue (kelelahan) dan demam.
Efek samping tersebut dapat dipastikan bukan efek samping berbahaya dan dapat pulih kembali. Dan kemanfaatan vaksin dalam pembentukan antibodi dalam membunuh atau menetralkan virus (imunogenisitas) yang dilihat dalam uji klinik di Tiongkok.
Terakhir, masih belum terdapat alternatif pengobatan/penatalaksanaan yang memadai dan disetujui untuk diagnosis, pencegahan, atau pengobatan penyakit penyebab di berlakukannya poin pertama.
Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan izin bahwa vaksin tersebut halal dan suci, yaitu fatwa MUI No. 02 tahun 2021 tentang produk vaksin Covid-19 dari produsen Sinovac LIFE SCIENCES CO.LTD. China dan PT. Bio Farma (Persero).
Maka dari itu, Pemerintah secara resmi memulai program vaksinasi Covid-19 yang akan diberikan kepada masyarakat Indonesia secara gratis. Pemerintah menargetkan vaksinasi pada 70 persen penduduk Indonesia atau sekitar 181,5 juta jiwa dengan tujuan agar dapat mencapai kekebalan komunal atau herd immunity.
Adapun syarat penerima vaksin yaitu tidak memiliki riwayat konfirmasi Covid-19, bukan wanita hamil dan menyusui, berusia 18 hingga 59 tahun, tidak menderita penyakit jantung, masih banyak lagi (cek laman Covid19.go.id).
Program vaksinasi ditandai dengan pemberian vaksin pertama kepada Presiden RI Joko Widodo di Istana Merdeka dengan diikuti oleh sejumlah perwakilan dari berbagai latar belakang, Rabu (13/01/2021) lalu. Program ini rencananya akan dilaksanakan secara empat tahap.
Pada tahap pertama dan kedua perlaksanaan Januari hingga April 2021, dengan sasaran garda terdepan (Tenaga kesehatan) dan Petugas pelayanan publik. Sedangkan tahap ketiga dan keempat dilaksanakan April hingga Maret 2021, dengan sasaran masyarakat rentan dari aspek geospasial, sosial, dan ekonomi serta tahap keempat untuk masyarakat umum dan pelaku ekonomi, ujar Reisi Brotoasmoro (Juru Bicara Vaksinisasi Covid-19).
Kontra serta Permasalahan dalam Proses Vaksinasi
Keluarnya persetujuan penggunaan vaksin Sinovac dalam kondisi kedaruratan (UEA) oleh BPOM, mengundang banyak perhatian mulai dari tanggapan positif hingga negatif, tanggapan menerima/pro hingga menolak/kontra. Tanggapan kontra terhadap vaksinasi yang diselenggarakan Pemerintah bukan tanpa alasan, beberapa alasan kontra tersebut seperti :
Pertama, Uji klinik vaksin fase ke-3 oleh Bio Farma belum sepenuhnya selesai. BPOM terkesan terlalu percaya diri dan terburu-buru dalam pengambilan keputusan. BPOM menganggap sudah cukup dengan hasil efikasi vaksin yang telah memenuhi standar WHO, tidak ada dampak yang serius , serta argument-argumen yang telah disebutkan sebelumnya.
Akan tetapi bukankah lebih aman lagi jika kebijakan menunggu hasilnya selesai dan perlunya memandang pengalaman tentang vaksinasi sebelumnya. Yaitu vaksinasi Folio untuk Antipolio mengakibatkan lumpuh layu di Sukabumi, vaksinasi Kaki Gajah di Majalaya mengakibatkan kematian 12 orang yang mana vaksin ini ditolak oleh India dan Afrika, ujar Ribka Tjiptaning (Anggota Komisi IX DPR RI) menceritakan pengalaman waktu masih menjabat sebagai Ketua Komisi.
kedua, keluarnya kebijakan tersebut bertepatan satu hari setelah pernyataan Presiden yang berkeinginan untuk vaksinasi. Sehingga membuat perubahan persepsi yakni bahwa kebijakan BPOM berdasarkan pada kemauan Presiden, bukan karena argument-argumen di atas.
Dan ketiga, respons dari Netizen di Indonesia pada saat vaksinasi yang dilakukan Pemerintahan Rabu pagi 13 Januari 2021. Mata Netizen tertuju pada tangan Dokter yang menyuntik Presiden yang terlihat gemetar. Dokter tersebut ialah Prof. dr. Abdul Muthalib yang merupakan Wakil Ketua Dokter Kepresidenan. Menyutik Presiden saat live apalagi orang yang pertama divaksinasi tetapi itu bukan masalah karena Pak Presiden tidak merasa sakit, ungkap beliau.
Namun respons dari Netizen dengan #rezimrekayasa menjadi trending 1 topik di Twitter pada hari vaksinasi. Ada kecurigaan pada kejadian itu apakah Dokter yang menyuntik Presiden itu takut pada apa yang disuntikannya.
Ketentuan Hukum
Ketentuan kebijakan penggunaan Vaksin Sinovac oleh BPOM dan Fatwa MUI merupakan kebijakan atas izin penggunaan vaksin, bukan dalam artian ada persetujuan “secara sepihak” dari kebijakan tersebut bagi para calon pengguna vaksin. Hal ini bukanlah terkait permasalahan-permasalahan antara pro dan kontra di atas atau bukan juga sebab menerima atau bahkan takut terhadap isi dari suntikan vaksin tersebut.
Akan tetapi permasalahan ini mengenai persetujuan yang berkenaan dengan hak bagi calon pengguna vaksin untuk menggunakan haknya atau bahkan tidak tanpa harus ada paksaan.
Dalam undang-undang no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, disebutkan pada pasal 4 bahwa “Setiap orang berhak atas kesehatan”. Pasal ini menjelaskan bahwa kesehatan merupakan hak atas setiap orang. Hak atas kesehatan juga termasuk dalam jaminan HAM pilihan individu yang mana apabila terjadi pemaksaan atau ketidaksetujuan akan melanggar HAM.
Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam UU yang sama pada pasal 5 ayat 3 berbunyai “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya”.
Dan dalam pasal berikutnya (9) menjadi kewajiban setiap orang ikut mewujudkan, mempertahankan, membina, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Yakni kewajiban bagi setiap individu pada kondisi Covid-19 sekarang ini adalah menjaga protokol kesehatan dengan menjalankan 3M (Mencuci tangan, Memakai masker, Menjaga jarak dengan menghindari kerumunan)
Menjaga protokol kesehatan merupakan kewajiban yang telah diatur dalam Surat Edaran (Satuan Tugas Penanganan Covid-19) No. 1 tahun 2021. Hal tersebut amatlah penting untuk diberlangsungkan karena dapat mencegah penyebaran Covid-19.
Adapun kebijakan mengenai kewajiban penggunaan bagi setiap warga negara masih belum diberlakukan. Pertanyaanya apakah Pemerintah dapat melakukan kebijakan seperti demikian?. Pemberlakukan kebijakan ini dapat berlaku apabila Pemerintah (Presiden dan Kepala Daerah) mendeklarasikan bahwa keadaan negara dalam status darurat, yaitu berdasarkan UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Dan sekarang ini Pemerintah telah menetapkan Negara Indonesia dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat dalam Keppres No. 11 Tahun 2020 serta menetapkan tentang Pengadaan Vaksin Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pendemi C0VID-19.
Perlu diketahui kebijakan Pemerintah di atas belum termasuk penerapan sangsi bagi yang menolak vaksinasi, kecuali Perda Jakarta No. 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19, namun peraturan tersebut dianggap bertantangan dengan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM (jauh sebelum Sertifikasi vaksin BPOM dan Fatwa MUI).
Pada akhirnya sebaik-baik jalan keluar permasalahan vaksinasi ini ialah kebijakan atau jalan keluar yang bisa membuat rakyat tidak risau terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah atau dengan kebijakan yang tidak menghilangkan hak dan kewajiban dari Pemerintah dan rakyat. Atau bahkan Pemerintah perlu lebih terbuka lagi kepada rakyat sehingga tidak ada prasangka dan isu-isu buruk yang menyerang Pemerintah.
Dan pada akhir artikel ini, penulis bukan bertujuan untuk mempropokasi atau mengkritik Pemerintahan. Bukan juga untuk menilai apakah vaksinasi layak diterima atau bahkan harus ditolak. Semua itu kembali lagi kepada pilihan individu masing-masing dan kebijakan serta jalan keluar yang disediakan Pemerintah.
Penulis hanya bertujuan untuk membuka pikiran tentang vaksinasi dan berharap dengan ini pembaca dapat secara bijak dalam menanggapi program serta kebijakan Vaksinasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia.
Oleh : Ja’far (Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam UMM)