Modernis.co, NTT- Menjadi remaja yang tangguh tentunya akan membutuhkan kesehatan mental sebagai modal dasar, Dengan mental yang sehat dapat membuat seseorang merasa tenang dan dapat berpikir secara jernih sehingga mampu menjadi versi terbaik dalam dirinya. Kesehatan mental banyak dipengaruhi oleh peristiwa yang pernah ia lalui.
Peristiwa buruk yang terjadi juga dapat membuat mental seseorang terganggu yang dapat mempengaruhi pola pikir dan respon seseorang terhadap situasi yang dialami. Menyakiti diri sendiri atau yang bisa disebut dengan self harm merupakan perilaku yang tidak wajar di mana perilaku self-harm ini dapat merugikan diri sendiri baik secara mental maupun fisik.
Hal ini biasanya terjadi akibat suatu masalah di mana mereka sulit memahami atau mengekspresiakan emosinya, belum sembuh dari trauma, masalah keluarga, merasa kesepian, dan juga bingung dengan masalah hidup baik di lingkukan sosial maupun dalam lingkungan pertemanan. Beberapa contoh tindakan self harm adalah seperti menyayat tangan, membenturkan bagian kepala ke dinding, membakar bagian tubuh tertentu bahkan sampai ada yang mengkonsumsi narkoba.
Gangguan mental dapat menimbulkan berbagai emosi negatif seperti rasa takut, cemas, dan halusinasi yang berlebihan di mana jika hal tersebut sering terjadi maka dapat berpotensi pada munculnya perilaku menyakiti diri sendiri bahkan bunuh diri. Penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) tahun 2018 berjudul “Stress in America: Generation Z ” menyebutkan bahwa remaja dan pemuda saat ini berumur 15-21 tahun memiliki kesehatan mental terburuk dibandingkan dengan generasi lainnya (Haryadi,2019).
Erickson (2008) mengatakan bahwa remaja sebagai periode pembentukan identitas dan pemisahan dari orang dewasa. Ketika remaja berusaha untuk memperkuat identitas dengan mengembangkan peningkatan otonomi dari orang tua, dalam beberapa konteks mereka sering kali terlihat mundur, menjadi lebih tergantung, dan membutuhkan perawatan yang menenangkan. Hal ini terjadi karena semakin luas lingkungan pergualan artinya semakin besar tantangan yang harus dihadapi.
Sementara disisi lain remaja masih perlu mengembangkan berbagai keterampilan untuk bertahan dan berkembang diantaranya keterampilan memecahkan masalah dan pengelolaan emosi (Hazen, Scholozman, dan Beresin 2008) perkembangan sendiri bukanlah peroses lienar Data senada diperoleh dari seorang dokter spesialis kesehatan jiwa di RSUD dr Soetomo, Dr. dr Yunias Setiawati SpKJ (K) menyampaikan bahwa dalam seminggu rata-rata sepuluh pasien remaja datang dalam kondisi sudah menggores tangan, mencakar, ataupun membentur diri ke tembok.
Para remaja tersebut rata-rata berusia (13-15) tahun (Ginanjar,2019). Jumlah riil pelaku self harm sangat sulit diindekasi. Akan tetapi, pelaku yang akhirnya mencari pertolongan baik dengan mendatangi rumah sakit ataupun lembaga kesehatan mental diperkirakan tidak mencapai 50% dari total perilaku self-harm.
Dalam mengatasi perilaku self harm dapat dilakukan dengan berbagai cara serta dukungan. Akan tetapi, keinginan dari dalam diri sendiri merupakan sumber utama yang akan membantu seseorang remaja berhenti dari perilaku tersebut. Di samping itu peran orang tua, lingkungan sekolah serta teman juga merupakan sumber daya terpenting dan merupakan bantuan pertama untuk individu tersebut.
Berbicaralah dengan orang yang paling dipercaya dan membuat individu itu merasa nyaman menceritakan apa yang ia alami. Pelaku self-harm juga dapat mengonsultasikan masalahnya dengan psikolog dan pskiater. Kemudian, pelaku harus mencari cara lain untuk melampiaskan perasaannya. Misalnya dengan menulis, menggambar, bernyanyi, olahraga, dan mendengarkan lagu favorit (sehatq.com).
Oleh : Inas Majidah LA (Mahasiswa NTT)