Pilkada dan Money Politic di Tengah Pandemi

Money Politic

Modernis.co, Malang – Pilkada merupakan salah satu agenda rutin yang dilakukan dalam jangka 5 tahun sekali. Lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dijadikan sebagai landasan normatif dalam penerapan pelakasanaan Pilkada secara langsung. Menariknya, pemilihan Kepala Daerah pada tahun 2020 ini dilaksanakan ditengah pandemi Covid-19 yang masih belum menunjukkan penurunan.

Pandemi Covid-19 yang disebut sebagai bencana skala nasional telah memberikan dampak yang besar terhadap kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Bukan hanya dalam sektor kesehatan tetapi juga pada sektor-sektor lain di masyarakat, salah satunya adalah sektor ekonomi. Namun hal ini tidak menyurutkan niat pemerintah untuk tetap melaksanakan Pilkada di tengah pandemi. Tentu dengan diiringi aturan protokol kesehatan yang ketat sebagai antisipasi kemungkinan penularan Covid-19.

Diselenggarakannya Pilkada di saat ekonomi masyarakat yang turun drastis,  secara otomatis akan membuka ruang suburnya praktik politik uang dalam Pilkada. Perlu kita ketahui, bahwasanya masalah tindak pidana politik uang ini telah diatur dalam pasal 523 ayat (1) sampai dengan (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu, yang dikategorikan menjadi tiga yaitu: saat kampanye, masa tenang dan pemungutan suara.

Praktek Money Politic

Beriringan dengan semakin melemahnya perekonomian masyarakat, tentunya fenomena politik uang akan sangat terasa terhadap preferensi politik masyarakat. bahkan cara ini dijadikan sebagai senjata utama oleh para kandidat yang bertarung di dalam kontestasi Pilkada. Uniknya, fenomena politik uang saat ini dilakukan secara door to door. Di mana setiap kandidat memiliki wilayah kekuasaan kampanye di daerah.

Masa kampanye adalah situasi yang kerap dijadikan praktik penerapan politik uang ini. Masa yang seharusnya merupakan ajang penunjukkan visi dan misi membangun daerah malah dialihfungsikan sebagai ajang pembelian suara warga dalam partisipasi Pilkada.

Salah satu pertimbangan peralihan mekanisme Pilkada oleh DPRD menjadi Pilkada langsung adalah untuk memangkas politik uang (money politic). Logikanya, para kandidat tidak bisa membeli suara rakyat yang jumlahnya banyak. Namun realitanya, dalam sistem Pilkada langsung pun masih kerap terjadi politik uang, meskipun dengan biaya yang mahal. Biasanya para calon yang tidak mempunyai dana akan mencari pengusaha sebagai investor politik untuk memodali saat ajang kontestasi Pilkada.

Logikanya, mereka yang memiliki hutang kepada investor politik, akan membalas jasa dengan berbagai konsensi pasca Pilkada dan pada akhirnya akan meminggirkan aspirasi masyarakat. Kondisi inilah yang memicu timbulnya korupsi dikalangan para oknum kepala daerah. Pasca Pilkada yang harusnya digunakan untuk merealisasikan visi misi akan beralih fokus pada pengumpulan dana pengembalian modal ketika pencalonan.

Ongkos politik yang dikeluarkan ketika masa pencalonan biasanya diganti dengan uang rakyat yang ada dalam APBD atau dengan berbagai kebijakan penguasa yang lebih berpihak pada keuntungan investor politik.

Suburnya praktik politik uang tidak lepas dari cara pandang masyarakat yang permisif terhadap politik uang tersebut. Dalam proses demokrasi di Indonesia, permainan politik uang dianggap sebagai hal wajar dan bahkan ditunggu-tunggu kehadirannya oleh masyarakat. Masyarakat tidak menyadari bahwa politik uang ini akan merusak tatanan demokrasi dan memicu timbulnya oligarki politik.

Pemberian edukasi dan sosialisasi politik perlu dilakukan oleh penyelenggara Pemilu terhadap masyarakat. Hal ini dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya memilih pemimpin yang ideal untuk lima tahun ke depan, bukan sosok dermawan yang hadir sesaat ketika kampanye saja. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menggandeng para tokoh agama, masyarakatt sipil dan perguruan tinggi.

Untuk membangun Pilkada yang berintegritas, maka perlu juga adanya sanksi yang tegas dari pemerintah melalui regulasi Pemilu yang ada. Sanksi inilah yang kemudian dapat mengakomodir segala keluhan tentang politik uang dan mendewasakan pandangan masyarakat terhadap politik praktis tersebut.

Pada akhirnya sebagai masyarakat yang baik, perlu bersikap kritis dan berfikir rasional dalam merespont segala dinamika yang terjadi. Begitupun untuk para calon pemimpin, untuk menjadi pemimpin yang baik dan ideal harus didasari dengan kejujuran dan keinginan membangun daerah. Sehingga, agenda Pilkada bukan dijadikan sebagai ladang pemasukkan individu tapi wadah aspirasi untuk membangun kemajuan daerah.

Oleh: Dita Apriyanti (Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Malang)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment