Konstitusionalitas Pemerintah dalam Penanganan Wabah Covid-19

Konstitusionalitas Pemerintah

Modernis.co, Malang – Pada saat ini Indonesia telah di landa dengan adanya wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), maka dalam menangapi masalah wabah ini Presiden Joko Widodo melakukan tiga hal sesuai amanat Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Yang Pertama, menetapkan Covid-19 menjadi darurat kesehatan nasional melalui keputusan Presiden.

Kedua, memilih instrumen Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) untuk mengatasi keadaan darurat dengan mengeluarkan sebuah peraturan pemerintah (PP). Ketiga, memerintahkan Mentri Kesehatan (Menkes) untuk mengeluarkan Peraturan Mentri Kesehatan (permenkes) tentang pedoman pelaksanaan PSBB.

Akan tetapi jika dilihat dari prespektif Hukum Tata Negara darurat (constitusional law in a states of emergency), ketiga produk ini ada permasalahan.

  1. Ketidak pastian Hukum kabijakan Pemerintah dalam penanganan wabah Covid-19
    Keppres penetapan darurat kesehatan nasional tidak meyebutkan kapan keadaan darurat ini berakhir. Secara konstitusional presiden memang diberikan kewenangan untuk menyatakan dan menetapkan keadaan bahaya atau darurat nasional dan bisa dilakukan melalui Keppres. Akan tetapi dalam kajian hukum tata negara darurat, kewenangan presiden dalam menetapkan keadaan darurat juga perlu dibatasi. Karena pada saat ini perundang-undangan kita belum mengatur pembatasan waktu itu. Ketidak pastian hukum ini akan berakibat tidak pasti akan bermakna ambigu dan tidak logis.
  2. Konsitusional dan Legistimasi Pemerintah dalam Menetapkan kebijakan Lockdown.
    Pada penaganan wabah penyakit Covid-19, secara yuridis melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintah Daerah, dapat dianalisis ialah kewenangan urusan pemerintah bersifat konkuren, yaitu urusan pemerintah dibagi menjadi dua yaitu urusan pemerintah wajib dan urusan pemerintah pilihan. Dalam bidang kesehatan termasuk dalam urusan pemerintah wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Hal ini dipertegas melaui UU karantina kesehatan, bahwa penetapan mekanisme karantina kesehatan adalah kewenangan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, namun pemerintah daerah hanya sebagai sub-ordinat dalam pelaksanaan penaganan wabah tersebut.

Political will yang dilakukan oleh pemerintah Daerah dalam menetapkan kebijakan Lockdown atau semi-Lockdowm juga mendapat afirmasi dalam dimensi semangat otonomi daerah yang dianut UUD 1945 saat ini. Karena konsektualisasi otonomi daerah dalam negara Indonesia telah beranjak dari semangat sentralisasi menjadi desentralisasi, yaitu pemerintah daerah saat ini tidak hanya pemerintah yang bersifat administratif (dekonsentrasi) melainkan telah didasarkan pada suatu pemerintah yang berasaskan otonomi dan tugas pembantunya, bahkan ditegaskan lebih lanjut dalam UUD 1945 bahwa pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintah yang oleh Undang-Undang di tentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

Menurut Jimly Asshiddiqie, Guru besar Ilmu Hukum Tata Negara. Penguasaan negara bisa berubah menjadi tirani atau “dictator by accident” yang memanfaatkan keadaan darurat untuk kepentingan sendiri atau memperkokoh kekuasaan sendiri jika keadaan darurat itu tidak dibatasi dengan pemberlakuannya. Dalam artianya keadaan darurat tanpa adanya batasa waktu pemberlakuan maka akan berpotensi disalah gunakan untuk mengancam kebebasan dan hak asasi manusia.

Jimly Asshiddiqie juga menyatakan, bahwa paradigma praktis otonomi daerah adalah tidak hanya memiliki konsepsi ideal penyerahan kewenangan pusat untuk diatur oleh daerah secara otonom. Namun perlu juga adanya inisiatif yang berasal dari daerah pemerintah pusat, guna mendorong pelaksanaan otonomi daerah dan memastikan bahwa pelaksanaan otonomi daerah berhasil dilakukan dalam rangka negara kesatuan.

Oleh karenannya, ketika pemerintah daerah menetapkan mekanisme lockdown dalam penanganan wabah Covid-19 adalah bentuk dari inisiatif atau respon pemerintah daerah dalam mengentaskan sifat sentralisasi pemerintah pusat karena kebijakan yang menciptakan suatu ketidakpastian hukum.

Oleh: Ashfa Afkarina (Mahasiswa HKI UMM)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment