Modernis.co, Malang – Dalam sistem ketatanegaraan, Indonesia tidak hanya mewarisi sistem hukum milik Belanda, dalam praktiknya Indonesia juga mewarisi tindak kejahatan yang sering dilakukan petinggi Belanda saat menjajah korupsi misalanya.
Tentu kata korupsi sudah tidak asing lagi, perbuatan kejahatan itu ternyata telah hinggap mewabah di masyarakat Indonesia semenjak awal kemandekkan hingga saat ini.
Bagaikan penyakit panu yang sulit sekali dibasmi, begitu juga sebaliknya amaliah korupsi di Indonesia sangat mengakar sehingga sulit pula dihilangkan baik dari kalangan masyarakat elit maupun rakyat biasa sepertinya tak dapat bebas dari tindak kejahatan ini.
Bukankah sangat disayangkan apabila negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam namun sebagian penduduknya tak mencerminkan akhlak yang Islami. Terlebih untuk para elit negara yang sering kali menjalankan tindak pidana korupsi yang sudah menjadi buah bibir oleh masyarakat.
Di mana tokoh atau wakil rakyat yang seharusnya sebagai pioner untuk memajukan Indonesia dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat nampaknya tinggal harapan belaka. Tentu bukan karena tidak cukupnya gaji untuk para petinggi negeri namun sebuah ketidak-puasan serta kerakusan sering kali menjadi penyebab mereka bertindak demikian.
Hadirnya KPK sebagai salah satu lembaga negara nampaknya tidak terlalu menjadi masalah bagi pejabat negeri yang tergiur dengan godaan suap, pencucian uang, dan semacamnya.
Terlepas dari adanya faktor dorongan sehingga terpaksa melakukan tindak-korupsi. Yang namanya suatu kejahatan tetaplah kejahatan, baik kecil besarnya nominal yang diambil oleh koruptor hukum harus tetap berlaku.
Semestinya para penegak hukum dengan tegas dan adil dalam menangani kasus korupsi yang kian lama bertambah parah, karena kehadiran hukum adalah untuk ditaati bukan untuk dilanggar. Tentunya harapan untuk tercipta negara bebas korupsi selalu didambakan oleh masyarakat, namun dapatkah ekspetasi tersebut terjewantahkan dalam masyarakat ?
Problem Elit Politik
Sejak tahun 2004 sampai 2020 para elit-politik yang telah menjadi tersangka koruptor berjumlah 397 jumlah tersebut bukanlah nominal yang kecil, belum lagi dengan tindak korupsi yang belum ketahuan oleh KPK.
Dirincikan oleh Giri Suprapdiono yang menjabat sebagai Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pelayanan Masyarakat, bahwa nominal tersebut terbagi menjadi tiga kasus; anggota DPR DPRD 257, wali kota 119, dan gubernur 21 yang masing-masing tersebar di 27 provinsi (politik dan hukum 30/9/2020).
Data tersebut menunjukkan betapa rendah moral pejabat negeri kita juga minimnya rasa empati terhadap masyarakat yang ditipu serta keluarga yang nantinya akan menanggu malu. Terlepas dari adanya alasan-alasan tindak korupsi dilakukan tetap saja hal tersebut adalah perbuatan kejahatan yang dapat merugikan semua pihak baik negara maupun masyarakat.
Padahal para rakyat memilih pemimpin untuk dijadikan sebagai teladan yang baik serta sebagai penggerak untuk memajukan keadaan negara Indonesia. Namun, apakah ketika mereka melakukan tindak pidana korupsi masih pantas untuk menjadi teladan bagi masyarakat dan sebagai pioner untuk memajukan bangsa, saya rasa hal tersebut sangat mustahil.
Lemahnya Penegakkan Hukum
Seringkali para koruptor lolos dari jeratan hukum tentu menjadi pertanyaan apakah secerdik itu mereka mengelabui penegak hukum atau memang dari penegak hukum sendiri kurang maksimal dalam melaksanakan tugasnya. Sepertinya dua kemungkinan tersebut bisa menjadi alasan.
Orang yang menjabat di lembaga negara bukanlah orang bodoh, mereka dipilih karena memiliki kemampuan intlektual yang tinggi, sehingga ketika mereka tergoda untuk melakukan tindak pidana korupsi mereka juga akan mengatur strategi terlebih dahulu agar rencananya berjalan dengan baik.
Juga tak sedikit para penegak hukum yang semestinya menjalankan tugasnya untuk menindak tegas si koruptor, namun ternyata malah ikut terjebak dalam kasus suap menyuap bersama sang koruptor.
Seperti kasus yang saat ini sedang panas-panasnya tentang buronan kelas kakap Djoko Candra yang telah menjadi buron selama 20 tahun yang ketika ditelusuri ternyata beberapa penegak hukum ikut andil bermain dibelakangnya. Jika direnungkan tentu kita bisa merasakan betapa bobroknya tatanan hukum kita.
Indonesia Bebas Korupsi ?
Lalu, apakah Indonesia di masa yang akan datang bisa menjadi negara yang bebas korupsi? sebagaimana yang diinginkan masyarakat, ternyata hal tersebut juga didambakan oleh ketua KPK.
“Upaya dalam penanganan Indonesia bebas korupsi direncanakan memiliki tiga strategi, yaitu pendidikan formal maupun informal, preventif dengan cara memperbaiki sistem yang ada juga menindak tegas para pelaku korupsi.” Ungkap Firli Bahuri kompas (18/11/2020).
Lanjutnya, bahwa “kita harus melanjutkan perjuangan pahlawan kita yang telah gugur dengan sikap yang jujur, berani, hebat, serta anti-korupsi. Sehingga saat ini negara butuh banyak pahlawan milenial untuk melawan korupsi yang telah lama menjajah negeri ini.”(Dilansir dari liputan6 ,10/6/2020).
Saya rasa bukanlah hal mustahil bahwa negara Indonesia bisa menjadi salah satu negara bebas korupsi seperti negara Denmark, Selandia Baru, dan Firlandia. Namun untuk memberantas koruptor tentu bukanlah hal remeh.
Seluruh komponen dalam negara (pemerintah, swasta, masyarakat) harus bersatu-padu pemikiran untuk memberantas korupsi.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada UU no. 8 tahun 1981 pasal 108 ayat 1 di mana ketika salah satu dari komponen negara tersebut mengalami, menyaksikan, melihat atau menjadi korban dalam suatu tindak pidana, ia memiliki hak untuk melapor kepada penyidik atau penyelidik baik secara lisan ataupun tertulis.
Sehingga kita tidak hanya mengandalkan KPK dan penegak hukum saja dalam mengatasi tindak pidana korupsi, tapi kita bersatu dalam mengatasi tindak kejahatan tersebut.
Dengan bersatunya seluruh komponen negara maka untuk mengatur strategi sebagaimana yang diusungkan oleh ketua KPK untuk memberantas koruptor akan lebih mudah, praktis dan yang pastinya sedikit demi sedikit kejahatan korupsi akan tersingkirkan.
Oleh: Fonny Nur ‘Ainy Safitri (Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Malang)