Modernis.co, Malang – Pada era globalisasi dan revolusi industri 4.0, Indonesia banyak mengalami beban ideologi. Semakin tumbuh pesatnya teknologi, komunikasi, dan digitalisasi yang kian mutakhir semakin mudah untuk mengakses informasi tentang berbagai paham dan ideologi.
Bahkan mungkin ideologi yang bertentangan dengan Pancasila mudah mendapatkan akses. Sehingga berakibat pada hancurnya pola pikir generasi milenial. Semangat nasionalisme generasi milenial terus menyusut dengan menganggap budaya asing lebih modern daripada budaya sendiri.
Seperti konflik ideologi di Timur Tengah antara Sunni –Wahabisme– Arab Saudi dan Syi’ah Iran. Kelompok Sunni beranggapan bahwa kepemimpinan (kekhalifahan) bukanlah suatu hal yang mengacu pada agama. Akan tetapi mencakup politik. Sedangkan kelompok Syi’ah menganggap kepemimmpinan (kekhalifahan) adalah sesuatu yang penting. Maka sangat banyak pertentangan antara kedua ideologi tersebut.
Mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, dan muslim Indonesia adalah penganut Sunni. Indonesia merupakan salah satu negara muslim terbesar di dunia, akan tetapi, terdapat sejumlah kecil penganut Syi’ah yang hidup di tengah kaum mayoritas tersebut (Nashr, 2003:78).
Kasus Bom Surabaya
Seperti kasus dua tahun silam pada 13 Mei 2018 terjadi bom bunuh diri di Geraja Santa Maria (Jl. Ngagel), GKI (Jl. Diponegoro), dan Gereja Pantekosta (Jl. Arjuno) Surabaya. Ledakan bom ini tidak terjadi secara bersamaan, akan tetapi berselingan waktu. Kemudian terjadi lagi ledakan susulan di Mapolrestabes Surabaya pada 14 Mei 2018 pukul 08.50 WIB.
Dimuat oleh detiknews.com (25/12/2018), Presiden Jokowi pada 14 Mei 2018 mengatakan, ”Saya kadang tidak habis pikir, kemarin saya lihat langsung (lokasi) pelaku bom di tiga lokasi. Dua anak perempuan umur 9 dan 11 tahun diberi sabuk bom oleh ayahnya dan turun bersama ibunya. Kemudian meledakkan diri depan gereja”.
Kaporli saat itu Tito Karnavian mengatakan, “Pelaku teror di Surabaya dan orang-orang yang ditangkap di Sidoarjo terkait JAD (Jamaah Ansarut Daulah). JAD disebutnya merupakan pendukung utama ISIS di Indonesia”. Pelaku Utama Bom Surabaya Dita Oepriarto terkait dengan JAD.
Dengan melihat kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelaku dalam teror ini tidak memandang umur. Siapapun bisa melakukan bom bunuh diri yang mana sudah terperangkap oleh Gerakan ISIS. Paham radikalisme dan gerakan terorisme mengajarkan model beragama dalam bentuk kekerasan.
Paham tersebut merupakan suatu ancaman yang nyata bahkan dampaknya melibatkan ekonomi, sosial, politik, dan keamaanan. Sehingga dapat menciptakan rasa khawatir di masyarakat.
Saat ini Indonesia telah memiliki pilar-pilar civil society yakni NU dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini telah memberikan peran besar dengan mewujudkan muslim Indonesia yang moderat. Pentingnya peran penduduk Indonesia bersatu untuk menyadarkan dan melenyapkan kelompok- kelompok radikal yang tidak bisa disadarkan. Terutama pengaruh pemikiran dan konflik di Timur Tengah.
Upaya untuk Mengatasi Ancaman Radikalisme dan Terorisme
Perlunya pembelajaran Pancasila dapat diaplikasikan pada generasi milenial saat ini. Apabila tidak mengaplikasikan nilai-nilai luhur Pancasila pada aspek kehidupan, maka mudah untuk terkontaminasi ideologi dari luar.
Mulai berkembang pesatnya teknologi yang semakin canggih, maka perlu untuk menyaring segala informasi, jangan hanya menelan informasi secara mentah-mentah. Karena para teroris juga menggunakan teknologi atau gadget untuk menyebarkan paham radikalisme. Seperti kantor berita ISIS, “Amaq News Regency”.
Mayoritas para teroris menganggap dirinya paling benar dibanding kelompok lain. Perlunya upaya deradikalisasi dengan mengurangi paham-paham radikalisme serta penyadaran kepada lingkungan sekitar. Apabila mengindikasi ada gejala kecil dari paham radikalisme dan terorisme di masyarakat, segera melapor kepada pihak yang berwenang.
Hal tersebut perlu dilakukan dengan harapan pengaplikasian nilai-nilai Pancasila oleh generasi penerus bangsa. Yakni bisa menjadikan generasi milenial yang betul-betul seutuhnya mencintai tanah air dan melestarikan budaya Indonesia. Melakukan penyadaran dan edukasi bahwa Indonesia adalah negara Pancasila.
Melindungi dan meningkatkan martabat serta hak asasi seluruh bangsa Indonesia harus diutamakan. Penting bagi pemerintah bersikap tegas dalam menanggulangi paham radikalisme dan terorisme. Kemudian memberikan sanksi kepada para pelaku agar jera dan berfikir sebelum melakukan aksinya.
Peran tokoh agama juga sangat penting sebagai pelopor dalam mencegah radikalisme dan terorisme. Selanjutnya, tokoh agama –dalam hal ini Islam– harus mengarahkan umat untuk kembali mengamalkan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Kembali kepada jalan Islam yang ramah dan tidak ekstrim.
*Oleh: Nabila Aprilia Rismara (Mahasiswi Prodi Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Malang)