Modernis.co, Malang – Hal yang perlu dipahami sebelum membahas kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah pemahaman tentang seks dan gender. Seks dan gender merupakan dua hal yang berbeda. Seks merupakan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan, yang secara biologis jelas berbeda sifat dan fungsi dalam anatomi tubuh manusia.
Sedangkan gender adalah sesuatu yang melekat atas seks yakni maskulin dan feminis yang terbentuk atas konstruk sosial masyarakat. Dua istilah tersebut dapat dipastikan bahwa yang tidak bisa dipungkiri berbeda dan tidak bisa dipertukarkan adalah seks, berbeda halnya gender. Oleh karenanya tidak ada pembatasan-pembatasan tertentu akan gender.
Di Indonesia, kesetaraan yang lebih dikenal dengan emansipasi mulai diprakarsai oleh R.A. Kartini melalui tulisan-tulisannya yang penuh dengan kritik budaya Jawa yang terjadi dalam kehidupannya. Beliau menuntut hak-hak yang tidak dapat dipenuhinya karena larangan orang tuanya meskipun sebagai anak seorang bangsawan terutama soal pendidikan.
Larangan tersebut tidak lain alasannya adalah karena dirinya perempuan yang tidak semestinya mendapatkan pendidikan lebih tinggi dari laki-laki. Budaya inilah yang sebenarnya merefleksikan stereotip gender yang dilanggengkan hingga sekarang.
Budaya juga merupakan penyumbang stereotip cantik yang dilekatkan pada perempuan. Kulit putih, badan langsing, rambut lurus, bibir merah adalah beberapa hal yang diklaim dalam definisi cantik seorang perempuan. Namun, suara milenial tampaknya lebih maju dalam mendefinisikan kecantikan seorang perempuan.
Pasalnya, hal-hal macam tadi bukan merupakan sesuatu yang relevan lagi, melainkan prestasi yang mampu diraih oleh perempuan. Jika sudah berbicara prestasi pastilah tidak memandang laki-laki ataupun perempuan. Semua berhak untuk berkarya, berprestasi, dan bermanfaat untuk banyak orang.
Hari ini, kesadaran akan pendidikan, kesehatan, dan politik bagi perempuan menunjukkan angka progresifitas yang tinggi dari jaman R.A. Kartini. Berdasarkan data (2013) Forum Ekonomi Dunia, WEF, Islandia merupakan Negara dengan angka kesenjangan gender paling rendah di dunia selama lima tahun berturut-turut.
Artinya, perempuan di Negara tersebut menikmati akses yang sama dengan laki-laki dalam pendidikan, kesehatan, perputaran ekonomi, dan keterlibatan politik. Di Asia sendiri, Negara yang paling seimbang dalam gender adalah Filiphina dan India dinyatakan sebagai Negara yang paling timpang. Pertanyaannya, apakah kesetaraan hanya diukur dari empat hal itu?
Mindset Kesetaraan
Kesadaran individu perempuan akan kesetaraan merupakan langkah awal untuk mendobrak paradigma ‘manusia kedua’ setelah laki-laki. Kesadaran itu pula yang mampu menjamin kesamaan martabat antara laki-laki dan perempuan.
Jika para perempuan saja masih menganggap dirinya berbeda level kedudukan, peran, dan kontribusi dengan laki-laki, maka sampai kapanpun perempuan pula yang akan melanggengkan bentukan budaya yang sudah lama diamini bersama. Kaum perempuan harus mampu manyadari bahwa ketidakadilan gender merupakan kondisi yang tidak semestinya terjadi antara laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial yang terjadi di masyarakat, bukan dari Tuhan (kodrat).
Budaya yang telah mengakar ini memang dilematis untuk dihilangkan. Namun, pola pikir akan pemaknaan dan konsep kesetaraan gender harus mulai dimiliki oleh setiap individu baik perempuan maupun laki-laki. Masyarakat yang mampu menghargai perbedaan dan adil dalam menyikapi persoalan tanpa bias gender tidak akan mustahil diwujudkan jika hal ini mampu terjawab.
Stop Doktrin yang Tidak Perlu
Sejak kecil, anak-anak sudah dikotak-kotakkan oleh kebanyakan orang tua hanya karena seks yang melekat padanya. Misalnya dengan pemilihan warna pakaian, laki-laki cenderung dipilihkan warna-warna yang kuat dan tegas karena merupakan representasi dari maskulinitas seorang laki-laki, sedangkan anak perempuan dipilihkan warna-warna yang lembut karena hal itulah yang harus dimiliki oleh seorang perempuan.
Contoh lainnya adalah mainan yang disuguhkan kepada anak laki-laki adalah mobil-mobilan, bola, layang-layang yang semua itu banyak dilakukan diluar rumah, berbeda halnya dengan anak perempuan yang hanya diperbolehkan main boneka dan masak-memasak atau hal domestik saja.
Dua contoh diatas menggambarkan bahwa konstruksi sosial sudah terjadi bahkan sejak hari pertama manusia dilahirkan. Dalam hal ini orang tua menjadi diktator utama bias gender. Orang tua berhak menentukan anaknya bermain apa, bergaul dengan siapa, memberikan pendidikan karakter, dan sebaginya.
Namun, mereka tidak berhak memangkas hak-hak kebebasan berekspresi yang bukan tidak benar dilakukan oleh seorang anak. Hal-hal itulah yang akan terekam dan melekat pada anak hingga mereka memaknai bahwa ada perbedaan ruang gerak antara laki-laki dan perempuan.
Aspek lain pemegang peranan penting dalam pemaknaan bias gender adalah agama. Dalam hal ini agama tidak disalahkan, tetapi agama dijadikan alat untuk menyusupi setiap pikiran penganutnya bahwa antara laki-laki dan perempuan adalah berbeda tanpa “tapi”.
Misalnya dalam penggalan Quran surat An-Nisa ayat 34 yang menyebutkan bahwa “laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan” yang kemudian dikultuskan dan dianggap sebagai legitimasi agama akan pemaknaan perempuan sebagai manusia kedua. Padalah jika dikaji lebih jauh, semesta pembicaraan dalam ayat tersebut bukanlah persoalan kepemimpinan diluar lingkup keluarga.
Kebijakan
Posisi-posisi di ruang publik yang selama ini hanya didominasi oleh laki-laki sudah mulai mencair. Banyak perempuan yang berhasil menempuh pendidikan tinggi, menjabat di parlemen, memimpin perusahaan, dll. Perempuan juga memiliki kebebasan-kebebasan bersosialisasi diluar rumah, berkumpul, hingga berorganisasi menyuarakan aspirasi kaum perempuan.
Namun, jika hanya berkutat pada urusan-urusan perempuan saja maka layaknya macan ompong yang mengharapkan daging. Tidak akan pernah selesai jika perempuan hanya mengurusi masalah-masalah tentang dunia mereka. Banyak persoalan negeri ini yang perlu dituntaskan dengan kontribusi nyata dari kaum perempuan.
Tiga puluh persen dari total kursi legislatif nyatanya belum pernah terpenuhi. Tetapi seharusnya keadaan ini tetap mampu menjamin hak-hak perempuan sebagai warga Negara. Salah satu kasus yang hingga saat ini masih banyak dibicarakan adalah tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual belum juga disahkan.
Jangan sampai Negara ini diklaim menjadi Negara yang patriarkis dengan dominasi laki-laki secara kuantitas maupun perlindungan hukum. Kebijakan-kebijakan yang dibuat haruslah egaliter karena kebijakan yang dibuat selayaknya dapat melindungi setiap warga Negara termasuk perempuan.
Oleh: Setia Alam (Sekbid IMMawati PC IMM Malang Raya 2017-2018)