Modernis.co, Pandeglang – Puluhan anak muda Labuan membentuk Komunitas Millenial yang diberi nama “Tjiringinese”. Dalam Tajuk Diskusi Kedaerahan dengan tema: “Tjiringin Jang Hilang”.
Dihadiri oleh forum guru honorer Labuan dan anak muda Labuan, cukup emosional mereka mengangkat tema diskusi. Aliran – aliran pendapat mengaliri jalannya diskusi, mengalir sampai ke hilir.
“Berangkat dari pendekatan historikal, anak millennial menyepakati bahwa pentingnya Labuan mempunyai Balai Rakyat, sebagai ruang bersama. Dan kami berharap Gedung Eks Kawedanan bisa dialih gunakan untuk hal yang demikian. Semoga,” ujar Faiz Romzi Ahmad, penggagas acara tersebut.
Sebagai anak muda Tjiringinese, Faiz Romzi Ahmad mengaku, komunitas ini terbentuk berawal dari keresahan para pemuda Labuan mengenai peran mereka di dalam masyarakat.
“Keresahan muncul saat diskusi terkait peran pemuda di masyarakat,” jelasnya, Rabu (02/09/2020).
Apalagi saat ini, kata Faiz Romzi Ahmad, Indonesia telah mulai memasuki era revolusi 4.0 yang ditandai oleh konektivitas antara berbagai hal, sehingga tantangan yang hadir pun akan semakin beragam.
“Keresahan seperti ini pun wajar karena generasi milenial memiliki karakteristik khusus yakni progresif, kreatif, inovatif dan kolaboratif,” tandasnya.
Salah satu tokoh pemuda sekaligus pengusaha muda Cikeusik yang hadir dalam acara, Yandi Safrudin mengepreasi komunitas baru ini. Menurutnya, Tjiringinese bisa menjadi wadah, komunitas diskusi yang kritis, bermanfaat serta akan menjadi model yang dicontoh dan diikuti oleh entitas historis kewedanaan lainnya.
Akademisi Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA) Banten sekaligus Tuan Rumah acara, Eko Supriatno mengatakan telah lahirnya Komunitas Epistemik di Labuan Tjiringinese.
Gerakan sosial baru ini digagas oleh kawan-kawan yang santun dan progresif, mahasiswa lintas kampus, lintas latar, tokoh pendidikan, dan para aktivis.
“Memang benar berawal dari diskusi dan ngopi, banyak ide besar bermekaran misalnya dari ngopi diskusi kerap sebagai tempat lahirnya ide-ide dan gagasan besar Mohon doa semoga istiqomah dan memberi manfaat buat kemajuan ilmu pengetahuan,” kata Eko.
Baginya kesahajaan Lingkar Garasi, walaupun ngopi diskusi di garasi, membuat anak muda lebih mampu menetaskan ide kreatif, memberi ruang alternatif bagi berbagai komunitas, antara lain misal seni, film, budaya dan lainnya.
“Pada akhirnya ngopi telah menjadi kanal komunikasi, sebuah kebutuhan mendasar bagi anak muda. Kesahajaan ngopi memungkinkan interaksi menjadi cair tanpa ketegangan. Dari situ terbangun peradaban yang toleran dan santun,” tambah Eko Supriatno yang dikutip melalui akun facebooknya, (Rabu, 02/09).
Salah satu aktivis yang hadir dalam acara, Ahmad Safaat, mengatakan Tjiringinese adalah epicentrum lingkar perubahan, untuk bergerak mendekat dan berhimpun dalam lingkaran imajinasi kesadaran.
“Semoga Tjiringinese menjadi organisme kebudayaan yang belum pernah ada sebelumnya. Tjiringinese: rasional, relevan, solutif, alamiah, kenikmatan, kebahagiaan, gembira dalam keseimbangan,”katanya.
Dan salah satu aktivis sosial asal Munjul Ikhwan Ibnul Haleem, menambahkan peran pemuda sebagai sebagai Agent Of Change atau agen perubahan.
“Artinya bahwa pemuda sebenarnya memiliki peranan untuk menjadi pusat dari kemajuan suatu daerah,”katanya.
Hasan Al Bana, perwakilan dari forum guru honorer Labuan, mengatakan pada umumnya, millenial memiliki hobi dan ketertarikan yang berbeda-beda. Di Labuan memiliki banyak organisasi serta komunitas yang bermacam-macam jenis dan kegiatan.
“Setiap komunitas ini pasti tidak luput dari kegiatan berdiskusi, meski berdiskusi bukan tujuan utama mereka,”katanya.
Komunitas Tjiringinese terbentuk dari millennial, mahasiswa, lintas profesi, dan lain-lain. Yang memiliki keinginan untuk berkumpul yang memiliki hobi atau pemikiran yang sama. Salah satunya seperti komunitas Diskusi Rabu Malam (DRM) yang terbentuk di Lingkar Garasi.
Mukhalikin, perwakilan dari tokoh masyarakat Labuan, mengatakan
semua komunitas memiliki manfaat kepada anggotanya.
“Komunitas dapat menjadi tempat untuk sharing pengalaman dan hal-hal yang telah diperoleh dari berbagai media seperti buku, televisi, atau radio,”ujarnya.
Ia juga menambahkan sudah sepantasnya anak muda mengkritik dan menilai sesuatu yang ada di sekitarnya.
“Harusnya Labuan memberikan fasilitas kepada komunitas diskusi dan menerima segala kritik dari anak mudanya. Karena kritik dari pemuda bukanlah untuk menghancurkan, namun untuk membangun Labuan ini ke arah yang lebih baik,” tutup Mukhalikin. (SA)