Modernis.co, Jakarta – Karyawan, Worker, Tenaga Kerja, Pekerja, Labourer, Buruh dan Pegawai. Adalah sebutan untuk orang atau pihak yg bekerja menggunakan tenaga atau menggunakan ke ahlian nya/skill pada pihak lain /Pengusaha sbg pemberi lapangan pekerjaan dengan harapan imbalan/upah.
Buruh/Pegawai adalah stakeholder yang sangat penting dalam membangun bisnis serta merupakan salah satu kekuatan ekonomi yang perlu diperhatikan. Selain Pelanggan, Buruh juga merupakan salah satu asset dalam Perusahaan, Karena buruh dapat :
1. Memberikan daya saing perusahaan.
2. Memberikan inovasi baru.
3. Menjaga citra perusahaan.
Namun tidak sedikit pengusaha yang menganggap buruh adalah beban, dengan tidak memperhatikan kesejahteraan nya, THR tidak di berikan sesuai ketentuan Peraturan Menteri Ketenaga kerjaan No 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja/Buruh di Perusahaan bagi buruh/pegawai yang sudah bekerja lebih dari satu tahun atau seringkali jika ada buruh yang kritis menanyakan hak-hak nya, tidak segan perusahaan merekayasa masalah agar buruh tersebut tidak betah lalu mundur dengan sendirinya tanpa perlu membayarkan pesangon.
Akar masalah yang terjadi antara buruh dengan Pengusaha pemilik usaha adalah, karena adanya oknum otoritas yang seharusnya jadi wasit/pengawas eh malah ikut bermain sebab telah berteman baik dengan Pengusaha pemilik perusahaan sehingga disinyalir terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara mereka. Akibatnya melemahkan pengawasan yang ujung nya merugikan buruh.
Jika perlakuan yang tidak adil terhadap buruh terus-terusan berlanjut dilakukan oleh Perusahaan yang di back up oleh oknum otoritas yang culas, klimax nya tentu akan fatal dikhawatirkan terjadi gelombang besar pemogokan. Yang akan merugikan baik materil maupun moril banyak pihak.
Hal inilah yang kadang tidak disadari oleh oknum-oknum pemangku kepentingan yang tidak amanah, yang egois hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya untuk tujuan jangka pendek dengan melupakan dampak kerusakan yàng akan timbul dalam jangka panjang. Berakhir dengan bangkrut nya perusahaan dan efek dominonya.
Meskipun kita juga sering mendengar, adanya oknum-oknum dari Serikat Buruh/Serikat Pekerja yang neko-neko memancing di air keruh memprovokasi para anggota nya demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Sehingga jika Pengusaha menolak adanya Serikat Buruh/Serikat Pekerja di Perusahaan miliknya, dapat di maklumi.
Pasal 104 ayat (1) UU no 13 Tahun 2003 ttg ketenaga kerjaan menyebutkan bahwa setiap buruh/pegawai berhak nembentuk dan menjadi anggota Serikat Pekerja. Artinya pembentukan serikat pekerja dalam perusahaan adalah legal, diatur juga dalam pasal (5) Undang-Undang No 21 Tahun 2000 ttg Serikat pekerja/serikat buruh yang mengatakan sebagai berikut :
- Setiap Pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
- Serikat Pekerja/Serikat Buruh dibentuk oleh sekurang kurangnya 10(sepuluh) orang pekerja/Buruh.
Ibarat nya antara cinta dan benci Pengusaha dan buruh merupakan dua sisi dalam satu mata uang, tidak dapat dipisahkan.Hahaha. Untuk menghindari potensi konflik antar buruh/pegawai dengan Pengusaha seperti yang tertulis dalam Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Yaitu:
1.Perselisihan Hak.
2.Perselisihan Kepentingan.
3.Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja/PHK. dan,
4.Perselisihan antara Serikat pekerja/Serikat Buruh hanya dalam satu Perusahaan.
masing-masing Pihak hendak nya mawas diri mentaati aturan kerja yang sudah disepakati bersama, agar terhindar dari konflik yang sering terjadi antara Buruh dengan Perusahaan yang umumnya terjadi seperti yang disebutkan oleh Undang-Undang, yang mengakibatkan menang jadi arang kalah jadi abu atau lose lose condition ! Semoga !
Oleh: YUS DHARMAN,SH.,M.Kn, ADVOKAT/Ketua Dewan Pengawas FAPRI (forum advokat & pengacara republik indonesia)