Tahafutul Falasifah al-Ghazali, Sebuah Kesan Kejahatan Falsafah

Tahafutul Falasifah al-Ghazali

Modernis.co, Lamongan – Siapa yang tidak mengenal Imam Al-Ghazali. Beliau adalah seorang ulama ulung di zamanya. Lihatlah karya-karya beliau yang begitu fenomenal seperti Risalah al-Mustarsyidin, Adab al-Nufus, Al-Tawahhum, Ihya Ulumuddin, dan masih banyak lagi. Namun, ada satu kitab beliau yang menjadi kontroversi diranah falsafah, yakni kitab Tahafutul Falasifah pada abad ke-11.

Dalam kitab tersebut Al-Ghazali seakan memberikan kesan tentang kejahatan falsafah. Lantas, dimanakah perbedaan aqidah ajaran Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd? Mengapa pula Al-Ghazali mengkafirkan Ibnu Sina dan Al-Farabi yang sesama filsuf dari golongan kaum muslim.

Isitilah falsafah sendiri sudah jelas dari bahasa Yunani yang tergabung dari dua kata, yaitu filos dan sofos, yang artinya ‘peminat’ dan ‘hikmat’. Setelah Islam berkembang, telah luas pula khazanah keilmuan diantara bangsa-bangsa, terutama pada zaman Harun al-Rasyid dan al-Makmun di Baghdad.

Banyak diantara cendikiawan menyalin buku-buku yunani seperti pusaka Aristoteles kedalam bahasa Arab, sehingga secara langsung falsafah dan kebudayaan Yunani mulai dicerminkan oleh mereka.

Disini mulailah timbul dalam kalangan kaum Muslimin orang-orang yang berminat kepada falsafah, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ikhwanush Shafa di dunia Islam sebelah Timur. Ada pula Ibnu Rusyd, Ibnu Haitsam, Ibnu Majah, dan lain-lain di dunia Islam sebelah Barat (Andalusia, Afrika Utara).

Objektifitas falsafah, tidak dapat dipisahkan dari subjektifnya orang yang berfilsafat itu sendiri. Sekiranya filsafat Yunani tidak dapat melepaskan dirinya sama sekali dari mitos Yunani, baik Socrates, Plato, atau Aristoteles. Maka, filsafat dari kalangan Muslimpun didalam memandang falsafah tidak juga dapat membebaskan diri mereka dari kedudukan sebagai Muslim.

Sebab itu, dalam falsafah al-Farabi atau Ibnu Sina, sering didapati ajaran-ajaran tentang ketuhanan, tentang tasawuf, dan sebagainya. Mereka juga membahas tentang “Yang Esa” dan “Yang Berbilang”, ruang dan waktu atau metafisika, tetapi tidak lepas dari ikatan sebagai Muslim. Karena falsafah adalah semata-mata renungan akal, niscaya ada juga yang meragukan pendapat mereka tersebut.

Falsafah Aristoteles, ada pendapat yang menunjukan seakan-akan alam ini qadim, padahal dalam ajaran Islam alam adalah hadits (baru) dan hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang qadim. Ini adalah ontologi yang sulit bagi al-Farabi dan Ibnu Sina untuk memecahkanyaa, sehingga mereka sampai kepada kesimpulan yang dapat membuka pintu bagi al-Ghazali untuk memandang bahwa paham mereka telah sesat dari pokok agama.

Oleh sebab itu, al-Ghazali memberi peringatan bahaya falsafah, takut jika rasionlitas pikiran membawa orang keluar dari garis-garis kepercayaan agama. Ini pula sebab beliau mengarang kitab Tahafutul Falasifah tersebut. Namun, Ibnu Rusyd menolak kitab Tahafutul Falasifah, sebab pokok serangan al-Ghazali menurut Ibnu Rusyd tidak seluruhnya benar. Misalnya tentang hukum sebab-akibat.

Al-Ghazali condong kepada pendapat bahwa sebab-akibat hanyalah kaidah yang dibuat oleh manusia. Misalnya api menghanguskan dan yang tajam tidak melukai, sebab hal itu dikhayalkan dalam ingatan kita.

Ibnu Rusyd sangat menolak pendapat al-Ghazali ini, karena kalau begitu tentu tidak ada kesatuan aturan dalam alam ini. Padahal maksud falsafah “adat” al-Ghazali itu adalah hendak memasukan urusan mukjizat kedalam pertimbangan falsafah. Dengan begitu seseorang dapat menuduh bahwa Ibnu Rusyd tidak mempercayai adanya mukjizat.

Ibnu Rusyd tidak mau dibegitukan saja. Beliau tidak dapat bergeser dari pendirianya bahwa hukum sebab-akibat itu adalah pegangan, dan menurut ituah perjalanan akal serta penyebab adanya ilmu.

Adapun mukjizat Nabi Ibrahim Alaihis Salam tidak hangus dimakan api, Nabi Isa Alaihis Salam menyembuhkan orang sakit dengan menjamah, Nabi Musa Alaihis Salam  membelah lautan dengan tongkat, dan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dengan Mi’raj, itu termasuk kepercayaan yang kalau tidak kita percyai akan keluar dari Islam dan hal itu tidak lagi menjadi daerah yang dicakup oleh falsafah.

Disini terjadi pertukaran pikiran yang mendalam diantara filosuf Muslim. Al-Ghazali mencela falsafah Yunani (khususnya Aristoteles), tetapi dengan tidak sadar satu kali beliau memakai falsafah untuk mencapai jalan agar mukjizat dapat diterima dengan berfikir secara falsafah. Sebaliknya, Ibnu Rusyd membela falsafah, tetapi tidak mau menyinggung soal kepercayaan dengan memakai falsafah.

Adapun kita hidup di zaman Islam modern seperti sekarang, terlalu sia-sia jika keseluruhan pendapat al-Ghazali kita terima begitu saja. Kita mesti kembali meninjau aliran-aliran falsafah sejak falsafah yunani, sampai falsafah Islam. Ataupun sampai falsafah Skolastik, dan falsafah modern barat (kontemporer).

Kita harus merenungi dari Thales sampai Plato, dari al-Farabi sampai Ibnu Rusyd, dari Thomas Aquinas sampai Descartes, dan sampai Nietzche, Schopenhauer, William James, Hans Albert. Adapun falsafah Islam kontemporer seperti Jamaluddin Afghany, Mohamad Iqbal, Mohammad Abduh, dan lain sebagainya.

Kita tahu bahwa semuanya itu tidak sunyi dari kelemahan, sebab mereka adalah manusia dan yang mutlak benar hanyalah wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Namun, karena bertemu kesalahan pendapat bukan berarti bahwa harus berhenti untuk berpikir.

Oleh: Erik Suhendra (Mahasiswa Ekonomi Syariah UMM)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Leave a Comment