Modernis.co, Jakarta – Novel Baswedan, siapa yang tidak kenal? seluruh penjuru Bumi Indonesia pasti mengenalnya. Seperti kita ketahui, Novel Baswedan adalah penyidik senior KPK yang karirnya begitu gemilang.
Novel lah yang berhasil membawa pulang mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dari pelariannya di Kolombia. Ia juga yang mengungkap kasus Wisma Atlet dan menyeret Angelina Sondakh.
Nunun Nurbaeti, berhasil dijebloskan atas kasus suap cek pelawat pada pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia tahun 2004 lalu. Bahkan kasus jual beli perkara oleh Akil Mochtar, mantan ketua MK berhasil ia bongkar.
Bagus kan track recordnya? Ada satu perkara yang membuat penulis beropini bahwa inilah sebab penyiraman air keras kepada Novel. Bahwa dalam karirnya, Novel berani mengobok-obok tubuh Polri dalam pembongkaran kasus korupsi.
Keberaniannya menggeledah Korlantas dan memeriksa mantan Kakorlantas Polri Irjen Djoko Susilo juga menuai kontroversi. Tentu saja hal ini membuat retak hubungan antara KPK dengan Polri.
Novel Baswedan dinilai sangat berani, ia bagaikan pahlawan yang musuhnya para tikus-tikus berdasi. Sehingga ia medapat gelar Penyidik terbaik yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK).
Seiring gemilang karirnya, juga dalam situasi retaknya KPK dengan Polri, Novel mengalami penganiayaan berat yang mengakibatkan hilangnya satu panca indera yaitu mata sebelah kiri dan cacat permanen.
Kabarnya, pelaku adalah anggota Polri dan mendapatkan tuntutan satu tahun penjara. Tentu hal ini menimbulkan kontroversi dalam masyarakat. Disinilah penulis akan menguraikan kasus Novel Baswedan.
Kronologi penyiraman air keras, menurut penjelasan Novel Baswedan ketika bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Kamis, 30 April 2020.
Bahwa ia sedang melaksanakan shalat subuh di masjid dekat rumahnya yang berjarak 50 meter. Selesai shalat, Novel kembali kerumahnya dengan berjalan kaki, dalam perjalannya Novel mendengar suara motor berjalan pelan ke arahnya.
Belum sampai menengok, Novel sudah disiram air keras dan mengenai seluruh wajahnya. Kemudian Novel mencari sumber air dan memutuskan untuk kembali ke masjid.
Singkatnya, hingga ditolong warga dan dibawa ke Rumah Sakit Mitra Keluarga. Akibat dari penyiraman air keras kepada Novel Baswedan ini, ia mengalami luka berat yaitu kehilangan salah satu panca indera (mata sebelah kiri) dan mendapat cacat permanen.
Dalam perjalanan mencari keadilan, pelaku dijerat dengan primair pasal 355 ayat (1) KUHP dan subsidair 353 ayat (2) KUHP. Karena dilakukan secara kelompok (lebih dari satu orang) maka dikenakan pasal 55 KUHP.
Tentu sangat berat hukumannya bagi pelaku. Baiklah penulis akan menguraikan pasal per pasal berikut penjelasannya.
Pasal 355 KUHP :
Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, di ancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 353 KUHP
(1) Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
(2) Jika mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
Ringkasan unsur :
- Penganiayaan berat : Adalah Penganiayaan yang menyebabkan luka berat, dan telah disebutkan dalam pasal 90 KUHP perihal luka berat yaitu :
– Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
– Tidak mampu terus menerus menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian
– Kehilangan salah satu pancaindera
– Mendapat cacat berat;
– Menderita sakit lumpuh
– Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
– Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
- Direncanakan terlebih dahulu : Adalah dimana pelaku sudah menyiapkan hal-hal dan alat-alat untuk menjalankan perencanaannya.
Baiklah, penulis akan membedah primair dan subsidairnya. Sekilas, dua pasal tersebut hampir mirip, namun sebenarnya ada perbedaan.
Dalam pasal 355 menjelaskan bahwa ‘penganiayaan berat’ yang ‘direncanakan’ berarti penganiayaan ini telah dipersiapkan dan pelaku telah merancang strategi untuk melakukan penganiayaan.
Pasal 353 (2) menyatakan suatu penganiayaan dengan luka berat namun tanpa perencanaan. Ini menurut nalar penulis, sebab dalam bunyi pasalnya tidak menyertakan perencanaan. Oleh karenanya jaksa menggunakan pasal 352 ayat (2) sebagai subsidair.
Dalam persidangan pelaku mengaku tidak sengaja dan tidak ada niat untuk menyiram bagian wajah. Logikanya, tidak mungkin dilakukan secara tidak sengaja dan tanpa rencana, karena pelaku telah menyiapkan air keras untuk dibawa.
Tentu itu bagian dari perencanaan bukan? Yang kedua, pelaku mengaku hanya ingin memberi pelajaran, kata ‘ingin’ berarti sudah mempunyai niat. Dilihat dari pengakuan ini sudah terlihat bahwa pelaku memang merencanakan. Namun mengapa unsur perebcanaan dalam dakwaan primair tidak terbukti?
Sekarang kita cek apakah akibat yang dialami Novel Baswedan termasuk dalam pasal 90 KUHP. Dalam fakta yang terlihat dalam diri Novel Baswedan, pertama ia mengalami luka yang tidak memberi harapan untuk sembuh samasekali. Ini sesuai dengan point 1 pasal 90 KUHP. Kedua Novel Baswedan kehilangan salah satu panca indera, hal ini sesuai dengan point 3. Ia menderita sakit lumpuh dibagian mata kirinya, hal ini sesuai dengan point 4.
Ini adalah penganiayaan level tertinggi. Bagaimana bisa penganiaan berat menimbulkan cacat yang jelas terlihat kasat mata ditepis begitu saja oleh persidangan? Pidana 1 tahun penjara sangat tidak masuk di akal.
Sebab, sebenarnya dakwaan primair itu bisa terukti secara logika. Dan lebih tidak masuk akal lagi di pakai dakwaan subsidair dengan tuntutan tujuh tahun penjara tapi jatuh jadi satu tahun penjara. Rasio siapa yg mau menerima itu?
Begitu besar kerugian yang dialami Novel Baswedan dan tentu akan sangat tidak adil baginya. Bagaimana bisa delik berakibat fatal dan kecacatan seumur hidup hanyak dihukum satu tahun penjara? Disinilah kita perlu mengetahui bahwa Hukum di Indonesia tidak berwibawa.
Pelaku memang kooperatif, telah meminta maaf kepada Novel Baswedan dan telah menyesali perbuatannya. Tapi jangan jadikan alasan ia mengabdi selama 10 tahun sebagai anggota Polri membuat hukum kehilangan taringnya dan terlihat tanpa wibawa.
Pemerintah seharusnya mengevaluasi penegak keadilan. Dan harapan saya Komisi Yudisial RI dapat ikut andil dengan mengawasi pemeriksaan sidang yang sedang berlangsung.
Penulis mengatakan itu karna faktanya, keadilan tidak melihat kerugian. Peradilan dirasa percuma dan hanya buang-buang waktu saja jika memang faktanya yang kuatlah yang menang.
Ini negara kontitusi, bukan hutan rimba. Semua ada pengaturannya, siapapun tidak boleh semena-mena terlebih pemilik kendali kuasa.
Oleh: Yesa Novianti Putri Ashari (Mahasiswa Fakultas Hukum UMJ, Aktivis Mahasiswa, Kader Muhammadiyah)