Kasus Floyd, Rasisme yang Tak Kunjung Usai

Kasus Floyd

Modernis.co, Tangerang – Berita kematian George Floyd akibat dari isu rasisme di Amerika Serikat menjadi topik hangat diperbincangkan oleh khalayak umum di seluruh dunia.

Hal ini berkenan dengan tindakan polisi setempat yang dinilai telah bersikap rasis terhadap Floyd yang merupakan keturunan Afrika-Amerika berkulit hitam.

Floyd diduga mengalami perlakuan tidak manusiawi hingga tewas, saat dirinya harus ditangkap dan diperiksa oleh polisi. Penanganan kasusnya yang dinilai tak serius, menyebabkan protes besar-besaran di sejumlah distrik di Amerika Serikat.

Di Indonesia gejolak rasisme memang sudah ada sejak zaman kolonial. Hal ini pun masih berlanjut pada kehidupan masyarakat Indonesia setelahnya, seperti saat kerusuhan Mei 1998 terjadi penjarahan dan pemerkosaan dengan sasaran korban etnis Tionghoa.

Namun pemerintah tidak dapat menyelesaikan kasusnya hingga detik ini. Hingga saat ini masih menyisakan sentimen masyarakat kita kepada mereka yang beretnis Tionghoa. Kemudian pada tahun 2008 dibentuklah Undang undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Apakah hal ini membuat kasus rasisme berkurang? Jawabannya tidak sama sekali. Meskipun telah berlakunya Undang-undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, kasus mengenai rasisme masih banyak terjadi dan sedikit yang ditangani ke meja hijau.

Salah satu kasus rasisme yang terjadi pada tahun 2019 yaitu insiden pengepungan asrama Mahasiswa Papua di Surabaya oleh oknum TNI dan ormas. Hal ini dipicu oleh berita yang tersebar melalui whatsapp tentang pengrusakan bendera Merah Putih di depan asrama Mahasiswa Papua.

Tanpa adanya interogasi lebih dulu,  oknum TNI beserta ormas beramai-ramai mengepung asrama. Bahkan TNI terkesan membiarkan aksi anggota ormas didepan asrama. Hal ini juga diperburuk dengan kata cacian bernada rasis (menyebut monyet) yang dilontarkan kepada mahasiswa Papua.

Akhirnya pihak kepolisian menetapkan 3 tersangka, satu diantaranya adalah ASN (Aparat Sipil Negara) Pemkot Surabaya dikenakan Pasal 4 Undang undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Meskipun penegakkan hukum terhadap kasus rasisme telah dilakukan, namun hal itu tak lantas membuat kasus rasisme berkurang secara signifikan. Hal ini dikarenakan masih banyak masyarakat Indonesia secara sadar melakukan pembedaan individu berdasarkan ras, suku dan kulit warna.

Pandangan kita terhadap persamaan di antara perbedaan hanyalah sebuah ucapan manis di bibir saja. Misalnya ada yang menganggap orang Minang atau orang Tionghoa terkenal pelit, padahal tidak semua orang Minang atau orang Tionghoa berlaku seperti itu.

Belum lagi standar kecantikan yang dipegang orang Indonesia adalah berkulit putih dan berambut lurus. Apakah orang Indonesia lupa, bahwa suku-suku yang ada di sini ada yang berkulit gelap dan berambut keriting? Hal ini pun semakin diperparah pada iklan-iklan kecantikan yang sering muncul di televisi dengan menampilkan model perempuan berkulit putih.

Akibat dari semua pemikiran yang buruk tersebut, tidak heran kasus rasisme masih tinggi. Kita perlu memutus rantai pemikiran rasis agar tak terjadi lagi kasus-kasus rasisme.

Sudah saatnya masyarakat Indonesia membenahi cara pandang yang salah dalam memperlakukan seseorang. Karena setiap manusia yang lahir, tidak pernah dapat memilih untuk dilahirkan sebagai suku Jawa atau Papua, berkulit putih atau gelap, dan hal-hal lainnya yang dapat digunakan sebagai tindakan rasis.

Kita semua sama, kita  adalah manusia dan kita adalah bangsa Indonesia. Semua berkedudukan sama, semua memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Oleh: Yolanda Eka Safitri S. H. (Aktivis & Kader Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Tangerang)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment