Pendidikan Kaum Milenial

pendidikan kaum milenial

Modernis.co Malang – Pendidikan adalah sebuah jembatan untuk sampai pada tujuan tertentu. Yaitu apabila kita kaitkan dengan pribadi seseorang, maka pendidikan menjadi jembatan untuk membentuk karakter orang tersebut dengan baik.

Kemudian apabila berkaitan dengan negara. Maka pendidikan menjadi jembatan bagaimana mencerdaskan anak bangsa agar mampu menjawab segala tantangan. Untuk mewujudkan negara maju,  jauh dari ketertinggalan, mampu bersaing dengan negara-negara lain. Baik di segi ekonomi, kesehatan, sosial maupun teknologi atas dasar nasionalisme pada negara.

Berbicara tentang kemajuan negara indonesia saat ini dan masa depan. Indonesia memiliki aset yang penting yaitu hadirnya para generasi milenial. Sebelum kita membahas lebih dalam tentang pendidikan kaum milenial kita perlu tau siapa itu generasi milenial?.

Generasi Milenial dikenal sebagai Generasi (Y) yaitu kelompok demografi setelah Generasi X (Gen-X). Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran dan pada 2020 generasi milenial (y) memasuki usia paling produktif antara 16 sampai 38 tahun.

Generasi ini memiliki ciri-ciri mampu menciptakan perubahan. Ciri-ciri tersebut antara lain adalah; pertama, dari kompetisi menuju kolaborasi. Pada zaman old untuk bisa survive dan exist seseorang harus memiliki competitive advantages (keunggulan kompetitif), namun pada zaman now untuk bisa berfikiprah dan exist diperlukan colaborative advantages (keunggulan kolaboratif), yaitu kemampuan berelasi dan berkolaborasi.

Ke-dua, dari relasi kuasa menuju ruang berbagi. Generasi ini sangat suka berbagi dan menjadi relawan. Filantropisme dan voluntarisme menjadi khas dari kaum milenial. Ketiga, dari panggung tertutup menuju panggung terbuka.

Dulu untuk dapat memiliki panggung sebagai tempat sorotan masyarakat, seseorang perlu merasakan panasnya politik untuk dapat memiliki panggung. Namun pada saat ini hadirnya media sosial mampu menjadikan siapapun bisa memiliki panggung. Yaitu dengan cara menjadi selebgram, youtuber dan lain-lain. Panggung itu hadir dengan sendirinya.

Data BPS RI tentang bonus Demografi pada 2017 ada 176,8 juta penduduk indonesia 80 juta di antaranya adalah generasi milenial. Dari perbandingan jumlah tersebut, 80 juta bukan jumlah yang sedikit, jumlah segitu sudah mampu menjadi prajurit perang yang akan menumpas kekerdilan peradaban. Oleh karena itu indonesia patut berbangga hati atas lahirnya kaum milenial atau gen (y) ini.

Diharapkan dengan setiap kemampuan nya dalam menyikapi atmosfer perkembangan teknologi mampu menghasilkan gagasan transformasi yang memukau. Sehingga mampu merubah peradaban indonesia dari ketertinggal menuju peradaban yang maju lagi terang benderang.

Namun rumor yang sering terdengar akhir-akhir ini adalah bahwa generasi ini dipandang kurang baik khususnya dari segi literasi ilmu pengetahuan. Kebanyakan orang mengklaim bahwa mereka kaum milenial adalah generasi yang sangat kurang pengetahuan secara mendalam, yang tau akan hal yang banyak namun sedikit. Kaum ini lebih suka mencari jawaban dari setiap persoalan di internet atau menanyakan kepada mbah google. Karena dirasa memang lebih cepat dan tak butuh waktu lama untuk men-Searching jawaban tersebut.

Salah satu contoh di kalangan mahasiswa jaman now, kebanyakan mereka mencari jalan instan dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya yaitu dengan menyerahkan seluruhnya persoalan ke internet, lebih parahnya lagi mereka melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan para mahasiswa yang sering digembar-gemborkan sebagai generasi agent of change and control sosial yaitu plagiarisme. “apakah itu yang dinamakan generasi penerus bangsa???” ucap mereka.

kegiatan itu dipandang sebagai candu yang kurang bagus, karena akan berakibat lunturnya minat baca terhadap buku-buku yang dipahami lebih rinci dalam menjelaskan sesuatu yang muaranya adalah tumpulnya daya kritis akal.

Berdasarkan data dari UNESCO pada tahun 2012, indeks membaca orang Indonesia hanya sebesar 0,001. Artinya satu buku dibaca oleh seribu orang Indonesia. Berbeda dengan Singapura dan Hongkong dimana seribu orang membaca sedikitnya 550 buku. Disamping itu, generasi milenial ini mengalami degradasi kepekaan sosial.

Mereka lebih sering bermain dengan asyik bersama gadgetnya daripada bersuka ria dengan teman semejanya. Degradasi ini merupakan masalah yang sangat tidak diinginkan oleh setiap orang, karena begitu besar dampaknya terhadap hubungan antara sesama manusia yaitu renggangnya kedekatan secara emosional.

Sehingga timbul keapatisan kepada sesama, tak peduli kepada sesama. Padahal pada hakikatnya Tuhan menginginkan manusia yang satu dengan manusia yang lain itu dapat berhubungan dengan baik. Artinya degradasi itu akan berseberangan dengan syariat Tuhan dalam surat at-Taubah ayat 71 Allah berfirman : “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain”. [at-Taubah/9:71].

Dari ayat tersebut jelas disebutkan bahwa Allah menghadirkan manusia untuk saling membantu sesamanya baik itu berat maupun ringan asalkan tidak dalam hal tidak berseberangan dengan syariat islam yang telah ditetapkan dan dibebankan kepada mereka.

Di dalam hadits juga dijelaskan bahwa dengan sesama harus saling mencintai atas dasar kecintaan kepada Allah. Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radhiyallahu anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak beriman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya (sesama muslim) seperti ia mencintai dirinya sendiri”.[Bukhari no. 13, Muslim no. 45].

Artinya bahwa sampai kapanpun seseorang tidak akan pernah benar-benar beriman secara sempurna tanpa ada bukti konkrit dari keberimanannya kepada Allah. Yaitu mampu mencintai sesamanya karena Allah dan dibuktikan dengan menumbuhkan jiwa loyalitas sempurna kepada sesama manusia.

Mampu menolong sesama tanpa pamrih, menolong sesama dengan totalitas, baik dengan jiwa dan raga maupun harta, selalu ada baik di saat susah maupun senang. Bukan malah sebaliknya, apatis atas apa yang di dapat oleh sesama, baik itu nikmat lebih-lebih musibah. Oleh karena itu apatis adalah benar-benar sifat yang sama sekali tidak diharapkan oleh Allah dan manusia atas diri manusia.

Berkaitan dengan klaim yang dilontarkan oleh kebanyakan orang terhadap generasi milenial atau generasi (y) yang telah saya sebutkan diatas. Pertanyaannya adalah, apakah generasi milenial seperti yang dikatakan kebanyakan orang itu benar?. Hemat saya bahwa semua itu tidak sepenuhnya benar.

Pertama, lunturnya minat baca terhadap buku-buku cetak menuju internet mengakibatkan kurangnya pengetahuan secara mendalam, yang tau akan hal yang banyak namun sedikit. Pemaknaan literasi atau mencari ilmu pengetahuan semacam itu rasanya terlalu naif di tengah semakin pesatnya perkembangan teknologi.

Faktanya perpustakaan online terbesar di dunia, archive.org, telah memindai 12 juta eksemplar buku dalam bentuk digital dan bebas diakses oleh siapapun. Belum lagi perpustakaan-perpustakaan yang lain, pun juga literatur lain seperti jurnal-jurnal yang telah dipublikasikan secara luas baik tingkat nasional maupun internasional.

Artinya bahwa literasi Indonesia tidaklah rendah hanya saja bermetamorfosis dalam bentuk digital sehingga bukan lagi buku cetak yang mereka baca namun buku, jurnal dan data-data lain yang terdapat di internet yang mereka baca. Sehingga kita tidak bisa menghukumi generasi ini luntur budaya membacanya.

Kedua, lebih suka yang pragmatis. Menurut saya dengan kemajuan teknologi pada saat ini, perlu kita manfaatkan dengan sebaik mungkin khususnya dalam pendidikan. Dengan teknologi masa kini lebih memudahkan para pencari ilmu untuk mendapat pengetahuan. Tidak perlu waktu yang lama untuk mencari pengetahuan.

Tidak sulit lagi seperti dulu, yang apabila ingin mengetahui sesuatu perlu berkelana berhari-hari untuk mencari jawaban atas apa yang menjadi pertanyaannya. Artinya bahwa kecerdasan generasi ini dalam memanfaatkan teknologi perlu kita dukung, karena akan ada waktu lebih banyak lagi untuk menjalankan agenda-agenda yang bermanfaat lainnya.

Ketiga, mengalami degradasi kepekaan sosial. Hubungan sosial menjadi penunjang keutuhan umat. Sedang hubungan kepada Tuhan tidak akan terlepas dengan hubungan sosial antar sesama manusia. Seseorang tidak akan merasakan iman secara sempurna hingga ia mencintai saudaranya (sesamanya). Menurut saya degradasi tersebut tidak sepenuhnya benar. Meski dengan kehadiran teknologi dapat menjauhkan yang dekat namun jangan lupa bahwa teknologi juga mendekatkan yang jauh.

Dengan teknologi kita kita dapat bersilaturahmi meski tak bertatap muka secara langsung atau berkomunikasi jarak jauh. Namun hasil akhirnya adalah ketika komunikasi sudah terhubung, hati sudah tersentuh maka gerak akan mengekor. Artinya akan senantiasa ada hubungan yang melekat antara satu dengan yang lain meskipun hanya lewat gadget. Semakin sering saling berbalas chat maka kepekaan akan senantiasa terjaga.

Generasi ini memiliki ciri khas belajar yang sesuai dengan zamannya. Oleh karena itu kita tidak bisa menyalahkan atas model belajar mereka. Generasi milenial adalah generasi yang mampu memanfaatkan teknologi yang begitu canggih. Sehingga dengan kecerdasannya mampu melahirkan gagasan yang cemerlang demi kemajuan bangsa indonesia.

Oleh karena itu patutlah kita berbangga hati dengan kehadiran generasi ini, karena dengan kehadirannya yang disertai kemajuan teknologi diharapkan mampu melahirkan ide-ide yang cemerlang demi kemajuan bangsa indonesia.

Bukan malah sebaliknya yaitu melunturkan eksistensi generasi ini. Namun bagaimana kita memupuk harap dengan generasi ini untuk kemajuan negara kita tercinta. Generasi ini. Filantropisme dan voluntarisme berbasis teknologi menjadi khas dari kaum milenial, oleh karena itu kita perlu mengetahui cara kaum milenial dalam memanifestasi kepekaan sosial zaman now.

Oleh : Muhammad Salim Akbar (Korps. Instruktur Tamaddun FAI 2018-2019)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Leave a Comment