Modernis.co, Bima – Tentu kita semua pernah melewati jenjang pendidikan, sejak sekolah dasar hingga menengah atas. Sengaja tidak penulis lanjutkan sampai perguruan tinggi, karena gaya maupun metode perkuliah sudah berbeda dan selangkah lebih maju dibandingkan jenjang-jenjang sebelumnya. Perhatikan baik-baik, dan bila perlu kita ingat kembali waktu itu dengan sangat cermat dan teliti.
Tidak ada sama sekali interaksi aktif yang dibangun oleh seorang guru dalam ruangan akademik guna membentuk komunikasi yang baik dengan para siswanya. Mungkin ini yang sering disebut dengan metode ceramah, siswa duduk diam mendengarkan perkataan gurunya.
Agaknya dalam pandangan penulis metode ini sangat tidak efektif. Disamping siswa datang ke sekolah hanya sebagai pendengar, siswa juga diajarkan menjadi seorang penurut tanpa melintaskan pertanyaan kritis terhadap apa yangmenjadi perintah gurunya. Dengan alasan inilah penulis menyebutnya dengan istilah “metode pembelajaran klasik”.
Ibarat terus-terusan mengisi air dalam ember, sementara ember penuh air tumpah tak tertampung. Semua orang pasti merasakan hal seperti ini. Tentu saja, termasuk penulis sendiri. Salah satu hal paling mencolok dalam metode klasik ini adalah ketika siswa hanya disuruh mencatat kembali apa yang terdapat dalam buku ajar pengajar.
Tidak terhitung berapa banyak halamanya, perintah mencatat selalu dilakukan tanpa tahu untuk apa catatan sebanyak itu yang ketika dalam prosesi pembelajaran siswa/guru tidak menguraikan dan membahas materi tersebut selama prosesi pembelajaran berlangsung.
Ketika tidak mau mencatat, maka seorang guru akan menghukum siswanya dengan mengancam tak memberikan nilai catatan guna menambah nilai-nilai lainya, sebab ada pemeriksaan catatan diakhir. Sungguh lucu, serasa tak berguna mengerjakan yang sia-sia. Wajah pendidikan menjadi sangat mengerikan bahkan menakutkan.
Sampai sekarang hal ini masih menjadi budaya yang mengakar dalam pendidikan kita. Entah karena muatan materi yang tidak ada atau mungkin seorang pengajar tidak memiliki kemampuan dalam hal gaya mengajar. Sudah seharusnya ini ditinggalkan, berpindah dan mungkin mencoba gaya pendidikan kekinian bisa menjadikan prosesi pembelajaran melahirkan generasi terdidik yang kritis. Pendidikan modern lebih dibutuhkan, yakni dengan mengutamakan penguatan daya kritis dan penggalian potensi siswa. Dua hal tersebut akan sangat membuahkan hasil apabila diusahakan dengan maksimal.
Seorang Paulo Freire sering mengkampanyekan lawan pendidikan, yang sering disebut dengan istilah “pendidikan gaya bank”. Begitulah adanya, semacam bank fungsinya hanya menampung/menabung (sangat pasif). Siswa disuguhkan dengan materi yang begitu banyak, toh pada akhirnya semua itu tak berarti sama sekali.
Sebenarnya menyediakan bahan ajar berkualitas dan banyak itu tak masalah, namun harus diiringi dengan adanya komuikasi aktif antar guru dan siswa. Sehingga nantinya akan terbangun suasana kelas yang sangat akademis guna menyiapkan para siswa untuk menduduki podium akademik, atau biasa juga disebut “mimbar akademik”.
Mencatat memang kegiatan yang baik, sebab membuat kita terbiasa untuk menorehkan tinta atas apapun yang kita ketahui. Namun masalahnya bukan disitu. Daya tangkap seseorang akan menurun, lanjut berimbas pada meningkatnya kejenuhan karena materi yang begitu banyak.
Konsentrasi menurun drastis menghadapi hal semacam ini, apalagi jika ditambah lagi dengan celoteh guru yang tiada hentinya. Sungguh membosankan bukan. Eloknya mencatat harus diimbangi dengan diskusi, atau paling tidak mengulas dan menguraikan secara jelas mengenai materi belajar.
Idealnya, daya kritis siswa harus dipupuk sedini mungkin dan diantara tempat terbaik untuk itu adalah sekolah atau pendidikan formal (tentu saja pendidikan non formal tetap diperhatikan). Tak perlu banyak materi yang dibahas, cukup suguhi satu materi kemudian dikupas tuntas dalam ruang dialektika.
Semua siswa diberikan kesempatan dengan sebebas-bebasnya berpendapat, berargumentasi dan berbantahan, tak masalah jika mengharuskan kursi maupun meja melayang kesana kemari. Adalah dua hal sekaligus yang dibentuk pada saat itu juga, yakni : pendidikan mental dan pelatihan vokal atau “communication skills”.
Membentuk kelompok belajar juga dinilai efektif guna membentuk dan membangun daya kritis siswa. Didesain sedemikian rupa agar terlihat menyenangkan juga dipandang perlu. Seorang siswa menyampaikan hasil analisisnya, kemudian yang lain mendengarkan serta memberikan pandangan maupun kritikan sangatlah bagus.
Karena hakikat pendidikan adalah yang membebaskan dan memanusiakan manusia. Bebas dari belenggu kejumudan, serta merawat potensi kemanusiaan agar tetap menjadi manusia yang mendapat gelar kehormatan sebagai makhluk ciptaan terbaik. Potensi dan kesempatan untuk mengenyam ilmu pengetahuan harus dihormati oleh semua orang.
Tak ada batasan yang signifikan dalam pendidikan, hanya saja soal jenjang pendidikanlah yang membedakan satu dengan lainya, semisal guru dan siswa hanya dibedakanlah oleh statusnya sebagai pengajar dan yang diajar. Sekat-sekat senioritas tidak berlaku dalam dunia pendidikan. Karena transformasi pengetahuan tidak mengenal batasan umur, yang diperhatikan hanyalah apa yang dia bicarakan soal diterima atau tidak diskusilah yang akan menentukannya.
Kemanusiaan tidak dihormati jika tidak dikarunia dengan pengetahuan. Bicara pengetahuan memang tidak mudah, disamping kita harus berusaha keras menuntun jalan pengetahuan, kita juga diwajibkan merawat serta mempertanggungjawabkan pengetahuan yang kita dapat. Membagikanya kepada orang adalah satu diantara langkah merawat pengetahuan yang kita miliki.
Hidup adalah tentang kebahagiaan dan kebahagiaan tidak mungkin kita dapatkan tanpa kita punya prinsip/pengetahuan masing-masing mengenai kebahagiaan. Kiranya inilah alasan mendasar kenapa kita harus mengetahui (berpengetahuan). Manusia yang berpengetahuan adalah manusia yang menghormati pengetahuan.